Gerakan Anti-Islamofobia Harus dengan Islam Kaffah

  • Opini

Oleh: Diana Wijayanti 

Suaramubalighah.com, opini — Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi konsensus resolusi yang disampaikan oleh Pakistan atas nama Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk Memerangi Islamofobia dengan menetapkan 15 Maret sebagai hari anti-Islamofobia. (viva.co.id, 15/04/2022).

Sebagian umat Islam termasuk tokohnya menyambut gembira resolusi PBB ini, bahkan berharap besar islamofobia bisa lenyap dan umat Islam dapat bersatu. Di Indonesia misalnya, muncul sejumlah tokoh nasional lintas ormas Islam dan ratusan jamaah mendeklarasikan Gerakan Nasional Anti-Islamofobia (GNAI). Gerakan ini untuk melawan isu islamofobia di dunia yang oleh media Barat digambarkan sebagai kaum teroris dan radikalis. (sindonews.com, 15/07/2022).

Ferry Juliantono Koordinator Desk Anti-Islamfobia PP Syarikat Islam mengatakan, para tokoh dan dai se-Jawa Barat mendukung langkah perjuangan tentang Anti-Islamofobia. Karena menurut Ferry, isu anti-islamofobia justru mempersatukan umat Islam. (sindonews.com, 01/06/2022).

Akankah islamofobia bisa lenyap dan umat Islam bersatu dengan berpijak pada resolusi PBB? Mampukah umat Islam menari di panggung milik orang lain, bukan dengan membuat panggung sendiri?

Bicara tentang islamofobia tidak bisa dilepaskan dari skenario kafir Barat dalam membendung kebangkitan Islam politik yang ada di negeri muslim. Sejatinya ruh dari islamofobia adalah sekularisme. Dan masif pasca tragedi WTC 11 September 2001. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Haedar Nashir, islamofobia adalah pandangan dan sikap yang mengandung prasangka, ketakutan, dan kebencian terhadap Islam dan orang-orang Islam. Istilah ini sudah lama berkembang awalnya di Barat dan dalam era mutakhir menguat menjadi pandangan global setelah tragedi serangan teroris 11 September 2001. Islamofobia itu secara sosiologis masif, berimpitan dengan alam pikiran liberalisme-sekuler atau humanisme-sekuler. (republika.id, 28/08/2021).

Sejak saat itu kampanye perang melawan terorisme atau War on Terrorism (WOT) makin masif, sistemis, dan terstruktur secara global. Dan yang menjadi sasaran utamanya adalah Islam. Islam sering kali dikaitkan pada tindakan kekerasan, kasar, ekstrim, dan terorisme. Bahkan tema islamofobia beberapa kali diangkat dalam cerita film-film yang terus dipropagandakan untuk memunculkan kebencian dan permusuhan terhadap Islam. Dalam tayangan film tersebut sering kali ditunjukkan bahwa tindakan terorisme itu dilakukan oleh orang Timur-Tengah atau muslim. Laki-lakinya digambarkan bersorban, berjengot, jidat hitam, dan celana ngatung. Sementara perempuannya bercadar dan bergamis hitam.

Selain itu media juga memiliki peran yang sangat krusial dalam membentuk persepsi negatif manusia di dunia atas Islam. Narasi ancaman terorisme terus disebarkan untuk menakut-nakuti semua pihak yang berusaha membangkitkan Islam. Hal itu menumbuhsuburkan stereokaff negatif terhadap Islam sehingga mengarahkan pada ketakutan akan ajaran Islam dan simbol-simbolnya. 

Akibatnya, muslim mendapatkan perlakuan buruk atau diskriminasi di negeri Barat dan bahkan di negeri muslim itu sendiri. Pejuang Islam dicap teroris, dimusuhi, dikriminalisasi, hingga dibunuh hanya dengan dugaan teroris. Sedangkan umat diadu domba agar saling curiga dan menjauhi pemahaman Islam yang sahih.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Dr. Adian Husaini mengatakan antara Islam dan Barat terjadi perbedaan yang sangat fundamental yang akan menimbulkan benturan pandangan hidup. Menurutnya, islamofobia yang terjadi saat ini merupakan rekayasa politik yang didesain oleh kalangan intelektual anti-Islam yang menjadikan Islam sebagai ancaman. Rekayasa ini didasari oleh ketakutan akan kekuatan Islam yang sesungguhnya. (uii.ac.id).

