Oleh: Arini Retnaningsih
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Realitas perubahan zaman yang makin pesat direspon Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dengan menggelar forum Halaqah Fiqih Peradaban, setidaknya di 300 titik di Indonesia hingga Januari tahun depan. Ratusan forum tersebut digelar sebagai rangkaian agenda untuk menyambut perhelatan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban yang akan dilaksanakan pada Harlah NU 7 Februari 2023 dengan menghadirkan ratusan ulama dari berbagai negara di dunia.
Ketua Panitia Nasional Halaqah Fiqih Peradaban KH. Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mengatakan bahwa program Halaqah Fiqih Peradaban merupakan salah satu cara Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) mencetak ulama mufakkir (pemikir) yang dapat mewakili Indonesia di dalam wacana Islam global. (nu.or.id, 05/10/2022)
Istilah fikih peradaban memang baru di dunia perfikihan Islam. Suatu istilah tidak akan muncul melainkan pasti dilekatkan padanya suatu definisi yang membatasinya. Seringkali suatu istilah juga memiliki pengertian yang berbeda di antara orang yang membahasnya. Karena itu perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk menentukan apakah istilah tersebut layak untuk diterima dan diadopsi.
Mengenal Fikih Peradaban NU
KH. Afifuddin Muhajir memaparkan, fikih peradaban bukanlah fiqhul adab (hukum tata krama atau sopan santun), melainkan fiqhul hadlaarah. Kata al-hadlaarah merupakan lawan kata al-badaawah. Istilah badaawah mengacu pada karakter masyarakat badui Arab pramodern yang menghuni wilayah padang pasir. Masyarakat yang cenderung nomaden dan relatif tidak memiliki budaya yang mapan.
Lawan masyarakat badui nomaden disebut ahlul hadlaarah atau masyarakat madani dalam istilah Ibnu Khaldun, yaitu mereka yang hidup menetap dan membangun peradaban bersama. Dengan demikian, fikih peradaban merupakan ilmu atau wacana mengenai kehidupan bermasyarakat. (Hidayatuna, 13/10/2022)
Sementara Katib Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Gus Faiz Syukron Makmun menjelaskan fikih peradaban berarti ada Al-fiqh dan juga ada Al-hadhoroh. Al-fiqh secara bahasa berarti Al-fahmu yakni mencoba untuk memahami, sementara Al-hadhoroh adalah hasil segala upaya, budidaya manusia, kemampuan intelektual, kemampuan fungsi pikir manusia yang kemudian menghasilkan suatu yang disebut dengan peradaban. (cssmora.org, 04/10/2022)
Perbedaan dalam pendefinisian fikih peradaban, menunjukkan bahwa konsep fikih peradaban yang mereka cetuskan belum memiliki konsep yang matang. Hal ini membuat pembahasan tentang fikih peradaban lebih banyak mengarah kepada fikih siyasah (politik), dan mengabaikan aspek-aspek peradaban lainnya. Tampak pembahasan-pembahasapembahasan yang diangkat dalam beberapa kali halaqah yang telah berlangsung adalah topik-topik siyasah seperti pembahasan status kafir dalam negara, negara bangsa, ideologi negara, dan sebagainya.
Bahkan Gus Ulil mengungkap bahwa Halaqah fikih peradaban ini rupanya memiliki agenda tertentu. Rencananya, pada puncak acara Muktamar Internasional Fiqih Peradaban nanti, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf akan mendorong agar tercipta ijma’ (kesepakatan) ulama atau disebut sebagai Konsensus Jakarta dari empat isu yang menjadi topik pembahasan. Pertama, menolak khilafah. Menurut Gus Ulil, isu ini memang sudah menjadi posisi NU dan ulama kebanyakan di dunia. Meski begitu, hingga kini belum pernah ada kesepakatan ulama antarbangsa untuk menolak khilafah sebagai sistem politik negara. Di dalam Muktamar Internasional Fiqih Peradaban nanti, para ulama sedunia akan didorong untuk membuat sebuah kesepakatan menolak khilafah sebagai sistem politik karena tidak sesuai dengan peradaban dunia saat ini.
Kedua, mendudukkan kembali hubungan antara hukum syariat dengan hukum positif negara. Gus Ulil menegaskan, ketika bangsa Indonesia menerima Pancasila dan NKRI sebagai sistem politik bernegara maka konsekuensinya adalah menerima hukum positif negara yang diproduksi oleh parlemen.
Ketiga, kedudukan negara bangsa. Meski para ulama di Indonesia sudah menerima sistem negara bangsa, tetapi PBNU hendak menjadikan kedudukan negara bangsa ini sebagai sebuah konsensus global yang akan disepakati oleh para ulama sedunia. Keempat, soal perang dan damai. Pada isu ini, dibahas pula soal kedudukan jihad di dalam Islam, serta masalah-masalah seputar minoritas. (nu.or.id, 12/09/2022)
Inilah gambaran dari halaqah fikih peradaban yang digagas NU. Kita bisa katakan aroma sekularisasinya sangat kuat. Tidak heran karena ide ini sebenarnya memang lanjutan dari proyek Islam Nusantara yang gagal mendapat tempat dalam benak umat. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Gus Ulil, yang senantiasa diingat oleh umat sebagai gembong Jaringan Islam Liberal. Ia menyatakan antara Fiqih Peradaban dengan Islam Nusantara tidak terdapat kontradiksi. Karena sebetulnya Fikih Peradaban (fiqhul hadharah) merupakan fase lanjutan dari Islam Nusantara. (nu.or.id, 05/10/2022)
Sampai pada titik ini kita bisa memahami mengapa gagasan fikih peradaban ini diperjuangkan sedemikian rupa oleh para elit NU. Namun, gagasan ini sebenarnya lemah dan justru menjauh dari ajaran Islam sebenarnya.
