Oleh: Ashaima Va
Suaramubalighah.com, Opini — Isu KDRT kembali mengemuka pascakejadian yang menimpa pedangdut Lesti Kejora yang dianiaya Rizky Billar, suaminya. Mesra di layar kaca bukan jaminan rumah tangga yang samawa. Dari kasus ini kita pahami jika KDRT adalah kisah pilu yang selalu berulang dan bisa menimpa siapa pun. Masih banyak lesti-lesti yang lain di luar sana yang mengalami kejadian tragis serupa.
Menurut rilis data dari KemenPPPA hingga Oktober 2022 tercatat 18.261 kasus terjadi di seluruh Indonesia. Sebanyak 16.745 kasus atau 79,5%-nya menimpa perempuan dan sisanya sebanyak 2.948 kasus menimpa laki-laki. (metrotvnews.com, 04/10/2022)
Lantas siapa yang mesti dipersalahkan dalam masalah ini? Kian tahun kasus kekerasan dalam keluarga makin meningkat. Beban hidup semakin berat dihadapi individu masyarakat. Jika dihadapi tanpa ketakwaan, rentan membentuk individu-individu yang mudah terpancing amarahnya lalu main tangan. Budaya masyarakat individualistis juga telah membuat masyarakat abai dan tak peduli pada setiap kasus kekerasan rumah tangga di lingkungannya. Undang-undang PKDRT sebagai produk demokrasi liberal pun terbukti belum mampu mencegah atau membuat jera para pelaku kekerasan rumah tangga.
Salah Kaprah Memahami Akar Masalah
Banyak kalangan berusaha menganalisa mengenai apa akar masalah dari kekerasan dalam rumah tangga, tak terkecuali kaum feminis. Menurut kacamata mereka, kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan berbasis gender. Ada ketimpangan dalam relasi perempuan dan laki-laki sehingga memberikan laki-laki kekuasaan penuh terhadap perempuan. Suami merasa superior di hadapan istri, sehingga merasa berhak untuk memukul saat istri tak patuh.
Ketidaksetaraan posisi istri di hadapan suami juga telah membuat istri menjadi pihak yang patuh tak berdaya, saat suami berlaku sewenang-wenang. Tak hanya itu, ketidaksetaraan juga telah membentuk pola ketergantungan secara finansial istri terhadap suami. Lagi-lagi istri yang akan manut tak berdaya terhadap kesewenang-wenangan suami. Kalau minta cerai siapa yang akan menafkahi, akhirnya pasrah jadi pilihan terbaik.
Namun benarkah demikian? Pemahaman kekerasan berbasis gender sayangnya terlalu memaksakan narasi tanpa mendudukkan persoalan secara proporsional. Lebih jauh lagi pemahaman ini digunakan untuk menyerang syariat Islam yang dituduh ikut melanggengkan budaya kekerasan terhadap perempuan.
Kepemimpinan laki-laki atas perempuan, kebolehan suami berpoligami, kewajiban istri untuk meminta izin saat keluar rumah, kewajiban menafkahi ada di pihak suami, dan kebolehan memukul istri nusyuz (membangkang) adalah beberapa hukum syara‘ yang mereka gugat.
Mendudukkan Persoalan
Jika kita mau mencerna fakta lebih jernih tanpa tendensi, maka akan terlihat jika maraknya kasus KDRT adalah akibat dari penerapan sistem kapitalisme liberal yang serba bebas. Tuntunan Allah tak diberi ruang untuk menyolusi tiap permasalahan. Bukan karena relasi laki-laki dan perempuan yang timpang
Dari data KemenPPPA terlihat sebanyak 20,5% pelaku kekerasan adalah pihak istri. Maka di sistem ini bukan hanya perempuan yang rentan jadi korban. Laki-laki pun sama rentannya. Lalu di bagian mana dari kesetaraan relasi yang mampu menjelaskan hal ini. Sehingga risiko mengalami kekerasan pun bisa dihadapi laki-laki.
Atau mari kita kupas lagi, apakah kekerasan terjadi murni karena perempuan tak berdaya secara ekonomi. Atau justru saat istri ingin setara dan berdaya secara ekonomi lalu dia keluar rumah dan mengabaikan tanggung jawabnya di rumah. Bukankah potensi perselisihan rentan terjadi justru karena istri tak hadir dalam keluarganya.
Laki-laki yang mudah melakukan perbuatan tercela juga ada dalam rumah tangga yang istrinya bekerja. Kemandirian ekonomi juga tak bisa mengurangi jumlah lelaki yang ringan tangan. Begitulah yang terjadi dalam masyarakat kapitalisme liberal. Islam ditanggalkan, hingga maraklah pelanggaran terhadap hak-hak istri.
Kacamata Islam
Kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah sistemik. Dibutuhkan tatanan yang shahih dari aspek individu, masyarakat, dan negara untuk mengatasinya. Islam memiliki pandangan komprehensif dalam membangun tatanan yang kukuh dalam ranah keluarga, masyarakat, dan negara.
