Oleh Mahganipatra
Suaramubalighah.com, opini — Dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan di Semarang, KUPI telah merumuskan konsep Islam kafah. Dalam konsep ini, KUPI telah meleburkan konsep Islam kafah ke dalam tiga unsur yaitu iman, Islam, dan ikhsan. Peleburan ketiga unsur ini juga telah ditafsirkan pada penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis berdasarkan perspektif KUPI yang khas. Yaitu dengan memandang bahwa perempuan tidak hanya sebatas gender, melainkan dari kaum-kaum yang rentan mengalami diskriminatif.
Selain itu, menurut pandangan KUPI, di era milenial ini peran ulama di tengah masyarakat memiliki tugas untuk mendakwahkan Islam dalam sebuah gerakan yang disebut dengan gerakan berislam kafah. Di dalam dakwahnya, gerakan ini telah menginterprestasikan dakwah Islam kafah pada tiga nilai yaitu nilai tauhid/tahlil, nilai kerahmatan/rahmatan lil alamin, dan nilai kemaslahatan. (atmaGo.com, 08/09/2022)
Benarkah dakwah Islam kafah dapat dirumuskan serta ditafsirkan ke dalam pembatasan tiga unsur ini? Lalu bagaimana penafsiran tentang Islam kafah menurut Al Qur’an?
Islam Kafah Menurut Al Qur’an dan Hadis
Gerakan berislam kafah ala KUPI secara tidak langsung telah memarginalisasi peran para ulama dalam berdakwah. Sebab menurut perspektif KUPI peran ulama di tengah masyarakat hanya bertugas mendakwahkan pada nilai-nilai Islam berdasarkan tiga hal, yakni:
Pertama, nilai tauhid/tahlil yang hanya bertujuan untuk melepaskan kebodohan dan kegelapan hati umat manusia dari sesuatu selain Allah SWT. Dalam konsep ini KUPI hanya memandang bahwa peran para nabi dan rasul serta para ulama terbatas hanya pada mendakwahkan Islam dalam aspek penyembahan (akidah dan ibadah). Sehingga manusia akan terhindar dari perbuatan mafsadat (kerusakan) di muka bumi ini.
Padahal, tugas para nabi dan rasul dalam berdakwah tidak hanya menyampaikan aspek akidah dan ibadah saja. Namun juga berperan membimbing manusia pada aspek-aspek lain. Sebab dien Islam, telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, agar tunduk dan patuh untuk mengikuti perintah dan larangan Allah SWT. Hal ini dapat disaksikan pada setiap perbuatan para nabi dan rasul berdasarkan kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu, penjelasan tentang wajibnya untuk mengambil contoh perbuatan para nabi dan rasul sebagai suri tauladan bagi kehidupan manusia, telah di jelaskan di dalam Al Qur’an. Allah SWT. berfirman:
لَقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِىۡ رَسُوۡلِ اللّٰهِ اُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنۡ كَانَ يَرۡجُوا اللّٰهَ وَالۡيَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيۡرًا
Artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Maka, berdasarkan penjelasan ayat ini serta petunjuk berdasarkan perjalanan sirah Rasulullah Saw., akan tampak jelas bahwa aktivitas dakwah Rasulullah adalah menyeru umat manusia untuk memeluk dan menjalankan syariat Islam secara kafah. Dengan tidak mengambil ajaran Islam dari salah satu aspek saja. Tetapi harus melaksanakan seluruh ajaran Islam secara keseluruhan (kafah). Di mana dien Islam merupakan ajaran atau risalah yang diturunkan Allah SWT. kepada Nabi Muhammad Saw. melalui malaikat jibril yang mengatur aspek akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Aspek-aspek tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya: “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (QS. Al-Baqarah: 208)
Kedua, nilai kerahmatan/rahmatan lil alamin. Dalam perspektif KUPI, capaian Islam sebagai agama rahmatan lil alamin adalah ketika Islam mampu untuk memberikan perlindungan serta menghasilkan kerahmatan kepada perempuan yang dianggap rentan mengalami diskriminatif. Sehingga untuk mencapai nilai-nilai ini, KUPI melakukan aktivitas penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis berdasarkan isu-isu kontemporer. Dengan membuka ruang ijtihad berdasarkan pada penafsiran akal manusia.
