Oleh: Siti Murlina, S. Ag
Suaramubalighah.com, Hadis — Dalam Islam, pernikahan merupakan bagian dari kesempurnaan ibadah dan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketika dua insan menyatukan diri dalam ikatan pernikahan, maka syariat telah mengatur dan menetapkan atas suami istri. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang mesti dilakukan agar terjalin hubungan yang sakinah, mawadah, warahmah.
Dalam kehidupan sehari-hari, pasangan suami istri hendaknya saling melayani dan membahagiakan satu sama lain. Terlebih bagi suami sebagai kepala keluarga, wajib untuk membina keluarganya agar senantiasa menjaga keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Maka, di antara kewajiban suami yang agung dan mulia adalah memberi nafkah kepada istri dan anaknya.
Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan hal lainnya. Memberi nafkah adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al-Qur’an, hadis, ijma’, dan dalil akli. Nafkah yang diberikan bisa sesuai dengan kemampuan suami, namun harus mencukupi kebutuhan sang istri dan anak, atau setidaknya menyamakan dengan apa yang dinikmati oleh sang suami. Kemuliaan dan keutamaan bagi suami yang mencari nafkah bagi istri dan anaknya diberi pahala yang sangat besar. Sebagaimana sabda Nabi shalallahu alaihi wassalam
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi).” (HR. Muslim, No. 995)
Dalam hadis yang lain dinyatakan
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
“Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari No. 56)
Berdasarkan hadis di atas, Imam Nawawi menjelaskan bahwa nafkah kepada keluarga itu lebih afdal dari sedekah sunnah. Ibnu Taimiyah rahimahullah, menjelaskan sebagaimana jumhur ulama sepakat, bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syariat. Masalah nafkah ini disesuaikan dengan tempat, zaman, keadaan suami istri, dan adat yang ada.
Kewajiban menafkahi bagi suami selain merupakan amal sholeh yang pahalanya sangat besar juga dinilai sebagai sedekah. Allah akan memberi keberkahan pada setiap nafkah yang diberikan suami kepada keluarganya, juga Allah akan menggantinya dengan rezeki yang lebih baik lagi. Allah juga menyamakan bekerja mencari nafkah dengan berjihad di medan perang. Sehingga jika seseorang yang wafat sedang bekerja mencari nafkah maka matinya adalah mati syahid. Ibnu Al Mubarok menggambarkan bahwa memberi nafkah terhadap keluarga tidak tertandingi amalan apapun, termasuk jihad di jalan Allah. Sebagaimana hadis yang dinukil dari Ka’ab bin Ujroh
أنَّه مر على النبي صلى الله عليه وسلم رجلٌ، فرأى أصحابُ رسول الله صلى الله عليه وسلم من جَلَدِه ونشاطِه، فقالوا: يا رسول الله، لو كان هذا في سبيلِ الله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إن كان خرجَ يسعى على وَلَدِه صِغارًا، فهو في سبيل الله، وإن كان خرج يسعى على أبوين شيخين كبيرين، فهو في سبيل الله،
“Seorang sahabat pernah berpapasan dengan Nabi shalallahu alaihi wasallam, lalu para sahabat juga turut menyaksikan sahabat tadi yang warna kulitnya legam dan sangat rajin, mereka pun berkata, “Wahai Rasululullah, seandainya (pria semacam ini) ikut berjihad. Lalu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menimpali, “Jika dia keluar rumah untuk menafkahi anaknya yang kecil dia (jihad) di jalan Allah, jika dia keluar untuk menafkah dua orang tuanya yang sudah renta, dia di jalan Allah.” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada keluarganya padahal punya kemampuan, ia telah berdosa. Karena telah melalaikan satu kewajiban yang Allah subhanahu wa ta’ala telah bebankan kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan hal ini dalam sabdanya
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوْتَهُ
“Cukuplah bagi seseorang untuk mendapatkan dosa bila ia menahan makanan dari orang yang berhak mendapatkan makanan darinya.”(HR. Muslim No. 996)
Hendaknya keutamaan dan kemuliaan yang diwajibkan kepada para suami, dalam hal menafkahi istri dan anak diupayakan dengan sebaik-baiknya, sebagai ladang amal saleh bagi suami. Dan hendaklah dengan niat yang tulus ikhlas karena Allah semata. Sudah sepantasnya kewajiban ini ditunaikan dengan sepatutnya, jangan sampai istri dan anak terlantar karenanya. Sebagaimana tuntunan syariat Islam, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” (HR. Tirmidzi)
Juga firman Allah SWT
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah [2]: 233). Wallahua’lam bishshawab. (SM/mly)