Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, opini — Fenomena CFW (Citayam Fashion Week) telah mengguncang semesta, menuai berbagai tanggapan dari para tokoh di masyarakat. Salah satunya adalah ungkapan Presiden Jokowi, saat diminta tanggapannya tentang fenomena tersebut. Menurut beliau fenomena ini merupakan hal yang positif. sementara di tempat yang lain hal senada juga diungkapkan oleh tokoh-tokoh nasional, yang mengatakan bahwa fenomena CFW merupakan ajang kreatifitas positif anak-anak muda yang penuh ide cemerlang. Mereka mengekspresikan jati diri mereka secara jujur dan mampu mengguncang Indonesia dengan karya-karyanya, terutama di bidang fashion. (detiknews.com, 24/07/2022).
Fenomena CFW sendiri dimulai sejak viral video-video yang beredar di media sosial Tik Tok dan Instagram yang menampilkan wawancara yang mengundang gelak tawa. Serta aksi para ABG ‘SCBD’ atau Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok yang menggunakan fasilitas umum zebra cross di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat menjadi arena catwalk dadakan.
Selanjutnya dari fenomena CFW ini, muncul tren baru anak-anak muda yang sejenis. Mereka terinspirasi dari event yang sama untuk mengadakan fashion jalanan, seperti Kayutangan Street Style di Malang, MPK Fashion Street di Kediri, Surabaya, Madiun, Makassar, dan beberapa wilayah lain. Sedangkan di wilayah Jember, bahkan event ini sudah rutin diselenggarakan setiap tahun. Event ini dikenal dengan istilah JFS (Jember Fashion Street).
Apakah benar fenomena CFW dan event fashion jalanan ini adalah bentuk kreatifitas yang positif? Melihat fakta yang terjadi di lapangan, bukan sekadar aktivitas fashion yang menampilkan anak-anak ABG yang berlenggak-lenggok karena telah putus urat malunya. Tetapi juga tampak aktivitas kerusakan remaja yang lain berupa pergaulan bebas remaja dan aktivitas kemaksiatan, serta penyimpangan seks remaja lainnya seperti L68T. Sungguh miris dan memprihatinkan.
Pengaruh Media Sosial dan Industri Gaya Hidup
Di era globalisasi saat ini, media sosial menjelma menjadi dunia tanpa batas. Menjadi alat pergerakan dan media informasi yang berkembang sangat cepat. Ibarat jalan raya gratis yang siapa pun dapat menggunakannya. Namun di sisi yang lain justru tanpa sadar, media sosial juga mampu mengecoh. Karena melalui media sosial seluruh aktivitas manusia telah terekam dan diawasi dengan rinci. Media sosial telah mencatat aktivitas setiap individu dengan siapa dia bergaul, perilaku konsumtif mereka, keyakinan ideologi mereka, kesehatan mereka, dan lain-lain. Bagaikan CCTV yang terus mengawasi gerak-gerik mereka. Selain itu, peran media sosial juga berfungsi sebagai media iklan digital yang dapat mengantarkan pesan-pesan. Baik pesan komersial, politik, bahkan ideologi yang langsung masuk ke ranah pribadi setiap penggunanya.
Hal ini, yang belum disadari oleh masyarakat. Namun justru dipahami betul oleh ideologi kapitalisme sekuler. Melalui media digital ini, ideologi kapitalisme sekuler telah menyebarkan propaganda yang membius masyarakat. Melalui sarana fashion, food, and fun ideologi kapitalisme telah berusaha membentuk dan mempengaruhi pandangan khas masyarakat tentang manusia dan kehidupan. Bahwa setiap manusia yang hidup di bumi ini, harus senantiasa memiliki tujuan hidup yaitu meraih kebahagiaan. Sayangnya definisi kebahagiaan itu sendiri di tengah masyarakat masih belum jelas dan semakin kabur.