Pertama, dalam ranah keluarga Islam memberikan tuntunan agar tiap suami dan istri membekali diri dengan ketakwaan. Sebagaimana firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (TQS. Al-Maidah 35)
Saat kedua belah pihak bertakwa dengan berusaha mengikatkan diri pada perbuatan yang Allah ridai. Keduanya akan menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis penuh persahabatan. Keduanya pula akan berusaha menjalankan apa yang menjadi kewajibannya sesuai hukum syara‘. Karena itu yang akan mendatangkan rida Allah.
Saat suami sebagai qawam/pemimpin bagi istri bukan berarti Islam terlalu memihak laki-laki dan mendiskreditkan perempuan. Justru tatanan itulah yang sesuai dengan fitrah masing-masing. Tak akan ada suami yang sewenang-wenang karena ketakwaan akan mendorongnya untuk berbuat baik pada istri dan anak-anaknya. Nafkah akan dipenuhi suami karena semata-mata itu kewajiban dari Allah SWT.
Ketakwaan pula yang akan mendorong istri untuk taat pada suaminya dengan senang hati. Selama ketaatan itu bukan dalam rangka kemaksiatan pada Allah. Taatnya istri pada suami bukan karena tak punya posisi tawar dalam hal finansial sebagaimana yang dituduhkan kaum feminis. Istri taat demi kemuliaan di hadapan Allah.
Sabda Rasul bagi perempuan yang taat:
وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَسْتَغْفِرُلِلْمَرْأَةِ الْمُطِيْعَةِ لِزَوْجِهَا الطَّيْرُفِى الْهَوَاءِ الْحِيْاَنُ فِى الْمَاءِ وَامَلَائِكَةُ فِى السَّمَاءِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ مَادَامَتْ فِى رِضَازَوْجِهَا, وَأَيُّمَاامْرَأَةٍ عَصَتْ زَوْجَهَا فَعَلَيْهَالَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ.وَأَيُّمَاامْرَأَةٍ كَلَحَتْ فِى وَجْهِ زَوْجِهَا فَهِىَ فِى سَخَطِ اللَّهِ تَعَالَى اِلَى أَنْ تُضَاحِكَهُ وَتَسْتَرْ ضِيَهُ, وَاُيُّمَاامْرَأَةٍ خَرَجَتْ مِنْ دَارِهَابِغَيْرِاِذَنِ زَوْجِهَالَعَنَتْهَاالْمَلَائِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ.
Rasulullah Saw bersabda: Memintakan ampunan bagi perempuan yang taat pada suaminya, yaitu burung-burung di angkasa, ikan-ikan di air, dan para malaikat di langit, matahari dan bulan, sama wanita itu dalam ridha suaminya. Dimana ada perempuan yang mendurhakai suaminya maka atas perempuan itu laknat Allah dan laknat malaikat dan laknat semua manusia. Dimana ada perempuan masam mukanya pada suaminya, maka perempuan itu berada dalam kemurkaan Allah hingga ia dapat membuat senda gurau dengan suaminya dan meminta kerelaannya. Dan bila ada perempuan keluar dari rumahnya tanpa izin suami, maka melaknati para malaikat hingga balik perempuan itu. (HR. Al Bazzar)
Kedua, dalam Islam, masyarakat harus menjadi satu entitas yang memiliki pemikiran dan perasaan berdasarkan Islam. Benci dan cinta harus dilandaskan pada apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Allah SWT. Dengan begitu akan terbentuk masyarakat yang peduli. Kompak menolak terhadap suami atau istri yang melakukan tindak kekerasan di keluarga. Selain itu juga harus ada tradisi saling menasihati antar anggota masyarakat jika ada yang melakukan tindak kekerasan. Terakhir melaporkannya ke pihak yang berwenang jika tak mempan dinasihati.
Ketiga, dalam Islam, kekerasan di mana pun ranahnya terkategori tindakan jarimah/kriminal yang pelakunya akan diberikan sanksi oleh negara. Maka kekerasan dalam rumah tangga siapa pun pelakunya akan ditindak secara tegas. Abdurrahman Al-Maliki dalam kitab Nizham Al-Uqubat menjelaskan bahwa sanksi bagi pelaku penyerangan terhadap anggota tubuh akan dikenai kewajiban membayar diat/denda 100 ekor unta, atau sesuai dengan anggota tubuh yang diserang. Lidah akan dikenai sanksi 100 ekor unta, mata atau kaki diyatnya 50 ekor unta, jika sampai patah tulang diyatnya 15 ekor unta, dan lain-lain.
Dengan individu yang bertakwa maka sosok suami atau istri akan jadi sosok yang taat dan penyayang. Tak mudah terpancing emosi lalu ringan tangan. Pun dengan budaya masyarakat yang peduli, tindak kekerasan akan mudah terdeteksi dan diantisipasi atau diberi sanksi oleh negara sehingga membuat pelakunya jera. KDRT sedikit demi sedikit bisa dihilangkan dari masyarakat. Untuk menyolusi KDRT secara tuntas butuh sistem yang kondusif. Yakni sistem Islam (syariat Islam yang kaffah) dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]