Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini — Allah SWT berfirman dalam surah Al-Isra’ ayat: 32, yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Indonesia adalah negeri terbesar muslim di dunia. Namun arus sekularisasi dan liberalisasi telah merusak tatanan kehidupan umat Islam. Salah satu akibatnya adalah gaya hidup bebas. Perzinaan terjadi di mana-mana, baik dilakukan orang dewasa maupun anak-anak muda (SMP-SMA) bahkan tidak sedikit anak-anak SD.
Media sosial memiliki peran yang cukup besar bagi perubahan tren atau gaya pacaran muda mudi di Indonesia. Berkat media sosial, perayaan ‘anniversary’, valentine day, liburan, kini diperingati muda mudi dengan sewa hotel untuk keromantisan mereka. Dan berakhir pada perzinaan. Na’udzubillah!
Jadi, bukan sesuatu yang aneh jika kemudian banyak ditemukan pasangan nonpasutri tanpa rasa malu melakukan check in di hotel. Hanya sekadar untuk memuaskan hasrat seksualitasnya. Karena saat ini, fenomena pergaulan seks bebas di kalangan remaja atau orang dewasa di negeri ini marak terjadi. Bahkan lambat laun telah menjadi gaya hidup. Dan akibatnya, merebak berbagai kerusakan sosial yang mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, kemudian pemerintah memutuskan untuk menerapkan RUU KUHP sebagai solusi untuk mengatasi kerusakan akibat dari aktivitas perbuatan zina. Namun, aturan ini kembali menuai polemik. Sebab beberapa oknum justru menolak undang-undang tersebut karena menganggap negara telah mencampuri urusan pribadi masyarakat. Mengapa demikian?
Polemik Rancangan RUU KUHP Pasal 415 dan Pasal 416
Munculnya penolakan terhadap draf RUU KUHP Pasal 415 dan Pasal 416, yang mengatur tentang persetubuhan tanpa menikah dan hubungan kohabitasi (kumpul kebo), disebabkan di dalam salah satu pasalnya menerangkan bahwa, “setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya akan di pidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda”. Hal ini menjadi sebab terjadinya pro dan kontra, bahkan telah mengundang polemik yang memicu munculnya beragam reaksi di tengah-tengah masyarakat.
Draf RUU KUHP ini dianggap telah mengancam kepentingan dan kebebasan individu. Sehingga muncul penolakan, di antaranya datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan pengusaha Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Mereka menolak adanya pasal pidana untuk pasangan belum menikah yang melakukan check in di hotel. Karena menganggap bahwa undang-undang tersebut dikhawatirkan akan berpotensi menjadi delik tuntutan pidana. Menurut mereka, pasal ini akan menjadi kontraproduktif di sektor pariwisata, sebab jika ada orang yang satu kamar berdua tanpa ikatan perkawinan itu akan terkena delik kriminal. Dan hal ini akan berdampak pada menurunnya kunjungan wisatawan baik lokal maupun mancanegara secara drastis. Dan tentu saja, ini akan menjadi momok menakutkan sekaligus merugikan bagi dunia usaha. Karena dianggap akan menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama di bidang industri perhotelan dan pariwisata di Indonesia. Benarkah demikian?
Sebenarnya, kekhawatiran ini hanya bersifat dugaan dan cenderung dipengaruhi oleh faktor keuntungan materi semata. Mengingat di dalam sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan oleh negeri ini, pemanfaatan sektor pariwisata dianggap sebagai salah satu sumber pendapatan yang akan mendongkrak pertumbuhan perekonomian negara. Karena negara telah menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan dan sumber devisa.
Negara dan para pengusaha swasta terus bekerjasama untuk mengeksploitasi potensi keindahan alam serta keragaman budaya yang ada di dunia pariwisata demi menarik minat wisatawan maupun investor. Bahkan mereka juga tidak peduli pada dampak negatif yang akan timbul terhadap masyarakat setempat. Contohnya adalah munculnya aktivitas prostitusi di wilayah-wilayah yang menjadi objek wisata.
Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa prostitusi dan perzinaan merupakan penyebab merebaknya penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS). Dikutip dari dataindonesia.id (26/08/2022), Kementerian Kesehatan mencatat, ada 36.902 kasus HIV baru di Indonesia sepanjang 2021. Sekitar, 69,7% penderita HIV di Indonesia berada di kelompok umur 25-49 tahun. Sedangkan, sebanyak 34,2% penderita AIDS berada di rentang usia 30-39 tahun.
Selain itu, menurut ketua Apindo, Hariyadi Budi Santoso Sukamdani, aturan pidana perzinaan erat kaitannya dengan perilaku moral. Dan perbuatan tersebut masuk ke dalam ranah privat, sehingga tidak seharusnya diatur oleh negara. Dan semestinya hal ini juga tidak dianggap sebagai perbuatan pidana. (cnbcindonesia.com, 27/10/2022)
Jika kita cermati, sesungguhnya penolakan terhadap RUU KUHP yang mengatur tentang pidana perzinaan sangat erat kaitannya dengan pemikiran liberalisme yang menjadi anak turunan dari ideologi kapitalisme sekuler. Karena paham liberalisme adalah paham yang memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk bertingkah laku sebebas-bebasnya. Dan menolak setiap aturan yang mengatur individu, baik aturan politik, ucapan, dan hak milik yang mengikat manusia.
Bahkan paham ini juga telah menolak aturan agama untuk turut mengatur ranah publik. Dengan penolakan tersebut justru akan memicu maraknya tindakan amoral di masyarakat. Serta memungkinan terjadinya kasus kejahatan dan kekerasan seksual di masyarakat yang akan terus meningkat tiap tahun. Akan tetapi bagi para pendukung paham liberal, kepentingan ekonomi lebih utama dibandingkan dengan keselamatan masyarakat dan generasi.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, Islam sangat mencela perbuatan zina. Dan memandang perbuatan zina sebagai induk seluruh sifat buruk. Di dalam perbuatan zina terkandung bahaya yang sangat besar yang akan membuka pintu-pintu kemaksiatan dan mewariskan kemiskinan dan kesulitan hidup. Perbuatan zina juga akan mengaburkan kemaslahatan aturan semesta alam dalam menjaga nasab dan memelihara kehormatan manusia. Jadi dalam hukum Islam, para pelaku zina akan mendapat hukuman yang sangat berat di dunia maupun di akhirat. Allah SWT berfirman,
وَٱلَّذِينَ لَا يَدۡعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقۡتُلُونَ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَلَا يَزۡنُونَۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ يَلۡقَ أَثَامٗا
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.” ( QS. Al-Furqan: 68)
Adapun dalam menghadapi polemik yang terjadi saat ini, maka negara harus bersikap teguh dan mengutamakan keselamatan masyarakat terutama generasi. Demikian pula dengan umat, sudah saatnya umat segera mencampakkan sistem kapitalisme sekuler yang telah nyata-nyata kerusakannya. Sistem kapitalisme sekuler hanya mampu memproduksi aturan yang menimbang baik dan buruk berdasarkan hawa nafsu manusia serta keuntungan materi semata. Maka sesungguhnya, sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran terhadap kerusakan sistem kapitalisme sekuler.
Dan kesadaran ini hanya akan tercipta ketika para tokoh umat khususnya para mubalighah turut serta berperan dalam aktivitas dakwah yang bersifat pemikiran dan politik. Berdakwah untuk menanamkan kesadaran akan pentingnya mengganti sistem kapitalisme sekuler dengan sistem Islam yang kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah. Sebab hanya dengan sistem Islam kaffah, seluruh masalah yang timbul karena perzinaan akan terselesaikan secara sempurna.
Maka, kesimpulannya adalah hanya sistem Islam kaffah yang akan mampu menutup seluruh celah yang akan menghantarkan pada aktivitas perzinaan. Karena seluruh aturan yang diterapkan bersifat komprehensif. Dan aturan ini hanya dapat diterapkan oleh negara Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]