Kewajiban Nafkah untuk Para Suami dalam Syariat Islam

Oleh: Hj.Padliyati Siregar, S.T.

Suaramubalighah.com, muslimah dan keluarga — Hidup sejahtera dengan terpenuhi seluruh kebutuhan, merupakan dambaan setiap orang. Begitu pun perempuan, kesejahteraan adalah yang mereka rindukan. Namun hari ini, kesejahteraan seolah berada di puncak nun jauh di sana. Setiap orang harus berjuang sendiri, banting tulang agar dapat meraihnya. Tidak terkecuali kaum hawa, mereka pun harus berjibaku dan “berdaya” secara ekonomi agar sampai pada level perempuan sejahtera.

Gempuran sistem kapitalisme yang mencengkeram keluarga muslim, tentu saja membuat situasi ini tidak selalu berlangsung ideal. Tidak ada jaminan pemenuhan kebutuhan primer oleh negara, menjadikan keluarga yang sejahtera semakin sulit. Belum lagi pendapatan yang diperoleh ayah tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan, terlebih di situasi pandemi ini ada sebuah kondisi yang menjadikan ayah kehilangan pekerjaan atau dirumahkan. Akhirnya istri yang harus membantu suami agar seluruh kebutuhan dapat terpenuhi.

Istri pun dipaksa oleh sistem kapitalisme untuk menjadi “pejuang ekonomi keluarga”. Banyak peluang usaha dan lapangan kerja justru diperuntukkan untuk perempuan. Meskipun dalam Islam tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja atau mencari nafkah, tetapi bukan berarti posisi suami sebagai pencari nafkah utama lantas tergantikan. Mencari nafkah dan bekerja tetap menjadi tanggung jawab suami. Kewajiban ini tidak gugur jika istri bekerja.

Kewajiban Nafkah oleh Suami

Sebagai din yang sempurna, Islam telah mengatur peran-peran di dalam rumah tangga dengan sangat terperinci dan adil. Islam telah memberikan tanggung jawab kepada laki-laki untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Islam menjadikan lelaki sebagai kepala keluarga, pemimpin dalam keluarga, dan di pundaknya itulah terletak tanggung jawab nafkah keluarga. Seorang ayah berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan istri dan anak-anaknya secara layak.

Allah SWT berfirman,

…وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ …

“Kewajiban ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu secara layak. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 233)

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

“Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang menelantarkan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, An-Nasai, Al-Baihaqi, Al-Hakim, dan Ath-Thabrani)

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْماً أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

“Cukuplah dianggap berdosa seseorang yang tidak memberi nafkah orang yang berada dalam tanggungannya.” (HR. Muslim dan Ibnu Hibban)

Begitu besarnya perhatian Islam terkait pemenuhan nafkah keluarga. Islam telah menetapkan bahwa pembelanjaan untuk nafkah keluarga lebih agung pahalanya dibandingkan dengan infak fi sabilillah, membebaskan budak, dan sedekah kepada orang miskin.

Rasul saw. bersabda,

دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ الله وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ

“Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau belanjakan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu, yang paling agung pahalanya adalah yang engkau nafkahkan terhadap keluargamu.” (HR. Muslim)

Nabi saw. bersabda, “Sungguh tidaklah kamu menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti), kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), termasuk makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari)

Dosa Melalaikan Kewajiban Nafkah

Islam menentukan bahwa kewajiban nafkah ada di tangan suami (laki-laki), bukan di tangan istri meski mampu. Sehingga jika suami melalaikan kewajiban ini, maka dosa baginya yang akan diterima.

Keadaan saat ini dengan kezaliman penguasa yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme hingga menghantarkan negeri ini masuk ke dalam jurang resesi ekonomi, membuat para suami kesulitan untuk memenuhinya. Situasi hari ini membuat para suami sulit untuk menafkahi bukan semata karena lalai, namun realitanya karena arus pemberdayaan ekonomi perempuan yang dilakukan oleh pemerintah.

Tak sedikit para suami yang berputus asa ketika problem kehilangan pekerjaan ini menimpa. Akhirnya ia tak mau bekerja, memilih berdiam diri. Menyalahkan keadaan dan bahkan menimpakan beban ini ke pundak istri. Membiarkan istri kalang kabut mencari nafkah keluarga sambil mengurus berbagai urusan rumah tangga. Termasuk mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Tentu ini adalah sebuah tindakan zalim terhadap istri.

Suami harus selalu menyadari betapa besarnya dosa melalaikan kewajiban nafkah Ini. Ia memiliki tanggung jawab berat menafkahi keluarganya. Ia adalah pemimpin dalam keluarganya. Ia akan ditanya Allah SWT atas semua yang ada dalam pengelolaannya. Abdullah bin Umar ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ … الرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dia pimpin….Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Tak pelak, kemaslahatan kaum perempuan semata-mata terletak dalam syariat Islam yang diterapkan secara kafah, alih-alih sistem kapitalisme yang hanya mampu mengatasi masalah dengan masalah baru.

Allah SWT berfirman, 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَجِيْبُوْا لِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ اِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيْكُمْۚ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ يَحُوْلُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهٖ وَاَنَّهٗٓ اِلَيْهِ تُحْشَرُوْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 24)

Agar kewajiban nafkah suami berjalan dengan baik, butuh dukungan sistem yang memberikan peluang besar bagi suami bekerja. Yakni dengan membuka lapangan pekerjaan atau support usaha dan skill usaha untuk para suami. Ini butuh sistem yang menerapkan syariat Islam yang kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam. [SM/Ah]