Ulama Tidak Layak Menolak Khilafah

  • Opini

Oleh: Mahganipatra

“Apabila seseorang itu mengetahui jati dirinya maka perkataan manusia tidak ada manfaat baginya.” (Imam Ahmad bin Hambal ra.)

Suaramubalighah.com, opini — Rasanya sangat tepat, jika pernyataan Imam Ahmad bin Hambal ra. di atas dielaborasi pada   launching program Halaqah Fiqih Peradaban yang diselenggarakan oleh PBNU di Ponpes Krapyak, Yogyakarta, Kamis (11/08/2022).  Peluncuran Halaqah Fiqih Peradaban ini dihadiri juga oleh Ketua Panitia Pengarah Peringatan Satu Abad NU, H. Erick Tohir. (nuonline.id, 11/08/2022)

Program ini akan diselenggarakan lebih dari 250 titik pondok pesantren di seluruh Indonesia. Dan merupakan pembuka menuju puncak acara yang akan digelar pada saat Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang akan dihadiri oleh ratusan ulama dan kiai sedunia di Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan-Jakarta. Lantas untuk apa diselenggarakan Halaqah Fiqih Peradaban ini?

Bahaya Islam Nusantara di Balik Halaqah Fiqih Peradaban 

Di dalam acara Halaqah Fiqih Peradaban, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam sambutannya telah mendorong para ulama dan kiai untuk merumuskan ijmak (kesepakatan) yang selanjutnya disebut sebagai Konsensus Jakarta. Konsensus ini rencananya akan membahas dan memutuskan beberapa persoalan penting dari hasil diskusi para ulama dan kiai pada acara Halaqah Fiqih Peradaban ke dalam acara “Muktamar Internasional Fiqih Peradaban” yang akan diselenggarakan oleh ormas PBNU. Acara ini akan digelar pada 5-6 Februari 2023, sebagai acara puncak perayaan “Satu Abad NU”. (republika.co.id, 22/09/2022)

Sementara itu di tempat yang berbeda (dalam acara yang sama) diselenggarakan di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo-Jawa Timur (10/2). Ketua Panitia Nasional Fiqih Peradaban, KH. Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil), menyatakan bahwa Halaqah Fiqih Peradaban sejatinya memiliki dua tujuan, yaitu menghidupkan kembali tradisi di era Gus Dur dan mendorong para ulama serta kiai di lingkungan NU untuk mengeksplorasi lebih dalam kitab-kitab fikih terutama fikih siyasi. Agar fikih lebih kontekstual dan bisa menjawab masalah-masalah peradaban baru yang sedang dihadapi saat ini.

Karena saat ini sedang terjadi  perubahan peradaban dunia yang berkaitan dengan perubahan tata politik dunia terkait dengan peta politik dan identitas agama. Beliau juga menjelaskan bahwa tidak terdapat kontradiksi antara Halaqah Fiqih Peradaban dengan Islam Nusantara. Justru Islam Nusantara telah memberikan identitas terhadap praktik keislaman yang berkembang di kawasan Nusantara sebagai komunitas muslim kawasan yang dapat mengokohkan identitas muslim dalam sebuah negara bangsa (nation state).

Sebenarnya ide atau gagasan Islam Nusantara merupakan bagian dari proses sekularisme dan  sudah sejak lama dideraskan  ke tengah umat. Ide ini mengusung konsep bahwa Islam yang ada di Indonesia sudah sesuai dengan tradisi, budaya, dan kearifan lokal sehingga tidak membutuhkan Islam dari “Arab atau Timur Tengah”. Isu ini sengaja dideraskan untuk menolak opini dakwah penegakan syariat dan Khilafah yang kian santer. Selain itu isu rekontekstualisasi fikih juga akan kembali dibahas dan diputuskan menjadi isu dasar di dalam Halaqah Fiqih Peradaban.

