Pidana bagi Pelaku Nikah Sirri, Apakah dibenarkan dalam Islam?

Tanya:

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab — Bagaimana pandangan Ustazah terkait KUPI yang mengusulkan ada sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri, sementara di sisi lain seks bebas merajalela?Terima kasih atas jawabannya Ustazah . (Yety di Palembang)

Jawab:

Ibu Yety yang dirahmati Allah SWT, usulan untuk memberikan sanksi pidana bagi pelaku nikah sirri sudah cukup lama diperjuangkan oleh para pejuang feminis. Hal ini karena mereka memandang nikah sirri sangat merugikan perempuan, menurut mereka pernikahan tanpa surat legal dari negara (KUA) rentan menjadi pintu terjadinya pelecehan perempuan,  bahkan terjadinya perdagangan orang.

Namun sangat disayangkan semangat memenjarakan pelaku nikah sirri oleh kaum feminis ini tidak disertai dengan perjuangan memenjarakan para pelaku zina. Jika benar mereka sedang memperjuangkan nasib perempuan harusnya para pelaku zina inilah yang paling tepat sebagai pelaku kejahatan. Hal ini karena  pelaku zina jauh lebih merugikan perempuan dan merusak tatanan keluarga, mulai dari hilangnya kehormatan perempuan , hilangnya hak nasab anak ke pihak ayah,  tidak adanya hak nafkah dan waris pada ibu dan anak, semua hal ini adalah bentuk pelecehan hakiki yang diterima perempuan. 

Hukum Islam tentang Nikah Sirri

Sebagian dari masyarakat umum mengartikan  Pernikahan sirri dengan,

Pertama, pernikahan tanpa wali.

Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (sirri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.

Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan, ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu, dan lain sebagainya.

Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu,. Misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan sirri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.

Hukum Pernikahan Tanpa Wali

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadis yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra., bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

لا نكاح إلا بولي

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An-Nasaaiy, lihat Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadis ke-2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadis menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda,

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل

“Wanita manapun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An-Nasaaiy. Lihat, Imam Asy-Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke-2649].

Abu Hurayrah ra. juga meriwayatkan sebuah hadis, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها

”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR. Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy-Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadis ke-2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah SWT, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab takzir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

Nikah Tanpa dicatatkan pada Lembaga Pencatatan Sipil

Adapun fakta pernikahan sirri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah sirri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akhirat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akhrat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;

  1. Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat, jihad, dan lain sebagainya.
  2. Mengerjakan tindakan haram, seperti minum khamr dan mencaci Rasul saw., dan lain sebagainya.
  3. Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah SWT. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab-kabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:

Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah sirri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan sirri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.

Kedua, jika pernikahan sirri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.

Ketiga, pada dasarnya, Nabi saw. telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi Nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw. bersabda,

حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (sirri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi sirri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirri-nya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

Khatimah

Upaya mempidanakan pernikahan siri namun mendiamkan pelaku zina adalah jalan melegalitas kerusakan,  melestarikan perbuatan keji dan hina yang hal ini hanya ada dalam sistem hukum demokrasi yang sekuler. Wallahu a’lam bishshawab . [SM/LY]