Dukungan dan Suara Pesantren Diperebutkan Jelang Tahun Politik Demokrasi

  • Opini

Oleh: Desi Wulan Sari, M.Si.

Suaramubalighah.com, opini — Pola para politikus produk sistem demokrasi sangat mudah terbaca. Jika mereka mulai berpenampilan islami (mengenakan peci bagi laki-laki dan kerudung bagi perempuan) dan mereka rajin sowan ke pesantren, artinya gelaran pesta demokrasi sebentar lagi. Pesantren dengan potensi yang sangat besar menjadi sasaran yang cukup strategis dalam meraih dukungan dan suara dalan pemilu. Kementerian Agama (Kemenag) mencatat, jumlah pesantren di Indonesia sebanyak 26.975 unit hingga April 2022. Bakal calon kontestan peserta pemilu demokrasi seolah-olah menjadikan pesantren “barometer” dalam meraih dukungan maupun suara. Baik mereka yang sudah identik dengan Islam maupun yang berseberangan. Semua “mendadak peduli” dengan umat Islam.

Bukan rahasia lagi, atas nama kunjungan kerja, Ketua DPR Puan Maharani baru-baru ini berkunjung ke Pondok Pesantren (Ponpes) Mahasina di Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat pada Rabu (21/9). Dengan menyelipkan “pesan sponsor” yakni narasi kaum feminis yang sejatinya justru menjauhkan santri dari pemahaman yang benar tentang Islam yang kaffah. Salah satu contohnya pesan yang tendensius mengenai “peningkatan diri santri perempuan agar lebih percaya diri dan mampu berperan setara dengan para laki-laki, bahkan dengan menjadi presiden perempuan sekalipun”. (sindonews.com, 24/09/2022)

Prabowo pun tak mau kalah, beliau mengunjungi Ponpes API (Asrama Perguruan Islam) Asri Syubbanul Wathon Tegalrejo Magelang pada Jumat (23/9) didampingi ketua PKB Muhaimin Iskandar dengan membawa pesan “basa-basi” agar para santri giat belajar untuk meraih ilmu demi kepentingan bangsa dan negara. Ia berjanji akan datang kembali untuk membawakan buku-buku dan film-film untuk jadi referensi belajar para santri. Dan masih banyak lagi para politikus demokrasi ini melakukan hal yang sama.

Upaya arus opini politik ala demokrasi disinyalir terus dilakukan, di antaranya dengan menuangkan ide kesetaraan gender yang diusung kaum feminis, moderasi beragama tentang pluralisme, toleransi, keberagaman, dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perspektif Barat pun dijajakan. Padahal itu semua justru menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang shahih, bahkan menyebabkan kebingungan bagi para generasi muda kini, termasuk santri yang ada di pondok pesantren.

Pada dasarnya, lingkungan pendidikan pesantren sendiri memiliki pandangan politik dari ilmu Islam yang dipelajarinya secara kaffah. Termasuk di dalamnya ilmu kehidupan, seperti sosial, budaya, dan politik yang berpijak pada pandangan Islam. Namun, alih-alih menguatkan pemahaman keislaman para santri yang belajar melalui pendidikan berbasis agama seperti  pesantren, justru kedatangan para politikus ke beberapa pesantren memberikan opini mainstream ala demokrasi demi tercapai tujuan yang ingin diraih. 

Pemandangan seperti ini tidaklah mengherankan dalam alam demokrasi. Sebab demokrasi lahir dari asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), yang menjadikan manfaat sebagai tolok ukur perbuatannya. Bahkan politik demokrasi pun menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Dan mereka bekerja demi kepentingan para kapitalis (pemilik modal/harta).

Dalam sistem demokrasi, hubungan rakyat dengan penguasa adalah hubungan transaksional bukan pelayanan (ri’ayah). Artinya jika rakyat ingin diperhatikan, maka harus memberikan suaranya. Bahkan faktanya pesantren sebagai basis dukungan dan suara dalam pemilu demokrasi, tidak lagi diperhatikan ketika mereka sudah berkuasa. Namun justru mereka (politisi dan negarawan) membuat kebijakan-kebijakan yang merusak santri dan pesantren, seperti UU pesantren dan turunannya dan berbagai program moderasi beragama yang justru menjauhkan pesantren dari tugas untuk tafaqquh fiddin dan mencetak ulama warasatul anbiya’.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan konsep politik dalam Islam. Politik Islam (siyasah Islam), mengatur segenap urusan umat (rakyat) tanpa pandang bulu (baik muslim maupun nonmuslim, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa, kaya maupun miskin, dan memberikan dukungan suaranya maupun tidak) selama mereka adalah warga negara Daulah Islam akan diurusi. Para politikus dan negarawan bekerja  dengan landasan iman dan menjadikan halal haram (berdasarkan Al-Qur’an dan hadis) sebagai tolok ukur perbuatannya dalam amanatnya.

Tugas dan amanah yang dipikul para pemimpin akan dilakukan dengan benar sesuai syariat Islam, semata-mata karena takut akan pertanggungjawaban di yaumil akhir kelak. Para politikus dan negarawan dalam politik Islam akan berbuat adil dengan menjalankan syariat Islam karena takut ancaman Allah SWT bagi orang yang berbuat zalim. Firman Allah SWT,

اِنَّمَا السَّبِيْلُ عَلَى الَّذِيْنَ يَظْلِمُوْنَ النَّاسَ وَيَبْغُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa mengindahkan kebenaran. Mereka itu mendapatkan siksa yang pedih” (QS. Asy-Syura: 42)

Sejatinya, umat membutuhkan sistem politik yang berpihak pada rakyat, yang mampu membawa kesejahteraan, kemakmuran, kebahagiaan dengan penuh kemaslahatan. Umat butuh sistem politik Islam yang telah Rasulullah saw. contohkan kepada umatnya, yakni menjalankan pemerintahan yang sesuai dengan hukum Allah SWT semata. Karena hanya Islam yang mampu memberikan solusi tuntas dari setiap problematika yang ada di dunia ini.

Oleh karena itu, pesantren harus punya agenda politik sendiri agar tidak menjadi korban keserakahan para kapitalis. Pesantren harus mempertegas visi perjuangannya. Yakni berjuang mewujudkan politik Islam dengan penerapan syariat Islam secara kaffahdalam naungan Khilafah yang telah tercantum dalam nash-nash Al-Qur’an, hadis, ijma sahabat, dan qiyas.

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Mly]