Isu rekontekstualisasi fikih dianggap penting untuk dibahas. Karena dengan rekontekstualisasi fikih, pengamalan Islam akan sesuai dengan realitas saat ini. Dimana umat Islam Indonesia harus menerima dan mendudukkan kembali hubungan syariat dengan hukum positif negara serta menolak Khilafah. Menurut Gus Ulil, isu ini memang sudah menjadi posisi NU dan ulama kebanyakan di dunia.

Meskipun, hingga kini belum pernah ada kesepakatan ulama antarbangsa untuk menolak Khilafah sebagai sistem politik negara. Sehingga kedudukan sistem negara bangsa yang telah diterima oleh para ulama di Indonesia ini, diharapkan akan menjadi sebuah konsensus global yang akan disepakati oleh ulama sedunia. Oleh sebab itu, di dalam muktamar ini para ulama dan kiai sedunia akan didorong untuk membuat kesepakatan menolak Khilafah sebagai sebuah sistem politik karena tidak sesuai dengan peradaban dunia saat ini.

Padahal perjuangan penegakkan KhilafahIslamiyah merupakan kewajiban penting di dalam Islam. Sebab para fuqaha dari semua mazhab telah menegaskan, bahwa mengangkat Imam yakni khalifah hukumnya wajib bagi seluruh kaum muslimin. Kewajiban Khilafah ini telah disepakati secara ijmak (konsensus) oleh seluruh ulama yang terpercaya (tsiqah) dan mu’tabar (kredibel) dari berbagai mazhab.

Dalil Kewajiban Menegakkan Khilafah

Salah satu dalil wajibnya Khilafah adalah firman Allah SWT,

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30)

Imam Al-Qurthubi berkata, “ayat ini adalah dasar dalam pengangkatan seorang imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, agar terjadi kesatuan pendapat umat dan agar dapat diterapkan hukum-hukum khalifah” (Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 1/81)

Sedangkan dalil Qawa’id Fiqhiyyah, di antaranya disebutkan oleh Syekh Abdullah Ad-Dumaiji bahwa “Di antara dalil-dalil atas wajibnya imamah (khalifah) adalah kaidah syar’iyyah yang berbunyi “Ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib” (segala kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Sungguh telah diketahui bahwa Allah SWT telah mewajibkan berbagai perkara yang tidak dimampui oleh orang perorangan. Misalnya menegakkan hudud, melainkan harus dengan cara mewujudkan kekuasaan (as-sulthan) yang akan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut. Kekuasaan itu tiada lain adalah imamah (khalifah)”  (Abdullah Ad-Dumaiji, Al-Imamah al-Uzhma ‘Inda Ahlis Sunnah wal jama’ah, hlm.59)

Demikianlah dalil-dalil tentang wajibnya menegakkan Khilafah. Tentu sangat miris jika kesepakatan menolak Khilafah sebagai sebuah sistem politik, justru muncul dan terbentuk dari tubuh para ulama dan kiai. Karena para ulama dan kiai semestinya menjadi garda terdepan untuk meyakinkan umat tentang wajibnya mengembalikan Khilafah sebagai sebuah institusi politik. Sebab melalui institusi Khilafah, seluruh identitas Islam dapat terwujud. Dan seluruh hukum syariat Islam berupa perintah dan larangan Allah SWT dan Rasulullah saw., akan dapat terlaksana secara kaffah .

Selain itu, secara faktual dapat kita lihat dan rasakan saat ini bahwa dengan tidak adanya Khilafah di tengah umat, telah mengakibatkan keterpurukan dan penderitaan. Di bawah penerapan sistem kapitalisme sekuler dan kekuasaan para penguasa zalim yang menerapkan hukum-hukum kufur hasil produksi parlemen, telah terbukti mengantarkan umat pada penderitaan dan kesengsaraan.  Dan diamnya para ulama dan kiai terhadap hal ini, juga telah melahirkan kerusakan yang nyata.

