Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, opini — Dai adalah sebutan dalam Islam bagi orang yang bertugas mengajak, mendorong orang lain untuk mengikuti, dan mengamalkan ajaran Islam. Seorang dai terlibat dalam dakwah atau aktivitas menyiarkan, menyeru, dan mengajak orang lain untuk beriman, berdoa, atau untuk berkehidupan Islam. Oleh karena itu, seorang dai disebut pula dengan pendakwah. KBBI mengartikan dakwah sebagai: penyiaran, propoganda, atau penyiaran agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya atau seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran Islam.
Menjadi pendakwah (dai/daiyah) adalah perintah dari Allah SWT, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. At-taubah: 71).
Dari Abdullah bin Amru, dia berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat ….” (HR. Tirmidzi)
Rasulullah saw. menegaskan bahwa kewajiban berdakwah berlaku bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak menunaikan kewajiban dakwah. Hal ini tampak dari perintah untuk menyampaikan (dakwah) meskipun satu ayat. Dan rasanya, tidak ada seorang muslim pun yang tidak menerima atau memahami satu ayat.
Dai/ daiyah berdakwah ikhlas lillahi Ta’ala hanya mengharap rida Allah SWT. Dai/daiyah berdakwah bukan karena memiliki sertifikat, namun karena kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT.
Di era informasi yang semakin canggih seperti saat ini, meniscayakan sebuah perubahan dalam penggunaan sarana-sarana dalam penyampaian ajaran-ajaran Islam dan dakwah Islam. Gaya penyampaian dakwah tidak lagi disampaikan di atas mimbar-mimbar masjid, namun telah beralih pada penggunaan media komunikasi modern yang menyajikan fasilitas-fasilitas hiburan ala kapitalis. Seperti televisi, radio, dan media sosial lainnya sebagai media informasi untuk memperoleh pemahaman ajaran Islam. Sehingga memudahkan bagi umat Islam untuk mendapatkan pesan-pesan dakwah dari para ulama dan dai di mana pun dan kapan pun.
Oleh karena itu, jika ditinjau dari sisi perkembangan dakwah, fenomena ini merupakan sesuatu yang sangat menarik dan butuh diapresiasi selama itu berkaitan dengan uslub dan sarana (wasilah) dakwah.
Namun sayangnya, kemunculan budaya pop sebagai budaya yang lahir dari rahim sistem kapitalisme sekuler, telah meniscayakan lahirnya pergeseran nilai dan sudut pandang terhadap dunia dakwah. Dimana dakwah tidak lagi dianggap sebagai aktivitas ibadah yang memiliki nilai pahala tertinggi di sisi Allah SWT. Dan dakwah juga tidak lagi dipandang sebagai aktivitas sakral yang menjadi bagian dari ajaran Islam untuk melaksanakan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Akan tetapi aktivitas dakwah telah bergeser layaknya sebuah industri bisnis konvensional yang menjanjikan kesuksesan materialistik. Sehingga perlakuan terhadap dakwah tidak berbeda dengan perlakuan terhadap bisnis konvensional lainnya. Agar mencapai kesuksesan dakwah, maka dakwah membutuhkan strategi pemasaran dan juga harus jeli dalam melakukan segmentation, targeting, dan positioning.
Oleh sebab itu, saat ini banyak sekali kita menyaksikan berbagai upaya dari para dai maupun lembaga dan media sosial yang melakukan manuver-manuver pemasaran dengan berbagai kreativitasnya. Hal ini dilakukan semata-mata agar dapat merebut pasar dakwah. Di antaranya adalah strategi dengan menerbitkan sertifikat bagi para dai dan daiyah sebagai bukti kelayakan serta kualitas kompetensinya di dunia dakwah saat ini.
Salah satu lembaga independen yang menerbitkan sertifikat untuk para dai dan daiyah adalah Asosiasi Dai-Daiyah Indonesia (ADDAI). Lembaga ini telah meluncurkan program sertifikasi para dai dan daiyah yang bertujuan untuk membuat standarisasi dengan uji kompetensi para dai dan daiyah dalam kualitas materi dan performa dakwah mereka serta level kemoderatannya.
