Fatwa Haram Subsidi BBM untuk Si Kaya?

  • Opini

Oleh: Ashaima Va

Suaramubalighah.com, opini — Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai dari Pertalite, Solar, dan Pertamax. Harga terbaru BBM bersubsidi dan non-subsidi itu mulai berlaku pada Sabtu (3/9/2022) pukul 14.30. Menteri ESDM Arifin Tasrif selanjutnya menjabarkan penyesuaian harga BBM terbaru sebagai berikut: harga Pertalite dari Rp. 7.650 per liter menjadi Rp. 10.000 per liter, harga Solar subsidi dari Rp. 5.150 per liter menjadi Rp. 6.800 per liter, dan harga Pertamax dari Rp. 12.500 menjadi Rp. 14.500 per liter.

Subsidi BBM kini mencapai Rp. 502,4 triliun. Menurut Sri Mulyani dari subsidi tersebut dinikmati sebagian besar oleh orang kaya. Dalam postingan Instagram Sri Mulyani mengungkapkan bahwa sebesar 89% solar dinikmati dunia usaha dan 11%-nya dinikmati golongan rumah tangga. Dari yang dinikmati golongan rumah tangga hanya 5% dinikmati rumah tangga miskin, sisanya sebesar 95% dinikmati rumah tangga mampu. Untuk pertalite, 14% dinikmati dunia usaha dan 86% dinikmati oleh rumah tangga. Dan dari yang dinikmati golongan rumah tangga, sebesar 80% dinikmati oleh rumah tangga mampu 20%-nya oleh rumah tangga miskin. (CNBCIndonesia.com, 28/08/2022)

Merespon keluhan subsidi BBM yang kuotanya jebol dan kerap salah sasaran, DPR RI mengusulkan agar diberikan fatwa haram untuk pembelian BBM bersubsidi bagi orang mampu. Usulan ini datang dari Anggota Komisi VII dari fraksi PDIP, Willy M Yoseph saat Rapat Kerja antara Komisi VII DPR RI dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif di Senayan, Jakarta, Rabu (24/8/2022). (economy.okezone.com, 24/08/2022)

Dalam sistem kapitalisme hubungan penguasa-rakyat didasarkan pada paradigma bisnis, yaitu untung dan rugi. Penguasa laksana pedagang dengan rakyat sebagai pembelinya. Sehingga wajar jika subsidi dianggap beban. Berbagai dalih diberikan untuk mengurangi atau bahkan menghapuskan subsidi.

Dengan paradigma tersebut maka saat BBM dijual dengan harga lebih murah dibandingkan harga pasar, dianggap merugikan. Sehingga harga BBM akan diarahkan agar sesuai harga pasar. Salah satunya dengan cara mencabut subsidi. Terlihat dengan paradigma untung rugi tersebut penguasa tak lagi memiliki prinsip melayani.

Subsidi BBM yang dianggap membebani APBN lalu dihapuskan dan diganti dengan BLT, memang bukan barang baru. Pernah terjadi juga di era SBY. Sehingga muncul pertanyaan yang cukup menggelitik, sebenarnya subsidi BBM itu hak siapa? Lalu benarkah orang-orang yang mampu haram untuk menikmati, sehingga dibutuhkan label haram?

Dalam paradigma Islam hubungan penguasa dengan rakyat adalah hubungan ri’ayah atau hubungan pelayanan. Sehingga tak ada pertimbangan untung-rugi. Penguasa adalah pengatur urusan umat. Apa yang menjadi hak umat akan disediakan tanpa pertimbangan laba. Sebagaimana dalam hadis:

الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُو لٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْ أَةُ رَاعِيَة

“Imam (Khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Penguasa akan bersungguh-sungguh menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak kaum muslimin sesuai hukum syara‘. Karena dalam Islam seorang penguasa meyakini bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban perihal pemenuhan kebutuhan rakyat yang dipimpinnya.

Dalam hukum syariat Islam, BBM masuk kategori kepemilikan umum.  Dan kepemilikan sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak wajib dikelola negara untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat keseluruhan baik muslim maupun nonmuslim, laki-laki maupun perempuan, orang miskin (tidak mampu) maupun orang kaya. Karena menguasai hajat hidup orang banyak untuk memperolehnya warga negara tidak dipungut bayaran apa pun. Inilah paradigma ri’ayah/pelayanan yang mesti dimiliki oleh penguasa dalam Islam.

Sebagaimana hadis Rasulullah saw.

عَنْ رَجُلٍ مِنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ الله قالَ: غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعْتُهُ يَقُوْلُ: النَّاسُ شُرَكَاءُ فِيْ ثلاث: فِي الكلإ وَاْلمَاءِ وَالنَّارِ (( رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدَ رِجالُهُ ثِقَاتٌ

Diriwayatkan dari seorang sahabat mengatakan bahwa saya berperang bersama Rasul saw. maka saya mendengar langsung Rasul saw. bersabda “Manusia itu berserikat dalam tiga perkara dalam rumput liar, dalam urusan air dan api”. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud yang para tokoh hadisnya kuat dapat dipercaya)

Hadis berikutnya adalah tentang pemberian tambang garam yang oleh Rasulullah ditarik kembali, setelah Rasulullah mengetahui bahwa tambang garam tersebut jumlahnya berlimpah.

قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ: ابْنِ عَبْدِ الْمَدَانِ، عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ، أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ – قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ: الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ – فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ: أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ، قَالَ : فَانْتَزَعَ مِنْهُ

Ibnu al-Mutawakkil bin Abdi al-Madan berkata, dari Abyadh bin Hamal, bahwa dia pernah datang menemui Rasulullah saw. dan meminta diberi tambang garam—Ibnu  al-Mutawakkil berkata—yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul saw. memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang laki-laki dari majelis berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan kepada dia? Tidak lain Anda memberi dia  air yang terus mengalir.” Dia (Ibnu al-Mutawakkil) berkata: Lalu beliau menarik kembali tambang itu dari dia (Abyadh bin Hamal) (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi dan Ath-Thabarani. Redaksi menurut Abu Dawud).

Hadist tersebut menjelaskan bahwa karena jumlah tambang garam tersebut berlimpah, maka tidak boleh dimiliki oleh individu dan wajib dikelola negara. Dan dari kedua hadis tersebut hukum syara menegaskan haram jika kepemilikan umum dimiliki oleh individu atau swasta.

Status kepemilikan umum berlaku pula pada barang tambang berupa minyak bumi yang diolah menjadi BBM. Manusia berserikat dalam kepemilikan dan pemanfaatan BBM. Sehingga tak pandang kaya atau miskin, mampu atau tak mampu, bahkan muslim atau nonmuslim selama statusnya sebagai warga negara maka berhak untuk memperoleh BBM dengan gratis. Tak perlu lagi label halal-haram dalam menikmati subsidi. Semua berhak untuk menikmatinya

Usulan untuk pemberian label haram pada BBM subsidi bagi orang mampu tidak perlu dan menyalahi ketentuan syariat. Bahkan semakin membuktikan begitulah pragmatisme sistem kapitalis. Mencari label haram untuk sesuatu yang Allah saja menghalalkannya. Label haram hanya untuk menjustifikasi kebijakan yang sungguh tak populis dan tidak sesuai syariat Islam.

Oleh karena itu, sangat penting dan mendesak guna menyelamatkan nasib rakyat untuk mengembalikan pengelolaan sumber daya alam (termasuk BBM) sesuai dengan syariat Islam dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]