Oleh: Kartinah Taheer
Suaramubalighah.com, Al-Qur’an – Salah satu dewan penasehat ulama perempuan (KUPI), Buya Husien Muhammad dikutip dari situs mubadalah(dot).id menjelaskan bahwa agama seyogyanya dipeluk dengan penuh kesadaran, bukan karena paksaan. Paksaan, kata Buya Husein, tak akan menghasilkan keimanan melainkan kemunafikan. Menurutnya Tuhan sudah menyatakan “La Ikraha fi al-Din.“ Ikrah, pemaksaan dan kekerasan selalu menghasilkan luka jiwa dan bisa menimbulkan kebencian yang bisa panjang”
Dia mengutip pendapat Syams-i Al-Tabrizi,
“Janganlah kau menghakimi cara manusia menempuh dan berhubungan dengan Tuhan, agar sesuai dengan dirimu. Masing-masing orang mencari cara/ jalan sendiri-sendiri. Tuhan tidak melihat kata-katanya melainkan mendengar suara hatinya. Bukan ritual itu yang menjadikan kita orang-orang yang beriman, melainkan apakah hati kita bersih atau kotor”
Jika kita perhatikan pendapat tersebut maknanya memberi kebebasan memilih keyakinan apapun, karena semua agama dianggap benar. Dengan jalan apapun seseorang sampai kepada Tuhan, tidak harus dengan cara yang ditentukan oleh-Nya. Tampak sekali spirit pluralisme kental ketika memaknai ‘Laa Ikraaha fid Diin’
Kebebasan berkeyakinan termasuk di dalamnya bebas keluar masuk agama tumbuh subur dalam alam demokrasi sekuler. Atas nama hak asasi manusia dibiarkan memeluk agama sesukanya, tidak ada kebenaran mutlak, semua agama dianggap benar, bahkan jika tidak beragama pun sah-sah saja. Sebaliknya ketika menganggap agamanya paling benar dianggap radikal dan intoleran.
Padahal pluralisme adalah ide Barat yang menyesatkan. Pluralisme sangat berbahaya karena mengaburkan ajaran Islam, menjauhkan dari syariat Islam itu sendiri. Agar ide ini diterima oleh umat Islam digunakanlah ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pembenar. Salah satunya adalah ‘Laa Ikraaha fid Diin’ dengan penafsiran ala mereka. Seperti pernyataan buya husein tersebut. Benarkah ayat ini menegaskan kebolehan kebebasan beragama atau pluralisme?
Dalam memaknai suatu ayat kita tidak bisa sekendak hati, sekedar menggunakan akal dan perasaan. Tetapi harus merujuk kepada kitab-kitab tafsir para mufasir muktabar.
Al-Hafidz Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, ketika menafsirkan Al-Baqarah: 256 menyatakan,
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ فَمَن يَكْفُرْ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤْمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسْتَمْسَكَ بِٱلْعُرْوَةِ ٱلْوُثْقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّين
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)”. (QS. Al-Baqarah: 256)
Sedang kalimat yang kedua, قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” Adalah penjelasan bagi kalimat yang pertama, yakni,
أي: لا تكرهوا أحدًا على الدخول في دين الإسلام فإنه بين واضح جلي دلائله وبراهينه لا يحتاج إلى أن يكره أحد على الدخول فيه، بل من هداه الله للإسلام وشرح صدره ونور بصيرته دخل فيه على بينة، ومن أعمى الله قلبه وختم على سمعه وبصره فإنه لا يفيده الدخول في الدين مكرها مقسورًا
Yakni janganlah kalian memaksa seseorang untuk masuk agama Islam, karena sesungguhnya agama Islam itu sudah jelas, terang, dan gamblang dalil-dalil dan bukti-buktinya. Untuk itu, tidak perlu memaksakan seseorang agar memeluknya. Bahkan Allah-lah yang memberinya hidayah untuk masuk Islam, melapangkan dadanya, dan menerangi hatinya hingga ia masuk Islam dengan suka rela dan penuh kesadaran. Barang siapa yang hatinya dibutakan oleh Allah, pendengaran dan pandangannya dikunci mati oleh-Nya, sesungguhnya tidak ada gunanya bila mendesaknya untuk masuk Islam secara paksa. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/682)
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain,
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّين
“Tidak ada paksaan dalam agama”
Maksudnya untuk memasukinya. (Sesungguhnya telah nyata jalan yang benar dari jalan yang salah), artinya telah jelas dengan adanya bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang kuat bahwa keimanan itu berarti kebenaran dan kekafiran itu adalah kesesatan. Ayat ini turun mengenai seorang Anshar yang mempunyai anak-anak yang hendak dipaksakan masuk Islam. (Maka barang siapa yang ingkar kepada thagut), maksudnya setan atau berhala, dipakai untuk tunggal dan jamak (dan dia beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang teguh kuat) ikatan tali yang kokoh (yang tidak akan putus-putus dan Allah Maha Mendengar) akan segala ucapan (Maha Mengetahui) segala perbuatan.