Sementara itu, metode penafsiran berdasarkan akal manusia, justru akan membuka ruang bagi para ulama untuk makin jauh dari pemahaman Islam kafah yang sebenarnya.
Karena akal manusia memiliki sifat terbatas dalam memahami dalil serta cenderung mengikuti hawa nafsu. Sehingga kecenderungan dalam menilai “sikap diskriminatif Islam terhadap perempuan” menurut perspektif KUPI lebih pada pengaruh pandangan sempit KUPI dalam memahami makna Islam kafah sebagai agama yang memiliki karakter rahmatan lil alamin.
Sebab, pandangan sempit ini lahir dari pengaruh paham kesetaraan gender dan HAM yang menetapkan makna rahmatan lil alamin hanya terbatas pada kemampuannya dalam melindungi perempuan. Padahal sejatinya, konsep Islam kafah ketika didakwahkan secara komprehensif tidak hanya terbatas pada kemampuan dalam melindungi perempuan saja. Namun justru akan mampu melindungi seluruh umat manusia beserta seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini.
Selain itu, dengan lahirnya konsep dakwah ini, sebenarnya justru telah mendorong pada upaya lahirnya marginalisasi materi-materi dakwah. Berdasarkan kepentingan kelompok-kelompok dakwah yang akan melahirkan sikap para aktivis dakwah yang hanya menyampaikan dakwah Islam secara parsial. Dan membatasi aktivitas dakwah berdasarkan aspek-aspek tertentu saja. Oleh karena itu, dakwah semacam ini justru akan makin menjauhkan Islam sebagai dien yang memiliki karakter rahmatan lil alamin.
Ketiga, nilai kemaslahatan yang dipadankan pada nilai akhlakul karimah/akhlak terpuji. Yaitu dengan menyandingkan wasiat tarekat Abah Anom salah seorang ulama sufi nusantara pada perumusan nilai kemaslahatan yang ditetapkan oleh KUPI. Di mana KUPI telah menilai akhlakul karimah sebagai tsamrah atau buah-buahan yang dapat dipanen atau dinikmati ketika mampu mewujudkan nilai-nilai kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan/konstitusi, kemanusiaan secara global, dan kesemestaan. Bahkan, kemudian KUPI juga memandang bahwa nilai kebangsaan/konstitusi merupakan salah satu pilar yang akan mampu menyandingkan term agama dengan term negara.
Sedangkan di dalam paham Islam kafah, nilai akhlakul karimah merupakan bagian dari hukum Islam yang akan terbentuk pada individu karena pengaruh dari ketakwaan individu muslim. Sehingga seluruh nilai kemaslahatan tidak dapat dipadankan pada nilai akhlakul karimah, sebab nilai maslahat hanya akan lahir ketika syariat Islam diterapkan dalam sebuah institusi negara. Jadi pilar yang mampu mewujudkan kemaslahatan bukanlah nilai kebangsaan/konstitusi, tetapi berdasarkan pada penerapan hukum-hukum syariat Islam. Lebih dari itu, nilai kebangsaan/konstitusi Justru muncul dari paham nasionalisme yang telah membentuk batasan-batasan teritorial yang menghancurkan persatuan umat Islam di seluruh dunia.
Oleh karena itu agar terwujud nilai-nilai kemaslahatan bagi manusia, dibutuhkan peran ulama untuk menerapkan seluruh hukum Islam secara totalitas yang akan diterapkan oleh negara. Dan negara yang memiliki kemampuan untuk menerapkan hukum Islam secara totalitas serta mampu mewujudkan nilai-nilai kemaslahatan manusia hanyalah negara Khilafah Islamiyyah bukan negara dalam bentuk yang lain. Oleh sebab itu, maka sudah sewajarnya ketika para ulama membentuk gerakan berislam kafah maka gerakan tersebut harus merupakan gerakan yang menyeru pada dakwah untuk menegakkan khilafah.
Wallahu a’lam bish-showab [ ]