Oleh: Rahmi Ummu Atsilah
Suaramubalighah.com, Muslimah Inspiratif – Kekuatan iman telah mendorong jiwanya untuk menyucikan diri. Dia memilih hari akhir daripada kehidupan dunia yang sesaat. Dia memilih dirajam hingga mati. Dialah Al-Ghamidiah. Al-Ghamidiah adalah wanita dari kabilah Juhainah. Ia tergelincir dalam dosa hingga berbuat zina. Ia sudah menikah, kemudian menyadari dosanya. Ia ingat kepada Allah dan bersegera tobat nasuhah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ
“Ambillah dariku, ambillah dariku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan yang lain kepada mereka[2], yaitu orang yang belum menikah (berzina) dengan orang yang belum menikah, (hukumnya) dera 100 kali dan diasingkan setahun. Adapun orang yang sudah menikah (berzina) dengan orang yang sudah menikah (hukumnya) dera 100 kali dan rajam.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dari ‘Ubadah bin Ash Shamit)
Berkali-kali Ghamidiah mendatangi Rasulullah saw. dan mengakui perbuatan zinanya. Namun penerapan hukum dalam Islam tidak serta-merta dijatuhkan tanpa saksi dan tanpa bukti. Ghamidiah pun mendatangi Rasulullah saw. ketika telah mengandung dari hasil perzinaan.
Selain pengakuan dosa Ghamidiah, juga siap untuk mendapat sanksi Islam sebagai bentuk tobatnya kepada Allah SWT. Dia ingin menebus dosanya, maka dia meminta untuk diberi sanksi rajam. Namun Rasulullah saw. sebagaimana sifat kasih yang melekat dalam dirinya, begitu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Diperhatikannya jiwa mungil dalam rahim Ghamidiah. Rasulullah saw. memberikannya hak hidup, dengan menyuruh Ghamidiah pulang dan menunggu sanksi hingga bayinya dilahirkan.
Keimanan yang begitu kuat mendorongnya untuk kembali lagi kepada Rasulullah saw., meminta pembersihan diri dengan sanksi Islam. Dibawanya bayi yang telah dilahirkan. Namun Rasulullah saw. bergeming membiarkan anak tersebut mendapatkan hak asi hingga pandai memakan makanan selain asi.
Mungkin kita bertanya-tanya, “Mengapa dia sampai berbuat zina? Apakah karena lemah imannya?” Seseorang kadang lemah hingga ia berbuat dosa. Karena keimanan seseorang kadang kala bertambah, kadang kala berkurang. Ketika keimananya sedang lemah, maka jatuhlah ia ke dalam maksiat. Sebaliknya ketika keimanannya kuat maka berharaplah ia kembali kepada Allah SWT.
Maka ketika bayinya telah pandai makan, dijatuhkanlah sanksi rajam yang telah Allah SWT syariatkan bagi para pelaku zina muhshan (sudah menikah). Ghamidiah pun meninggal dunia. Rasulullah saw. menyalatinya. Sahabatpun bertanya, “Wahai Rasullullah, mengapa engkau menyalatinya, dan ia telah berbuat zina?” Rasulullah saw. bersabda, “Dia telah bertobat dengan tulus. Seandainya tobat dia dibagi kepada 70 orang Madinah, niscaya tobatnya melebihi mereka. Adakah yang lebih baik daripada dia yang memperbaiki dirinya untuk Allah.”
Demikianlah kisah Ghamidiah yang tobatnya telah diterima oleh Allah SWT. Dia memilih kehidupan akhirat yang kekal abadi daripada kehidupan di dunia yang fana. Dia memilih berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT.
Adapun yang berhak melaksanakan hukum di atas (cambuk dan rajam bagi pezina) ialah penguasa kaum muslimin, penguasa yang mampu menegakkan syariat Allah. Karena hukum tersebut termasuk hudud, yang merupakan kewajiban penguasa. Tidak sembarang orang ataupun kelompok bisa melaksanakannya.
Syekh Ibrahim bin Muhammad bin Salim Dhawayyan rahimahullah berkata, “Tidak (berhak) menegakkan had, kecuali imam (penguasa kaum muslimin) atau wakilnya; sama saja, apakah had itu karena hak Allah, seperti had zina. Atau karena hak manusia, seperti had tuduhan. Karena hal itu membutuhkan ijtihad dan tidak aman dari penyimpangan, maka wajib diserahkan kepadanya.
Pada masa hidup Nabi saw., beliaulah yang menegakkan hudud. Demikian juga para khalifah setelahnya. Dan wakil imam (haknya) seperti imam, berdasarkan sabda Nabi saw, ” ‘… Hai Unais, pergilah kepada wanita itu. Jika dia mengaku (berzina), rajamlah!’. Kemudian wanita itu mengaku (berzina), maka dia merajamnya. Beliau juga memerintahkan merajam Ma’iz, tetapi beliau tidak menghadirinya.”
Tiadanya imam yang berhak untuk menjatuhkan sanksi seperti saat ini, mengharuskan kaum muslimin untuk memperjuangkan keberadaanya. Demikian pula akan tegaknya hukum Islam yang memiliki fungsi jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah). Jatuhnya sanksi ini sebagai wujud tobat kaum muslimin di dunia dari maksiat. Sehingga kembali ke sisi Allah SWT dalam keadaan bersih dari dosa. Perjuangan inilah sebagai bentuk ke-ihsanan kita dalam menunggu solusi Allah SWT dari berbagai persoalan yang hampir menimpa setiap lini kehidupan, akibat tidak diterapkannya hukum Islam. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]