Benarkah Pesantren Sumber Budaya Patriarki?

Tanya:

Assalamu’alaikum wr. wb.

Suaramubalighah.com, Tanya Jawab — Ustazah, saya Khadijah dari Jatim. Saya izin bertanya terkait pernyataan seorang kiai bahwa pesantren menjadi sumber ideologi patriarki. Bahkan beliau menuduh bahwa kitab kuning yang merupakan kitab rujukan di kalangan pesantren telah memosisikan perempuan sebagai objek (terdiskriminasi). Apakah faktanya benar demikian, Ustazah?

(Khadijah, Jatim)

Jawab:

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Ukhti Khadijah di Jatim yang dirahmati Allah,

Tuduhan terhadap pesantren sebagai sumber ideologi patriarki hanya datang dari kalangan feminis. Gerakan ini tidak pernah ada sebelumnya di dunia Islam.

Tuduhan kaum feminis (kiai rujukan feminis –red.) ialah tanpa hujah yang kuat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada, bahkan cenderung penuh fitnah. Dan yang diserang kaum feminis bukan pesantren dan kitab kuningnya semata. Namun, sejatinya mereka menyerang syariat Islam.

Kaum feminis menyerang Syekh Nawawi Al-Bantani. Melalui karyanya, Syarh ‘Uqud Al-Lujayn fi Bayan Huquq Al-Zawjayn, yang dituduh ortodoksi ajaran agama yang menegasikan kaum perempuan dalam kebijakan publik.

Mereka juga menyerang Ghayah At-Taqrib, kitab fiqh yang mengikuti rute Syafi’iyah. Dianggap bias gender, seperti konsep perwalian dan kesaksian. Bukan hanya kitab Ghayah at-Taqrib, kitab standar dalam hadis pun dikatakan banyak memuat hadis-hadis yang secara turun-temurun masih dijelaskan dengan cara pikir misogini. Seperti kitab Abi Jamrah, Syarqawi (kitab fiqh di atas Ghayah At-Taqrib), Tafsir Jalalain, dan kitab-kitab lainnya. Kitab-kitab tersebut dituduh menempatkan perempuan sebagai objek fiqh.

Dalam pandangan feminis, pesantren dianggap mempraktikkan beberapa syariat Islam yang menguntungkan kaum pria. Seperti larangan bagi wanita mengimami laki-laki dalam salat, aturan saf salat yang mengharuskan wanita di belakang laki-laki, kewajiban patuh pada suami sebagai kepala keluarga, dan lain-lain. Semua itu dianggap patriarkal yang membuat muslimah menjadi korban subordinasi dan diskriminasi.

Melalui teologi feminis, ajaran-ajaran yang sudah mapan tetapi dirasa bertentangan dengan semangat equality (kesetaraan), harus digugat. Itu dilakukan –salah satunya– dengan cara mempermasalahkan penafsiran Al-Qur’an yang dipandang sarat dengan bias gender. Penafsiran para mufasir laki-laki, dianggap sebagai salah satu faktor di antara penyebab lahirnya penafsiran yang bias gender. Hasilnya, masalah kepemimpinan laki-laki atas perempuan, nafkah, dan pembedaan bagian waris merupakan sebagian contoh aturan yang mereka anggap tidak adil terhadap wanita. Karena dianggap tidak berpihak kepada wanita, maka penafsiran yang bernuansa demikian dikritisi, untuk selanjutnya dilakukan reinterpretasi demi equality (kesetaraan).

Gugatan kaum feminis semacam ini tentunya selain berimplikasi kepada pudarnya otoritas mufasir, juga berimplikasi kepada runtuhnya bangunan syariat Islam. Sebab apabila mufasir yang menjadi wasilah sampainya syariat Islam kepada kaum muslimin saat ini ditolak, maka tentu saja apa yang dibawanya juga akan tertolak. Artinya, kesalahpahaman kaum feminis yang berlanjut dengan penolakan terhadap mufasir menjadi pintu pembuka bagi hancurnya syariat Islam. Secara faktual, persoalan yang dihadapi perempuan hari ini karena penerapan ideologi sekularisme kapitalisme yang mengusung kesetaraan gender.

Lain halnya ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah. Perempuan dimuliakan dan berperan optimal sebagai hamba Allah SWT yang bermanfaat bagi peradaban dunia. Banyak tokoh perempuan berpengaruh yang telah banyak memberikan sumbangsih ilmu dan pengetahuan mereka dalam berbagai  bidang ilmu, seperti fikih, hadis, hukum, syair, dan lain-lain. Oleh karena itu tuduhan (fitnah) bahwa pesantren sumber ideologi patriarki, harus diluruskan dengan mengedukasi umat dengan syariat Islam yang kaffah.

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]