Umat Islam hidup dalam kondisi terpecah belah penuh nestapa. Mereka mengalami kelaparan di tengah sumber daya alam yang melimpah ruah akibat dari pengelolaan para penguasa muslim yang tidak menerapkan sistem yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Mereka malah dengan suka rela menyerahkan sumber daya alam di negerinya kepada para pengusaha asing maupun aseng. Hal ini terjadi karena hukum yang diterapkan di tengah-tengah mereka adalah hukum berdasarkan sistem aturan buatan manusia (parlemen).

Apalagi ketika kita menilik pada persoalan umat masa kini. Para pembenci Islam dan kaum muslim, mereka terus berupaya menyerang Islam. Mereka sengaja menyematkan istilah atau label tertentu. Misalnya Islam Nusantara sebagai identitas baru dengan tujuan agar umat Islam kehilangan identitasnya. Kehilangan jati dirinya sebagai umat Islam terbaik yang telah Allah SWT ciptakan untuk seluruh kalangan manusia.

Barat dan sekutunya terus berupaya menciptakan istilah dan “label-label” baru  seperti Islam Nusantara, Islam moderat, Islam fundamental, Islam tradisional, dan lain sebagainya. Tujuan sebenarnya tidak lain untuk mengokohkan ide sekularisme ke dalam pemikiran umat Islam. Selain itu, melalui ide ini mereka juga telah berhasil menciptakan ketakutan, keraguan, dan saling mencurigai. Bahkan menimbulkan permusuhan di antara sesama umat Islam.

Sehingga pada akhirnya kepentingan serta tujuan mereka untuk menguasai negeri-negeri muslim yang kaya raya telah berhasil. Mereka telah mampu menghadang perjuangan umat Islam dalam meraih kebangkitan umat untuk mewujudkan sebuah intensitas umat terbaik di dunia. Maka sudah selayaknya para ulama dan kiai mewaspadai Halaqah Fiqih Peradaban dan menolak Konsensus Jakarta. Para ulama dan kiai harus mulai memfokuskan diri dalam perjuangan penegakan KhilafahIslamiyah. Sebagaimana telah dicontohkan oleh para ulama di era peradaban emas kekhilafahan.

Sejarah telah mencatat peran ulama di masa kekhilafahan Islam, telah mampu menjadi pelaku sejarah untuk mempersatukan seluruh umat Islam dalam satu wilayah pemerintahan Islam. Yaitu ketika wilayah Andalusia terpisah dari Khilafah Abbasiyah, atau ketika Sultan Salahuddin Al-Ayyubi dengan dukungan para ulama telah mampu membebaskan Al-Quds (Palestina) yang dikuasai oleh Romawi. Para ulama mampu menggabungkan wilayah-wilayah tersebut ke dalam kekuasaan Khilafah Abbasiyah.

Ketahuilah, sesungguhnya peran ulama sangatlah krusial di tengah-tengah umat. Yaitu sebagai tokoh yang harus mampu membawa perubahan. Karena jika dilihat dari sisi amanah ilmu, para ulama dan kiai memiliki peran yang harus lebih menonjol. Mereka tidak boleh ragu atau dusta terhadap ilmu yang mereka miliki.

Demikian pula dengan fungsi ormas PBNU, seharusnya sebagai sebuah organisasi Islam yang hadir di tengah-tengah umat, harus mampu menjadi organisasi yang memperjuangkan kebangkitan Islam secara kaffah dengan berjuang menegakkan Khilafah. Semestinya organisasi ini juga mampu bersinergi dengan organisasi atau partai politik Islam lain yang memiliki tujuan untuk memberlangsungkan kehidupan Islam di tengah-tengah umat Islam. Mereka akan berjuang bersama-sama dengan penuh kesadaran bahwa Khilafah adalah tajul furudh (mahkota kewajiban) bagi kehidupan manusia. Sehingga  para ulama atau kiai harus mampu meyakinkan serta mendorong umat untuk turut serta memperjuangkan tegaknya KhilafahIslamiyah.

Wallahu a’lam bishshawab. (SM/Mly)