Makna dan Cakupan Fikih
Fikih, sebagaimana dipahami ulama, adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang digali dari dalil-dalil yang rinci (Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul, hlm. 3). Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Syakhshiyah Islam Jilid 1 menjelaskan bahwa menurut istilah syarak fikih dikhususkan bagi ilmu yang menghasilkan sejumlah hukum syarak yang bersifat cabang melalui an nadhar (penelaahan) dan al istidlal (penarikan dalil).
Karena merupakan hukum-hukum yang bersifat praktis, yang diturunkan untuk memberikan solusi atas fakta-fakta atau peristiwa yang terjadi, maka fikih memiliki cakupan yang luas pada seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari hukum-hukum ibadah seperti salat, zakat, puasa, haji dan jihad. Hukum-hukum ekonomi seperti pembagian kepemilikan, pengelolaan harta, pengelolaan kekayaan alam, dan penyusunan anggaran belanja negara. Hukum-hukum muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, dan riba. Hukum-hukum terkait dengan sistem sanksi berupa hudud, jinayat, takzir, dan pembuktian. Hukum-hukum sosial seperti pergaulan laki-laki dan perempuan, pernikahan, dan hukum-hukum keluarga; sampai hukum-hukum siyasah/politik seperti metode pengangkatan khalifah, hak dan kewajiban negara, dan warga negara.
Makna Hadharah (plus contoh)
Penjelasan secara rinci dan terintegral tentang hadharah bisa kita dapati dalam buku Ahmad Al-Qashash, Peradaban Islam vs Peradaban Asing (PTI, 2009). Dalam buku tersebut, Ahmad Al Qashash menguraikan bahwa kata al-hadlaarah yang merupakan lawan kata al-badaawah sebagaimana penjelasan KH. Afifudin Muhajir adalah makna bahasa. Begitupun makna hadharah yang dipakai oleh Ibnu Khaldun, bila dicermati akan tampak bahwa pembahasan beliau tidak keluar dari makna bahasanya. Karena itu, memasukkan Ibnu Khaldun ke dalam kelompok orang yang menggunakan istilah baru bagi al hadharah merupakan suatu kekeliruan. Sebab, fakta sejarah munculnya makna istilah al hadharah sebenarnya berpulang pada kajian-kajian yang dilakukan di Eropa ketika muncul ungkapan civilization.
Sejak abad 19 M, para pemikir dan penulis Eropa mulai menggunakan istilah civilization untuk menunjukkan ciri-ciri khusus yang dimiliki umat tertentu, yang membedakannya dari bangsa dan umat yang lainnya. Perkembangan ini lantas memunculkan makna istilah bagi hadharah yang berubah dari makna bahasanya. Sebelumnya hadharah menunjuk makna spesifik bagi penduduk kota dari segi etika, sosial kemasyarakatan, formalitas dan cara hidup mereka yang berbeda dengan penduduk pedalaman, lalu beralih menunjukkan berbagai sifat khas dari berbagai umat dan negara yang terorganisir, memiliki tsaqofah dan pengetahuan yang tinggi dan kemudian berkembang lagi sebagai sebuah corak kehidupan khas bagi satu masyarakat tertentu.
Maka hadharah didefinisikan sebagai sekumpulan pemikiran, perasaan dan sistem yang membentuk dan mencetak suatu masyarakat sehingga terbentuk identitas dan kepribadiannya yang khas berbeda dengan masyarakat lainnya. Makna ini senada dengan apa yang diungkapkan Syaikh Taqiyuddin an Nabhani رحمه الله di dalam kitab Nidzamul Islam bahwa hadharah adalah sekumpulan mafahim (ide yang dianut dan mempunyai fakta) tentang kehidupan. Hadharah bersifat khas, terkait dengan pandangan hidup suatu umat.
Dengan demikian, istilah hadharah dan masyarakat sangat berkaitan. Masyarakat sendiri bukan hanya sekadar kumpulan individu, namun sekumpulan individu yang diikat dengan berbagai pemikiran, perasaan, dan sistem yang khas, dengan kata lain kumpulan manusia yang diikat oleh hadharahnya.
Sebagai contoh, kita mengatakan masyarakat Islam, maka hadharah yang mengikatnya adalah Islam. Pemikirannya adalah pemikiran Islam, perasaannya juga perasaan Islam, dan sistem yang mengaturnya adalah sistem Islam. Maka kumpulan individu yang pemikirannya pemikiran Islam, perasaannya Islam tapi diatur sistem dari Barat sebagaimana demokrasi, sama sekali bukan masyarakat Islam dan tidak layak mengaku memiliki hadharah Islam.