Imam Al-Qurtuby dalam tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, dalam ayat ini terdapat dua masalah.
Pertama: Firman Allah SWT,
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّين
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
الدِّين dalam ayat ini adalah akidah dan agama, berdasarkan petunjuk firman-Nya, قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشْدُ مِنَ ٱلْغَىِّ ۚ “Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” . Al-lkraah (paksaan) di sini bukanlah (paksaan) dalam hal hukum-hukum keimanan, jual beli, hibah dan lainnya, namun ayat ini merupakan tafsir bagi firman Allah SWT اِلَّا مَنۡ اُكۡرِهَ “kecuali orang yang dipaksa kafir” (QS. An-Nahl [16]: 106)
Kedua: Para ulama berbeda pendapat tentang makna ayat ini dalam 6 pendapat:
- Ada yang berpendapat bahwa ayat ini mansukh(dihapus). Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memaksa orang Arab untuk masuk Islam dan memerangi mereka. Beliau tidak ridha kepada mereka hingga mereka masuk Islam”. Sulaiman bin Musa berkata, ‘Ayat ini dinasakh (dihapus) oleh ayat’
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِير
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahanam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” (QS. At-Taubah: 73). Pendapat pertama ini diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud dan dari banyak ahli tafsir.
- Ayat ini tidak mansukh (tidak dihapus), namun ayat ini ditujukan bagi ahli kitab saja. Sehingga ahli kitab tidak dipaksa masuk Islam selama mereka membayar jizyah. Yang dipaksa adalah kaum kuffar penyembah berhala. Merekalah yang dimaksud oleh surat At-Taubah ayat 73. Inilah pendapat Asy-Sya’bi, Qatadah dan Adh-Dhahhak.
- Berdasarkan yang diriwayatkan Abu Daud dari Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Ayat ini diturunkan kepada kaum Anshar. Ketika itu ada seorang wanita selama hidupnya tidak memiliki anak. Ia berjanji pada dirinya, jika ia memiliki anak, anak tersebut akan dijadikan beragama Yahudi. Sampai suatu ketika datanglah Bani Nadhir yang juga membawa beberapa anak dari kaum Anshar bersama mereka. Kaum Anshar berkata, “Kemudian terjadilah apa yang telah terjadi. Ketika itu kami (kaum Anshar) memandang agama yang mereka bawa (Yahudi) lebih baik. Namun ketika kami masuk Islam, kami ingin memaksa anak-anak kami”. Kemudian turunlah ayat ini. Ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Asy-Sya’bi dan Mujahid.
- As-Sudiy berkata, “Ayat ini turun kepada seorang lelaki kaum Anshar yang bernama Abul Hushain yang memiliki dua orang anak. Ketika itu datang para pedagang dari Syam yang membawa biji-bijian. Ketika mereka hendak pergi dari Madinah, mereka mengajak dua anak Abul Hushain untuk memeluk agama Nashrani. Mereka berdua pun akhirnya menjadi Nashrani dan ikut para pedagang tersebut ke Syam. Maka Abul Hushain pun datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis dan memohon kepada Rasulullah agar mengutus seseorang untuk mengambil mereka berdua. Lalu turunlah ayat ini”
- Makna ayat ini: “Orang yang berIslam karena kalah perang tidak boleh mengatakan bahwa ia dipaksa masuk Islam”
- Ayat ini turun bagi tawanan yang berasal dari golongan ahli kitab yang sudah tua. Karena tawanan yang berasal dari golongan Majusi dan penyembah berhala, semua dipaksa masuk Islam baik yang tua maupun muda. Ini pendapat Asyhab.” (Al-Qurtubi, Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an)
Adanya perbedaan pendapat ini juga dipaparkan oleh Ath Thabari dalam Tafsir Ath-Thabari, Abu Hatim dalam Tafsir Abi Hatim, Asy-Syaukani dalam Fathul Qadhir, dan beberapa ulama ahli tafsir yang lain. Namun sebagian ulama menafsirkan ayat ini secara mujmal (umum). Sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash-Shabuni. Ash-Shabuni menafsirkan ayat ini, “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam karena telah jelas perbedaan antara kebenaran dan kebatilan dan hidayah telah terbedakan dari kesesatan”
Sedang Ibnu Jarir Ath-Thabari, setelah memberikan sanggahan terhadap pendapat yang menyatakan ayat ini mansukh(dihapus), beliau menyimpulkan makna ayat, “Sehingga jelas bahwa makna ayat ini adalah: Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam bagi orang kafir yang dikenai jizyah dan telah membayarnya dan mereka ridha terhadap hukum Islam.” (Tafsir Ath-Thabari)
Perbedaan di antara ahli tafsir tersebut masing-masing didasari oleh riwayat-riwayat dari para sahabat, atau dari para ulama tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga setiap pendapat dapat diterima.