Sampai akhirnya melalui media sosial ini, ideologi kapitalisme menciptakan delusi tentang kebahagiaan yang harus diyakini oleh masyarakat. Bahwa kebahagiaan adalah sebuah kehidupan yang menawarkan kesenangan dan kepuasan dengan tampil dan menikmati beragam jenis bentuk-bentuk materialisme. Di antaranya adalah melalui gaya hidup seperti fashion (pakaian), melalui sarana pertama ini masyarakat terutama kawula muda di dorong untuk berlomba-lomba mengekspresikan diri dengan berbagai model pakaian yang mengumbar aurat di tempat-tempat umum.
Kedua, adalah food (makanan), di berbagai tempat dibuka berbagai gerai yang menawarkan berbagai jenis makanan dan minuman tanpa mempedulikan halal dan haram. Bahkan mereka dengan sadar telah menyediakan fasilitas yang mengundang para kawula muda untuk menghabiskan waktunya dengan fenomena nongkrong sebagai budaya yang membanggakan. Hingga muncul ungkapan “g nongkrong g asik.” Padahal justru dengan budaya nongkrong tersebut telah menghantarkan pada munculnya aktivitas lain berupa kerusakan generasi yang mengundang kemaksiatan yang lain.
Ketiga, adalah fun (hiburan), munculnya fenomena baru berupa kebudayaan asing yang menjadi tren dan ditiru oleh para remaja. Melalui musik, film, game, dan gaya hidup bebas yang dipertontonkan melalui hiburan ini. Maka remaja berlomba-lomba mengubah penampilan mereka. Salah satunya adalah gaya hidup K-POP, yang telah melahirkan delusi akut di kalangan anak muda. Bahwa tampil beda, eksentrik adalah sesuatu yang membanggakan.
Jadi bukan hal yang aneh ketika muncul fenomena CFW dan ajang sejenis ini tumbuh bak jamur di musim hujan. Sebab fenomena-fenomena ini memang diciptakan secara sengaja oleh ideologi kapitalisme untuk menghancurkan mental generasi muda terutama generasi muda muslim.
Perspektif Islam terhadap Kebahagiaan dan Solusi Islam Menyelamatkan Generasi
Konsep kebahagiaan di dalam Islam sangat bertolak belakang dengan konsep ideologi kapitalisme. Islam memandang bahwa makna kebahagiaan sejati seorang muslim adalah merealisasikan tujuan utama penciptaan manusia. Allah SWT berfirman di dalam surat Adz -Dzariyat ayat 56,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku,” (QS. Adz- Dzariyat: 56)
Berdasarkan ayat ini, sesungguhnya tujuan utama manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Maka sudah sepatutnya manusia tunduk dan taat kepada apa-apa yang Allah SWT tetapkan untuk manusia dalam bentuk peraturan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Semata-mata aturan tersebut adalah untuk mewujudkan kebahagiaan hakiki manusia yakni meraih keridaan Allah SWT.
Tentunya makna meraih keridaan Allah SWT ini, harus dipahami secara jelas dan komprehensif oleh masyarakat. Oleh karena itu sudah semestinya para mubalighah memegang peran penting untuk menjelaskannya kepada masyarakat. Dengan hadir di tengah-tengah masyarakat dan berkontribusi untuk menyelematkan generasi.
Para mubalighah harus mengambil peran sebagai ummu ajyal (pencetak generasi unggul) yang mampu menyebarluaskan Pemahaman dan pemikiran Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Hingga para mubalighah dan masyarakat dapat melangkah bersama, saling bergandeng tangan melahirkan persatuan umat dan madrasah-madrasah perubahan di negeri tercinta ini. Sehingga mampu melahirkan generasi unggul yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan negeri ini. Dan hal ini tentu saja hanya dapat tercapai ketika Islam disampaikan secara kaffah. Hingga terbentuk kesadaran politik akan pentingnya sebuah perubahan umat Islam menuju penerapan syariah dan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]