Seorang muslim, dia harus memiliki pandangan bahwa peradaban Islam sebagai cara hidup yang telah digariskan Islam, tidak menerima percampuran dengan peradaban lain di dunia ini. Sebab setiap peradaban pasti memiliki cara pandangnya sendiri dalam kehidupan, cara hidup, pemahaman tentang berbagai benda, nilai, tujuan, dan sifat-sifat yang ideal. Peradaban Islam, ketika sudah sempurna dalam segala sisinya, maka ia tidak akan membutuhkan unsur-unsur peradaban lainnya. Bahkan pengaruh peradaban lainnya yang dicangkokkan ke dalam tubuh peradaban Islam, adalah unsur asing yang akan merusaknya, dan akan menghancurkan masyarakat Islam, cepat atau lambat.
Dengan menelaah apa yang dibahas dalam halaqah fikih peradaban ala NU, kita justru melihat upaya-upaya memasukkan pemikiran asing dalam tubuh umat Islam semacam nasionalisme dan demokrasi. Arah pembahasannya fikih siyasah, yaitu pembahasan yang terkait dengan hukum-hukum seputar politik. Padahal, bila kita elaborasi antara makna fikih dan hadharah, semestinya fikih hadharah membahas hukum-hukum syarak terkait dengan sistem kehidupan yang diterapkan negara secara menyeluruh, tidak terbatas pada aspek siyasah saja. Dan aspek siyasah yang diambil juga tidak tepat, karena berangkat dari pemahaman konsep siyasah ala Barat yang membatasinya pada aspek kekuasaan dan pengaturan kekuasaan.
Fikih Siyasah Islam
Politik (as-siyasâh) berakar dari kata sâsa–yasûsu–siyâsat[an]. Artinya: mengatur, memimpin, memelihara, dan mengurus suatu urusan. Dalam Islam, politik bukan menitikberatkan pada aspek kekuasaan, namun pada pengaturan urusan masyarakat dengan hukum-hukum Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Karena itu bagaimana negara menyelenggarakan pendidikan bermutu yang bisa diakses oleh seluruh rakyat adalah politik. Bagaimana agar setiap rakyat yang sakit bisa mendapatkan perawatan yang dibutuhkan secara gratis adalah politik. Bagaimana negara memastikan agar setiap orang bisa makan, memiliki rumah, dan hidup secara layak, adalah politik.
Politik dilaksanakan oleh negara dan rakyat. Negara secara langsung melakukan pengaturan ini dengan hukum-hukum Islam. Rakyat mengawasi, mengoreksi, dan meluruskan negara jika menyimpang dari Islam. Gambaran ini diungkapkan oleh Ibnu Qutaibah (w. 276H): “Perumpamaan antara Islam, kekuasaan dan rakyat adalah laksana tenda besar, tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam. Tiangnya adalah kekuasaan. Tali pengikat dan pasaknya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya.”
Dalam Islam, aturan yang terpancar dari akidahnya bukan hanya aturan spiritual, yakni aturan yang mengatur hubungan hamba dengan Rabbnya saja. Namun terpancar juga aturan yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia yang lain dalam berbagai aspeknya. Aturan ini, hanya bisa berjalan ketika ada institusi yang menerapkannya dalam kehidupan. Inilah politik, maka hanya Islam yang akidahnya juga merupakan akidah politik, yaitu menuntut penerapan hukum-hukmnya dalam kehidupan dan mengatur penerapan ini dalam institusi yang disebut sebagai Daulah Khilafah Islamiyyah.
Maka mengambil fikih siyasah, namun membatasinya pada aspek tertentu, bahkan menafikan syariatnya untuk dijalankan secara utuh dan menyeluruh dalam kehidupan adalah bentuk pemandulan fikih siyasah Islam. Akibatnya fikih ini hanya terbatas pada teori-teori di kitab fikih dan tidak mampu mewujudkan kebaikan dan kemashlahatan yang Allah telah tetapkan.
Khatimah
Membicarakan fikih hadharah dalam Islam adalah membicarakan bagaimana menghidupkan syariat agar menjadi warna khas yang mewarnai masyarakat Islam. Bukan hanya satu aspeknya saja, melainkan pengaturan yang utuh dan menyeluruh pada setiap aspek kehidupannya. Memasukkan unsur-unsur asing, apalagi unsur Barat yang bertentangan secara asasiyah dengan Islam, sama saja dengan menghancurkan hadharah Islam.
Inilah yang perlu menjadi kewaspadaan umat, apalagi para mubalighah yang menjadi tulang punggung kebangkitan umat. Tugas kita untuk menjaga agar umat ini tetap tegak berdiri dalam rangka ketaatan kepada Allah dan meninggikan kalimat-Nya. Jangan sampai perjuangan kita tertipu dan justru memperjuangkan sesuatu yang salah dan mendatangkan kemurkaan Allah. Na’udzu billahi min dzalik. (SM/mly)