Menata Ulang Indonesia dengan Syariah Kaffah

  • Opini

Oleh: Desi Wulan Sari, M.Si.

Suaramubalighah.com, opini — Gambaran kondisi bangsa ini sebagaimana yang telah Allah SWT firmankan dalam surat Ar-Rum ayat 41,

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Tujuh puluh tujuh tahun sudah Indonesia menjadi negara yang terbebas dari penjajahan fisik negara-negara penjajah. Kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945 diperoleh dengan perjuangan, darah, air mata, nyawa, dan harta sungguh tidak ternilai harganya. Sejak itu pulalah negeri ini mulai menerapkan sistem kapitalisme dalam menjalankan pemerintahannya. Sistem kapitalisme dengan akidah sekularismenya telah melahirkan berbagai kerusakan di seluruh lini kehidupan.

Dengan sistem demokrasinya, kekuasaan dan pemimpin terus berganti memimpin negeri, tetapi masalah negeri ini tidak pernah terselesaikan dengan tuntas. Mulai dari permasalahan ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan kerap kali terus berulang-ulang.

Lihatlah kondisi perekonomian saat ini, padahal Indonesia adalah negara kaya akan sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap saja banyak yang miskin. Tercatat dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia tahun 2020 sebesar 26,42 juta penduduk.

Jangan lupakan juga, tingginya jumlah utang negara menjadi faktor negeri ini tidak mampu berdiri sendiri dengan segala aset potensial yang dimiliki. Tercatat menurut data Kementerian Keuangan utang pemerintah Indonesia hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp. 6.074,56 triliun. Sungguh angka yang fantastis.

Begitu pun situasi dan kondisi politik tanah air yang selalu menjadi sorotan publik. Memperebutkan kekuasaan tertinggi terus bergulir. Bahkan korupsi kian menjamur secara sistemik di berbagai bidang. Lembaga KPK sebagai lembaga khusus memberantas korupsi pun belum mampu menumpas tindakan korupsi ini dengan tuntas. Lembaga pemantau indeks korupsi global merilis laporan Global Corruption Barometer-Asia bahwa Indonesia menjadi negara nomor 3 paling korup di Asia setelah India dan Kamboja, dan menjadi negara terkorup di dunia nomor 96 dari 180 negara.

Hingga pada titik pola perilaku masyarakat kini banyak mengalami pergeseran baik budaya, etika, dan  norma yang ada melalui teknologi yang kian berkembang tanpa batas di dalamnya. Kebebasan berteknologi tanpa batasan baik dan buruknya berpotensi mempengaruhi perubahan sosial pada kultur, suku, ras dan agama negeri ini.

Peduli pada negeri merupakan salah satu wujud kecintaan manusia pada negara yang dicintainya dengan cara-cara yang Allah ridai. Yakni dengan cara mengembalikan tata kelola bangsa ini dengan syariat Islam yang kaffah sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Qashash ayat 85:

 إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَى مَعَادٍ  

“Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali”.

Mewujudkan cinta kita pada negeri ini sebagai negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur dalam naungan syariat Islam. Sebagaimana Rasulullah saw. pun memperlihatkan kepada umatnya bagaimana beliau mencintai Madinah sebagai negeri yang dicintai. Madinah negara pertama dimana kaum muslimin memiliki kekuasaan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah. Dalam hadis HR. Bukhari, Ibnu Hibban, dan Tirmidzi dikatakan:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدُرَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا ……. وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّة حُبِّ الوَطَنِ والحَنِينِ إِلَيْهِ

“Diriwayatkan dari sahabat Anas; bahwa Nabi saw. ketika kembali dari bepergian, dan melihat dinding-dinding Madinah beliau mempercepat laju untanya. Apabila beliau menunggangi unta maka beliau menggerakkannya (untuk mempercepat) karena kecintaan beliau pada Madinah”.

Maka, hari ini ketika umat Islam menginginkan mewujudkan ukhuwah islamiyah dan menata ulang negeri ini menjadi negeri yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur, semestinya menjadikan agenda perjuangan penegakan Khilafah sebagai agenda bersama untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Mengingat sistem Islam yang tebukti pernah berjaya di dunia dan menguasai 2/3 dunia di bawah daulah Islam. Maka apa yang disampaikan dalam Kongres Umat Islam ke-2 yang dilaksanakan di Kota Medan pada 26 Agustus 2022 lalu yaitu membangun pemikiran yang sahih bagi umat Islam adalah sebuah keharusan. Keinginan membawa perubahan pada wajah negeri ini menjadi lebih baik, mengokohkan ukhuwah islamiyyah, dan menata ulang Indonesia kembali dapat diwujudkan.

Sebab, jika keyakinan umat pada syariat tinggi, maka keyakinan itu akan membawa pada kebangkitan dan pengokohan ukhuwah sebagai modal menata ulang negeri ini menjadi lebih baik. Jangan sampai pengokohan umat hanya sebatas kebutuhan sesaat atau sekadar formalitas agar Islam tetap hidup di masyarakat. Bahwasanya umat hari ini seakan jenuh pada carut-marutnya persoalan negeri. Tidak ada satu pun masalah yang tuntas solusinya oleh sistem kapitalis, justru harapan umat untuk kembali kepada Islam diyakini menjadi solusi bagi negeri.

Ukhuwah dan pengokohan umat tercermin dalam hadis yang diriwayatkan An-Nu’man bin Basyir berkata Nabi saw ; “Anda akan melihat kaum mukminin dalam kasih sayang dan cinta-mencintai, pergaulan mereka bagaikan satu badan, jika satu anggotanya sakit, maka menjalarlah kepada anggota lainnya sehingga badannya terasa panas”.

Bahwa ukhuwah menjadi kekuatan umat, satu tubuh tak bisa dipisahkan adalah keharusan. Kokohnya ukhuwah umat akan membawa kebaikan, begitu pun implementasinya dalam sebuah negara, syariat Islam tidak boleh dipisahkan dalam menjalankan urusan individu, masyarakat, hingga negara. Baik kebijakan dan kepentingan tidak boleh dipisah-pisahkan hanya karena kepentingan dan kekuasaan siapa pun, akan tetapi kepentingan utama suatu negara adalah satu yaitu mencapai kemaslahatan yang haq bagi seluruh umat.

Sejatinya, kesejahteraan, kemakmuran, dan kemaslahatan negeri haruslah menyeluruh, baik secara material dan spiritual. Dimana keduanya tidak bisa dipisahkan dalam proses pelaksanaannya. Karena mengembalikan kehidupan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah menjadi alternatif terbaik yang ditawarkan umat hari ini. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]