Di dalam situs resmi ADDAI dikutip beberapa kriteria para dai yang lulus uji kelayakannya, di antaranya adalah; Pertama, mempunyai ilmu keislaman dan kemampuan dakwah yg memadai. Kedua, mendakwahkan sikap wasathiyyah dan moderasi beragama. Ketiga, memposisikan diri di tengah semua kelompok. Dan keempat, tidak memperuncing perbedaan dan selalu menjaga ukhuwah Islamiyah.
Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka para dai dan daiyah boleh segera mendaftar dan mengajukan sertifikasi pada lembaga tersebut. Kemudian lembaga ini akan memberikan materi-materi dakwah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Serta akan memberikan gelar CDAI (Certified Dai) dengan biaya investasi yang telah ditentukan besarannya. Artinya bahwa pemberian sertifikat kepada para dai dan daiyah merupakan sebuah kompensasi bersifat materi sebagai legalitas aktivitas dakwah di sistem kapitalisme sekuler.
Selain itu lembaga ini juga memberikan peluang bagi para dai untuk masuk dalam situs atau web “Cariustadz”. Yaitu sebuah platform digital yang akan menjadi narahubung para ustaz moderat yang bersertifikat dengan masyarakat yang membutuhkan pengajaran keilmuan Islam. Bahkan sertifikat ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh izin melakukan aktivitas dakwah di instansi pemerintahan, lembaga siaran seperti televisi, radio, dan perusahaan lainnya yang berada di dalam dan luar negeri.
Sepintas upaya ini tampak sebagai upaya untuk menjamin dan menjaga kualitas dai dan daiyah dari sisi keilmuannya. Akan tetapi jika di telisik lebih mendalam, justru syarat-syarat yang ditetapkan untuk memperoleh sertifikat itu sendiri menjadi sumber dari masalah.
Sebab melalui lembaga-lembaga sejenis ini, justru peran dan fungsi ulama sebagai dai yang bertugas membimbing dan membina umat telah berubah.
Peran dai dan daiyah telah berubah menjadi sebuah profesi yang bonafide dan menjanjikan kesuksesan yang bersifat materialistik. Sehingga hal ini semakin nyata, bahwa sistem kapitalisme sekuler telah menjerat dunia dakwah ke dalam pusaran kepentingan ekonomi kapitalis demi mengokohkan cengkeraman kekuasaannya terhadap kepentingan umat Islam. Serta melahirkan realitas sosial yang semakin rusak di tengah-tengah masyarakat.
Selain aroma kapitalisasi di balik sertifikasi dai/daiyah, adanya sertifikasi ini “seolah-olah” yang dibolehkan berdakwah ialah yang memiliki sertifikat dai/daiyah. Sementara yang tidak memiliki tidak boleh berdakwah. Jika hal ini dibiarkan sangat berbahaya . Sebab mengaburkan syariah Islam terkait dakwah yang menjadi kewajiban setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, terkait persoalan ini butuh pengaturan sesuai sistem Islam kaffah.
Negara memiliki peran yang sangat vital dalam pelaksanaan dakwah. Negara Islam yaitu Khilafah Islamiyyah memiliki tanggung jawab untuk menyediakan serta menyebarkan informasi tentang pemikiran-pemikiran Islam. Negara akan memberikan fasilitas-fasilitas dari sisi pendidikan dan pelatihan bagi para dai maupun dari sisi penyediaan sarana informasi melalui lembaga penerangan dengan pembiayaan yang ditanggung oleh negara.
Lembaga penerangan adalah lembaga yang bertugas mengelola media informasi, baik media cetak, audio ataupun audio visual. Lembaga ini akan menjalankan fungsinya untuk melayani dan melaksanakan penyebaran dakwah Islam sesuai dengan ketentuan syariah Islam. Karena Khilafah memiliki kewajiban untuk melayani kemaslahatan Islam dan kaum muslim.
Sehingga kebaikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin akan menyebarluas dari dan di dalam masyarakat Islam bahkan sampai ke keseluruhan penjuru dunia. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]