Liberalisasi Mentolerir Penghinaan Terhadap Islam

  • Opini

Oleh: Zakiyah Amin

Suaramubalighah.com, opini — Agama itu tidak boleh dibuat main-main. Allah SWT. mengecam keras orang yang mengolok-olok agama.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. At-Taubah: 65)

Miris, baru-baru ini media sosial ramai membahas postingan Eko Kuntadi tentang cuitannya yang bernada menghina bukan hanya kepada Ustazah Ning Imaz namun juga menghina Islam. Dalam sebuah video, Ning Imaz sejatinya menjelaskan soal tafsir Surat Ali-Imran ayat 14. Lalu Eko Kuntadi mentwit, “Jadi bidadari itu bukan perempuan?” Dia juga mengunggah video Ning Imaz dengan menambahkan kata-kata tak pantas. “Tolol tingkat kadal. Hidup kok cuma mimpi selangkangan,” cuit Eko pada Selasa. (detikNews.com,13/09/2022)

Cuitan ini memantik kemarahan umat Islam. Respon kemarahan umat Islam sangatlah beralasan, bahkan wajib untuk bela agamanya jika dihina. Alih-alih terjerat hukum, namun yang terjadi sang penghina pun dimaafkan setelah sowan ke pesantren dengan mengatakan bahwa itu hanya candaan dan tidak mengenal Ning Imas. Sang penghina seolah kebal hukum! Dan fenomena seperti ini sudah sering terjadi di negeri ini. Ketika yang dihina Islam (ajaran Islam) dan ulama.

Penghinaan seperti ini akan terus terjadi selama negara menerapkan sistem demokrasi liberal yang mengadopsi kebebasan individu dalam berperilaku. Liberalisasi merupakan salah satu prinsip masyarakat demokrasi. Menganggap kebebasan individu di atas segalanya sehingga ikatan perbuatan segalanya bebas. Standar perilakunya adalah kemaslahatan yang bersifat kondisional.

Mentolerir kasus penghinaan terhadap Islam adalah bukti nyata buah dari liberalisme Watak dasar negara demokrasi liberal mentolerir segala bentuk kebebasan individu. Tidak punya standar yang mengikat.

Semestinya seorang muslim menjauhkan diri dari perkataan yang tidak baik (menghina). Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim yang berakal untuk melakukan penghinaan. Karena para ulama sepakat bahwa penghinaan terhadap Islam dan penganutnya merupakan dosa besar, yang menjadikan pelakunya fasik bahkan bisa kafir. Dan harus ada sanksi hukum untuk membuat efek jera sesuai dengan tingkat penghinaannya terhadap Islam dan kaum muslim.

Ketidakberdayaan umat Islam (termasuk kasus yang menimpa Ning Imas) dalam menghadapi penghinaan tak lepas dari abainya peran negara dalam riayah (memelihara) dalam menjaga marwah (kemuliaan) Islam dan kaum muslim. Negara bahkan gagal menciptakan masyarakat yang berkepribadian Islam. Sistem pendidikannya sekuler. Tidak sedikit orang pintar dan orang cerdas di negri ini tapi kering akidah dan miskin moral bahkan negara mentolerir penghina Islam dan ulama .

Dalam sistem demokrasi saat ini, Islam diperlakukan “tidak adil” oleh sebagian kaum muslim sendiri. Islam begitu agung, lengkap dan sempurna justru menjadi kerdil, lemah, dan seolah-olah memiliki banyak kekurangan di tangan kaum muslim saat ini. Tidak berdaya menghadapi tantangan liberalisasi yang diproduksi oleh kapitalis liberal. Akibatnya, kaum muslim gagap ketika dihadapkan dengan beragam persoalan. Terutama ketika ajaran Islam dimarginalkan, dihina, dan direndahkan.

Untuk mengakhiri segala bentuk penghinaan terhadap Islam dan kaum muslim, termasuk didalamnya ulama (ustazah) dibutuhkan negara yang menerapkan sistem Islam yang akan menjaganya. Rasulullah Saw. bersabda, artinya:

”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain)

Terlebih lagi Allah SWT. telah memperingatkan kepada umat Islam untuk mengangkat pemimpin yang mampu menjaga agama. Allah SWT. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS Al-Maidah: 57)

Al Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali dalam kitabnya “Al iqthisad Fi Al I’tiqad” menyatakan, bahwa agama & kekuasaan adalah saudara kembar. agama merupakan pondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Kemuliaan Islam dan kaum muslim akan terwujud dalam kekuasaan yang menerapkan syariah Islam kafah dalam naungan khilafah.

Urgensi mengembalikan marwah vitalitas Islam adalah harga mati. Menunda berarti memberi peluang para pembenci Islam terus bergerak melakukan misinya. Pada titik ini, umat Islam harus segera memahami musuh yang nyata. Persatuan umat Islam dalam ikatan akidah sangatlah diharapkan dengan maksud merumuskan langkah perjuangan untuk menghadapi musuh yang selalu terus menggerogoti. Persatuan umat Islam dalam naungan khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kafah yang akan mampu menjaga izzul Islam wal muslimin.

Wallahu a’lam bishshawab.