Oleh: Diana Wijayanti
Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Belakangan ini santer berita salah satu tersangka pembunuhan yang tidak ditahan sebagaimana tersangka lain. Ia adalah seorang perempuan yang diperlakukan beda dengan alasan kemanusiaan, yaitu karena kesehatan dan memiliki balita. Sementara dikasus lain, tersangka perempuan tetap ditahan meski dalam keadaan hamil dan memiliki balita.
Sehingga tampak nyata terdapat diskriminasi dalam hal ini. Publik menduga, pengaruh suami yang tinggi di institusi Polri yang menjadi penyebabnya. Tentu saja kondisi tersebut mengusik rasa keadilan. Apakah sejatinya ada keadilan hukum itu di dunia ini? Lalu bagaimana rasa keadilan itu bisa diwujudkan?
Keadilan adalah salah satu kebutuhan umum masyarakat. Tanpa hukum yang adil dalam kehidupan, orang lemah akan terzalimi dan yang kuat pasti akan menindas. Berlakulah hukum rimba “siapa kuat ialah pemenang”, seperti yang terjadi saat ini. Dimana hukum dibuat oleh manusia, akibatnya keadilan menjadi utopis atau mustahil. Karena manusia adalah makhluk yang lemah dan terbatas, tidak mampu mengetahui hakikat baik dan buruk, terpuji maupun tercela. Hukum ditetapkan sesuai kepentingan dan kemashlahatan hawa nafsunya.
Padahal, keadilan di mata hukum adalah dambaan semua insan, baik laki-laki maupun perempuan. Maka manusia sangat membutuhkan hukum yang menjamin keadilan dan bersifat baku berlaku bagi seluruh manusia.
Tentu hukum itu harus bersumber dari zat yang Maha Adil yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan buatan manusia. Mengingat Allah-lah yang menciptakan manusia yang tentu sangat paham hukum yang adil bagi manusia, tanpa berpihak pada salah satunya. Sebagaimana firman-Nya,
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Maidah [5]: 50)
Dari ayat ini, jelas bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memastikan bahwa Dialah satu-satunya zat pembuat hukum yang paling baik bagi manusia. Sementara hukum buatan manusia dianggap sebagai hukum jahiliah yang sangat buruk bagi manusia.
Adapun peran manusia dalam Islam, hanyalah menggali hukum dari nash-nash syara‘ (kitabullah dan sunnah Rasulullah saw.) sebagai sumber hukum yang baku bagi manusia. Sedangkan keputusan hukum harus ada di tangan penguasa atau hakim dalam institusi negara Islam yang dikenal dengan Khilafah Islamiyah. Tidak bisa diputuskan oleh individu atau sekelompok orang.
Khilafah adalah institusi yang diberi amanah syar’i untuk menerapkan seluruh syariat Islam, termasuk masalah peradilan Islam. Sehingga keadilan hukum benar-benar bisa terwujud hingga batas yang luar biasa. Semua manusia memiliki hak yang sama di mata hukum. Baik penguasa atau rakyat biasa, diperlakukan sama.
Sebagaimana kisah sengketa khalifah Ali bin Abi Thalib dengan seorang rakyat biasa dari kalangan Yahudi yang telah mencuri baju besinya. Pada saat itu Imam Ali mengadukan ke hakim Suraih perihal baju besinya, namun beliau tidak mampu menghadirkan dua orang saksi. Akhirnya hakim memenangkan kasus itu pada seorang Yahudi tersebut.
Yahudi tersebut sangat takjub akan keadilan hukum Islam, ia yang orang biasa bisa dimenangkan oleh hakim yang adil karena tidak terpenuhinya syarat dua orang saksi oleh khalifah. Keadilan hukum Islam yang dijalankan hakim mampu menyentuh hati sang Yahudi hingga ia memutuskan untuk masuk Islam.
Setelah itu, ia pun mengembalikan baju besi itu ke Imam Ali. Ia mengaku menemukanmu baju besinya itu ketika terjatuh setelah melakukan peperangan. Khalifah Ali menerima baju besinya, kemudian menghadiahkan baju itu ke Yahudi tadi setelah ia masuk Islam. Ketika kaum muslimin melakukan penaklukan, Yahudi itu mengenakan baju besinya dan syahid di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Fenomena keadilan hukum Islam juga terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tatkala ada seorang perempuan bangsawan mencuri lebih dari seperempat dinar. Dimana hukum potong tangan harus dijatuhkan kepadanya, namun pihak keluarga memelas untuk tidak dijatuhkan hukuman agar aib keluarga tidak terbongkar di mata masyarakat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui hal itu, marah dan tegas akan menghukum wanita dari bani Makhzumiyyah yang kedapatan mencuri meski ada upaya untuk meminta keringanan hukuman. Maka beliau pun menolak permintaan tersebut.
