Oleh: Zakiyah Amin
Suaramubalighah.com, opini — Viral, Kepala SDN di Nias 070991 Mudik Gunungsitoli Sumatera Utara larang siswi pakai jilbab di sekolah yang dia pimpin. Akibatnya orang tua murid tak terima. Kepseknya mengungkapkan alasan bahwa hal tersebut dilakukannya demi keseragaman bagi seluruh murid yang bersekolah di tempatnya. (serambinews.com, 16/07/2022).
Kebijakan aneh Kepsek Yonarius Ndruru itu pun menuai polemik. Dengan dalih demi “keseragaman”, justru menimbulkan sensitivitas bagi umat Islam. Karena penggunaan jilbab bagi perempuan adalah sesuatu yang merupakan identitas muslimah yang wajib dilakukan. Umat Islam yang lurus tentu akan bereaksi menolaknya karena hal tersebut menabrak syariat Islam.
Toleransi terhadap umat Islam di sekolah tersebut sepertinya tidak diberlakukan. Bahkan secara terang-terangan melarang muridnya untuk tidak memakai jilbab di sekolah, padahal jilbab sama sekali tidak merusak keseragaman bahkan tampak lebih rapi. Tentu kebijakannya sangat intoleran bahkan melanggar hak asasi manusia yang memegang kuat prinsip agama.
Mengapa sikap intoleransi selalu mengarah pada ajaran Islam? Lalu toleransi untuk siapa? Seolah ajaran Islam bagi mereka adalah momok yang menakutkan dan bahkan pengambil kebijakan dalam sebuah institusi pun (baca: sekolah) tidak ragu mengambil keputusan yang menyakiti perasaan umat Islam. Reaksi umat Islam dibiarkan begitu saja tanpa mendapat solusi. Di sisi lain, negara seolah toleran terhadap kemaksiatan. Jika pun dikritisi maka senjatanya suarakan toleransi. Pengkritik dianggap tidak toleran.
Toleransi untuk Siapa?
Kasus pelarangan jilbab di sekolah membuktikan betapa negara lemah dalam memaknai toleransi. Negara yang seharusnya bisa menjadikan sekolah sebagai wadah mencerdaskan dan bahkan bisa menerjemahkan nilai-nilai toleransi serta hak asasi dengan benar, tapi lagi-lagi justru faktanya bikin ulah dengan menabrak prinsip Islam.
Di sisi lain murid-murid perempuan Islam dengan berpakaian minim (baca: buka aurat) tidak pernah dipermasalahkan. Padahal tidak sedikit menimbulkan kemaksiatan dan pelecehan, terutama murid sekolah menengah. Mereka cenderung mengadopsi nilai ala Barat dalam berpakaian maupun pergaulan.
Hal ini mengindikasikan bahwa negeri ini menoleransi kemaksiatan. Hak asasi dalam berpakaian yang sesuai syara’ seakan tidak diberi ruang. Yang mereka anggap benar adalah yang mayoritas, sehingga yang berjilbab harus mengikuti yang terbuka, tidak peduli itu adalah pelanggaran yang fatal dalam syariat Islam. Jadi sudah sangat jelas bahwa toleransi yang mereka agungkan hanya berpihak pada kemaksiatan belaka.
Orang Islam terhadap Islam lainnya yang berpakaian minim (baca:buka aurat) tetap bisa saling menjaga hubungan silaturrahim karena faktor hak asazi apalagi terhadap umat lain, toleransi lebih lagi. Karena sudah menjadi aturan baku dalam Islam yaitu “lakum diinukum waliyadiin” (bagimu agamamu bagiku agamaku). Artinya tidak saling menjelekkan antar agama.
Toleransi yang mereka inginkan tidak punya aturan baku. Tapi sesuai kepentingannya, sehingga wajar jika banyak menimbulkan kerusakan-kerusakan. Kasus pelarangan jilbab ini misalnya, umat Islam patut curiga adanya sentimen terhadap ajaran Islam. Sebab alasan kepsek selain untuk keseragaman juga katanya untuk meneruskan aturan yang ada sebelumnya. Artinya pakaian jilbab di sekolah tersebut sudah sejak lama tidak diakui keberadaannya. Diketahui bahwa Nias dihuni mayoritas nonmuslim. lain halnya jika umat lain minoritas di sebuah sekolah, akan aman dari hinaan atas nama agama. Ini membuktikan bahwa hanya ajaran Islam yang mampu membuktikan toleransi dengan benar.
Akankah fenomena seperti ini terus terjadi di negeri ini? Tidak ada jaminan, selama aturan demokrasi sekuler masih menjadi asas negeri ini maka selama itu pula semuanya menjadi tidak jelas.
Jaminan Islam
Islam hadir sebagai rahmatan lil alamin. Menghadirkan solusi lengkap bagi problematika manusia. Tidak ada yang dirugikan dalam pengaturannya. Hanya saja manusia tidak pandai mensyukurinya. Seperti dalam kasus pelarangan jilbab ini, sejatinya tidak perlu terjadi karena sudah benar dan tidak merugikan siapapun bahkan bisa menjadi contoh bagi murid lainnya. Tapi apalah daya, Indonesia adalah negara yang mengadopsi ideologi kapitalis-sekuler, tentu urusan menutup aurat dan ajaran syariat lainnya tidak menjadi tolok ukur dalam membuat kebijakan. Karena agama tidak boleh ikut campur mengatur kehidupan.
Syariat Islam pun memberikan jaminan toleransi yang sempurna. Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Kaafirun dalam tafsir lakum dinukum waliyadiin yang artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Bermakna secara tegas bahwa tidak adanya bentuk kompromi untuk mencampuradukkan ajaran agama.Tetap berpegang teguh pada aqidah Islam. Ayat ke-6 tersebut berisi seruan untuk menentang segala bentuk perbuatan selain ibadah kepada Allah SWT. Hal inilah yang menjadi landasan umat Islam dalam bertoleransi dan saling menghargai dengan penganut agama lain. Umat Islam tidak perlu dipaksa untuk bertoleransi karena ajaran Islam sudah sempurna dalam mengatur kehidupan manusia.Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]