Islamofobia menjadi salah satu agenda utama untuk membendung laju kebangkitan Islam. Menurut Schmid (2013), pada beberapa tahun terakhir, istilah ‘radikalisasi’, layaknya istilah terorisme, menjadi sangat terpolitisasi, yaitu telah digunakan dalam permainan politik pelabelan (labeling) dan penyalahan (blaming). Termasuk pemakaian tolok ukur Barat dengan paham multikulturalisme yang liberal-sekuler. Ekspresi demokrasi liberal di negara-negara Barat, yang memberi kebebasan segala bentuk ekspresi hak, mencerminkan peradaban dunia modern tidak ada. Terorisme telah menjadi alat politik yang ampuh untuk islamofobia, turcophobia, dan pembantaian muslim. Ada penerima manfaat dari terorisme sejak 2001, dan mereka telah menyalahgunakan kekuatan negara terhadap muslim dan institusi mereka di Afrika Utara, Levant, wilayah geografis di kawasan Mediterania Timur di Asia Barat dan Asia Selatan.

Efeknya sebagian muslim pun takut untuk menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh karena khawatir dilabeli radikal atau ekstrim. Sementara itu, kalangan intelektual muslim sibuk untuk menulis buku-buku yang menunjukkan bahwa Islam itu ajaran yang moderat. Tentu saja hal ini seperti jebakan dan perangkap untuk mengarahkan perjuangan Islam ke jalur moderat. Hingga akhirnya penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah bisa diaborsi sedini mungkin.

Di titik ini, kaum muslimin terjebak pada perangkap Barat. Mereka berusaha menyampaikan konsep-konsep Islam dengan kacamata Barat, bukan dengan metode Islam yang sahih dalam membendung islamofobia. Sekadar adanya Hari Anti-Islamofobia, tidak akan cukup menjadi solusi untuk menghapus kebencian orang terhadap Islam dan mewujudkan persatuan umat Islam.

Umat benar-benar harus memahami bahwa islamofobia hadir seiring bergantinya sistem Islam kaffah dengan sistem sekularisme kapitalisme sejak Khilafah Islam di Turki Utsmani runtuh pada tahun 1924 M. Sehingga selama sistem yang dianut oleh negeri muslim belum berubah maka islamofobia akan terus ada. Solusi tambal sulam pun dikhawatirkan hanya sekedar “lip service“. Pun demikian dengan harapan persatuan umat, mustahil bisa terwujud.

Hilangnya kebencian umat selain Islam, benar-benar terwujud tatkala Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan negara Islam atau Khilafah Islam. Sebab Islam hadir membawa kebenaran dan keadilan bagi semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berlaku adil.

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا كُوۡنُوۡا قَوَّامِيۡنَ بِالۡقِسۡطِ شُهَدَآءَ لِلّٰهِ وَلَوۡ عَلٰٓى اَنۡفُسِكُمۡ اَوِ الۡوَالِدَيۡنِ وَالۡاَقۡرَبِيۡنَ‌ ؕ اِنۡ يَّكُنۡ غَنِيًّا اَوۡ فَقِيۡرًا فَاللّٰهُ اَوۡلٰى بِهِمَا‌ فَلَا تَتَّبِعُوا الۡهَوٰٓى اَنۡ تَعۡدِلُوۡا ‌ 

 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran…” (QS. An-Nisa’: 135)

Adanya Gerakan Nasional Anti-Islamofobia tanpa penegakkan Khilafah, niscaya islamofobia tidak akan dihapus dan persatuan umat pun akan pupus. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]