Dari ‘Aisyah ra., beliau ra. menceritakan, “Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari Bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, ‘Siapa yang bisa melobi Rasulullah saw.?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak ada yang berani, kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh Rasulullah saw..’ Maka Usamah pun berkata (melobi) Rasulullah saw. (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah saw. kemudian bersabda, ‘Apakah Engkau memberi syafaat (pertolongan) berkaitan dengan hukum Allah?’ Rasulullah saw. pun berdiri dan berkhotbah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.’” (HR. Bukhari-Muslim)
Inilah keadilan hukum Islam dan ditegakkan oleh penguasa, yakni oleh khalifah atau hakim yang adil. Sehingga memunculkan rasa keadilan di tengah masyarakat. Berbeda dengan hukum buatan manusia yang pasti tidak adil, ditambah lagi penegakkan yang diskriminatif.
Hukum Islam, selain membawa keadilan juga bersifat zawajir (pencegahan di dunia) dan jawabir (penebus dosa di akhirat). Hukum Islam yang sangat keras terhadap pelaku kriminal di masa kekhilafahan Islam akan mencegah manusia untuk melakukan tindakan kejahatan yang serupa. Disamping itu, hukum yang berasal dari Allah SWT ketika diterapkan oleh khalifah, juga sebagai penebus dosa pelaku. Sehingga ia tidak mendapatkan balasan berat di akhirat berupa siksa di neraka yang sangat pedih.
Kekuatan hukum dalam Islam juga mampu menumbuhkan nilai ruhiyah yang sangat tinggi bagi umat Islam. Penerapan sanksi atas tindak kriminal dianggap sama dengan pelaksanaan syariat seperti salat, puasa, zakat, maupun haji. Sehingga ketika warga negara melakukan kejahatan atau tindak kriminal di mata syariat, tidak sedikit dari mereka rela melaporkan diri untuk mendapatkan sanksi sesuai syariat. Meskipun tidak ada yang mengadukan perbuatan tersebut. Dorongan ketakwaan membuat pelaksanaan hukum Islam berjalan dengan sangat baik. Ketakwaan di sini tidak hanya bersifat individual, namun juga masyarakat dan negara.
Pun halnya terhadap tindak kriminal yang dilakukan oleh perempuan. Sanksi terhadap perempuan yang yang hamil maupun punya anak kecil, dirinci secara detail dalam Islam. Islam sangat adil, tidak hanya bagi laki-laki namun juga terhadap perempuan.
Hal ini dapat tergambar dari kisah perempuan dari Ghamidiyah asal lembah Juhainah. Di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia mengaku telah menikah, namun melakukan zina hingga hamil. Ia kemudian meminta untuk dijatuhkan hukuman rajam hingga mati.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan agar ia segera bertobat kepada Allah SWT sambil menunggu bayi yang dikandungnya lahir. Setelah melahirkan, perempuan itu kembali melaporkan diri dan mendesak untuk segera dieksekusi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya pulang dan memberi kesempatan untuk menyusui anaknya hingga disapih.
Perempuan itu pun datang lagi setelah anaknya yang membawa roti, bukti ia sudah disapih. Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memahami bahwa perempuan itu sungguh-sungguh dalam tobatnya dan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Perempuan ini benar-benar paham bahwa hukuman di dunia yang berat itu akan menebus dosanya sehingga di akhirat tidak akan disiksa lagi.
Para sahabat kemudian diperintahkan untuk melakukan rajam atas perempuan itu. Ada seorang yang menimpuk batu sangat keras hingga darah mengalir, ia merasa puas dan senang atas hal itu. Hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan agar tidak berbuat seperti itu lagi.
Setelah wanita tersebut meninggal, beliaupun menyalatinya. Melihat hal tersebut, Umar bin Khaththab merasa heran sekali. Beliau berkata: “Engkau menyalatinya wahai Nabi Allah, sungguh dia telah berzina!”
Rasulullah kembali bersabda: “Sungguh dia telah bertobat dengan satu tobat, yang seandainya tobatnya itu dibagikan kepada 70 orang dari penduduk Madinah, maka tobat itu akan mencukupinya. Apakah engkau mendapati sebuah tobat yang lebih utama dari pengorbanan dirinya untuk Allah?” (HR. Ahmad)
Begitulah teladan penegakkan hukum Islam berupa hudud atas perzinaan yang muhshan (sudah menikah) terhadap perempuan yang hamil dan menyusui. Apabila kejahatan perempuan itu membunuh, maka Islam menetapkan hukum qishash (balas bunuh) atas pelakunya. Bila mendapat maaf dari keluarga maka wajib membayar diat. Hal ini sebagaimana firman-Nya :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ اَلْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْاُنْثٰى بِالْاُنْثٰىۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗفَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS. Al Baqarah [2]: 178)
Sehingga jelas, posisi atau kedudukan seseorang di mata hukum ialah sama dan keadilan hukum Islam bisa dirasakan oleh semua orang termasuk pelaku. Hanya dengan menerapkan hukum Islam dalam naungan Khilafah, keadilan akan benar-benar terwujud. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]