Jika demikian, andaikan seseorang mengambil pendapat ulama ahli tafsir yang menyatakan bahwa ayat ini tidak mansukh (dihapus) dan menafsirkan ayat ini secara umum, yaitu tidak ada paksaan untuk memeluk Islam bagi siapa pun, sebagaimana Ibnu Katsir dan Ash-Shabuni, pendapat ini tetap tidak sejalan dengan pendapat buya husen yakni kebebasan beragama dan menganggap semua agama benar Karena Allah Ta’ala berfirman,
قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْد مِنْ الْغَيّ
“Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan” (QS. Al Baqarah: 256).
Jelas bahwa pendapat ini menetapkan bahwa telah jelas kebenaran Islam dan telah jelaslah kebatilan agama selain Islam. Sehingga orang yang berhati bersih dan memandang dengan jernih tentu akan melihat kebenaran itu. Dan dengan sendirinya masuk Islam tanpa perlu dipaksa. Sedangkan orang yang enggan masuk Islam seolah-olah ia buta dan tertutup hatinya sehingga tidak dapat melihat kebenaran yang begitu jelas ini.
Ibnu Katsir menyatakan, “Tidak ada yang dipaksa untuk memeluk agama Islam karena telah jelas dan tegas tanda dan bukti kebenaran Islam sehingga tidak perlu lagi memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Orang yang diberi hidayah oleh Allah untuk menerima Islam, lapang dadanya dan dicerahkan pandangannya sehingga ia memeluk Islam dengan alasan yang pasti. Namun orang yang hatinya dibutakan oleh Allah dan ditutup hati serta pandangannya, tidak ada manfaatnya memaksa mereka untuk masuk Islam” (Ibnu Katsir, Al-Qur’an Al-‘Adzim).
Senada dengan beliau, Ibnu Jarir Ath-Thabari juga berkata: “Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kebatilan. Dan telah jelas sudah sisi kebenaran bagi para pencari kebenaran. Dan kebenaran ini telah terbedakan dari kesesatan. Sehingga tidak perlu lagi memaksa para ahli kitab dan orang-orang kafir yang dikenai jizyah untuk memeluk agama Islam, agama yang benar. Dan orang-orang yang berpaling dari kebenaran ini setelah jelas baginya, biarlah Allah yang mengurusnya. Sungguh Allahlah yang akan mempersiapkan hukuman bagi mereka di akhirat kelak” (Ath-Thabari, “Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an” )
Hanya saja tidak memaksa orang kafir untuk memeluk Islam bukan berarti ridha terhadap kekafiran mereka, bukan membenarkan semua agama yang ada, dan bukan menghilangkan status ‘kafir’ dari diri mereka seperti pendapat pengusung Islam moderat.
Hari ini justru negara selalu menggaungkan kebebasan beragama. Bahkan sebagai promotor pluralisme. Pengakuan semua agama sama, ikut merayakan ibadah agama lain atas nama toleransi. Padahal pluralisme adalah ide barat yang menyesatkan, menjauhkan kaum muslimin dari agamanya. Karena itu kita tidak boleh terjebak pada ide sesat ini meskipun menggunakan dalil dari Al-Qur’an. Dari sinilah pentingnya belajar Islam dan memahaminya. Sehingga mengerti makna dari suatu ayat yang benar. Tidak boleh ditafsirkan sekendak hatinya apalagi sesuai dengan ide Barat.
Negara berperan untuk menjaga kemurnian akidah Islam, Negara melindungi umat dari tsaqofah asing yang merusak. Negara akan mengenakan sanksi baik kepada individu, kelompok masyarakat dan media yang mempromosikan tsaqofah asing. Dalam sistem Pendidikan Islam tsaqafah asing boleh dipelajari hanya di Pendidikan tinggi untuk dikritisi pertentangannya dengan Islam. Begitu pula tidak ada ruang kebebasan berpendapat berdasarkan hawa nafsu, menggunakaan metode tafsir hermeneutika misalnya atau tafsir kontemporer lain yang bertentangan metode tafsir yang diakui di dalam Islam. Walhasil pemahaman umat akan terjaga. Insyaallah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/LY]