Oleh: Qisthi Yetty
Suaramubalighah.com, Opini — Peta Jalan Kemandirian Pesantren merupakan amanat UU Pesantren 18/2019. Ada tiga fondasi pesantren dalam UU tersebut, yaitu fungsi pendidikan, dakwah, dan pengembangan masyarakat. Salah satu turunannya adalah pengembangan masyarakat terkait kemandirian pesantren.
Kementerian Agama (Kemenag) di bawah kepemimpinan Menag Yaqut Cholil Qoumas menjadikan kemandirian pesantren sebagai salah satu program prioritas. Berkenaan itu, Kemenag menyusun Peta Jalan Kemandirian Pesantren.
Peta jalan ini disusun dengan tujuan mengembangkan pondok pesantren, bukan hanya sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga sebagai percontohan pergerakan ekonomi. Hal itu diharapkan akan menopang kebutuhan operasional pondok pesantren itu sendiri, sekaligus membantu perekonomian lingkungan sekitarnya. Menag Yaqut (04/05/2021) menyatakan, “Saya menetapkan tujuan besar dari kebijakan kemandirian pesantren ini adalah terwujudnya pesantren yang memiliki sumber daya ekonomi yang kuat dan berkelanjutan sehingga dapat menjalankan fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat dengan optimal.”
Melalui pemberdayaan tiga pilar (pesantren, santri, dan alumni pesantren), di Jawa Timur dan Jawa Barat telah dikembangkan program One Pesantren One Product (OPOP) dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi pesantren.
Akankah Peta Jalan Kemandirian Pesantren mampu mewujudkan pesantren berkualitas? Ataukah justru membajak potensi strategis pesantren itu sendiri?
Pembajakan Fungsi Strategis Pesantren
Di Indonesia saat ini, merujuk data Puslitbang Kemenag, terdapat tidak kurang dari 30.549 pesantren dengan jumlah santri mencapai 4,2 juta jiwa. Ini merupakan potensi yang sangat besar. Dalam perjalanannya, pesantren secara konsisten telah mendidik jutaan santri hingga ke pelosok negeri dan melahirkan para ulama dan kiai yang memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni. Pesantren tanpa kenal lelah juga ikut berperan mendampingi masyarakat dan turut menyelesaikan berbagai problem mereka. Bahkan, pada masa prakemerdekaan Indonesia, pesantren pun berperan penting di bidang politik, keamanan, dan pertahanan negara.
Seiring arus globalisasi di seluruh dimensi kehidupan manusia, impitan dan tekanan ekonomi menjadi salah satu akar penyebab terjadinya disorientasi muslim. Sistem kapitalisme, materialisme, dan hedonisme, memberikan legitimitasi untuk bersikap permisif terhadap segala sesuatu, meskipun harus mendistorsi ajaran agama. Pranata sosial seolah tercerabut oleh berbagai kepentingan ekonomi jangka pendek, termasuk di kalangan pesantren.
Perjalanan pembajakan potensi strategis pesantren cukup panjang. Pada mulanya, pesantren berfungsi sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan, pengaderan ulama, serta pusat perjuangan umat dalam melawan penjajah. Namun, pada 1980-an, melalui Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dunia pesantren memperoleh tambahan fungsi, yaitu sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Walhasil, banyak pesantren yang dijadikan sebagai uji coba untuk program pemberdayaan masyarakat. Pada era 2000-an, pesantren kembali memperoleh tambahan fungsi, yaitu sebagai pusat pengembangan ekonomi kerakyatan.
Awalnya, ulama diposisikan sebagai figur panutan sebagai “warasatul anbiya” dan menjadi rujukan umat karena kedalaman ilmu dan tsaqafah-nya (tafaqquh fiddin), juga sebagai pengemban dakwah dan terdepan dalam beramar makruf nahi mungkar. Akan tetapi, seiring perkembangan sistem sekuler kapitalisme yang kian menekan, terjadi benturan yang mengakibatkan para ulama yang sebelumnya mengawal kejernihan hati dan nilai-nilai positif, serta mengawal komunitas dari berbagai polusi negatif, mengalami pergeseran menjadi cultural broker and marketer (makelar dan pemasar kebudayaan) sebagai acuan dan referensi grup untuk bisnis (aspek ekonomi).
Aktivitas pesantren pun penuh dengan suasana ekonomi dengan ekosistem yang sangat mendukung. Pertama, ekosistem digital. Pandemi Covid-19 memaksa disrupsi digital terjadi lebih cepat di Indonesia. Semua aktivitas ekonomi sebagian besar kini mulai beralih menjadi platform digital.
Kedua, ekosistem UMKM. Sebagian besar dunia usaha masyarakat sekitar pesantren adalah dari kalangan UMKM. Apabila terjadi kolaborasi antara pesantren dan UMKM di sekitarnya, akselerasi pemberdayaan ekonomi pesantren dan masyarakat akan bisa terjadi lebih cepat.
Ketiga, ekosistem halal. Selama kurun 10 tahun terakhir, ada peningkatan tren industri halal yang cukup tinggi. Oleh karena itu, BPJPH didorong untuk bekerja sama dengan pesantren-pesantren untuk memperkuat ekosistem halal di Indonesia.
Bersifat Sistemis
Pada 05 November 2014, Kemenag melalui menterinya kala itu, Lukman Hakim Saifuddin, menandatangani nota kesepahaman dengan Bank Indonesia untuk rancang bangun Peta Jalan Pengembangan Kemandirian Ekonomi Pondok Pesantren.
Tahapan pengembangan kemandirian ekonomi pesantren (2015—2018) adalah membangun fondasi pengembangan kemandirian ekonomi pesantren. Terkait ini, telah dilakukan penelitian awal untuk memetakan permasalahan dan potensi ekonomi pesantren, serta penyusunan peta jalan dan implementasi pada tingkat makro dan mikro.
Pada 2019—2021 adalah tahap memperkuat strategi dan program dengan langkah mereplikasi pesantren yang terlibat dalam proyek pilot. Sedangkan 2022—2024 adalah tahap mengimplementasikan secara luas dan memosisikan model bisnis kemandirian ekonomi pesantren sebagai salah satu keunggulan nasional.
Pada periode Menag Yaqut ini, peta jalan disusun meliputi strategi dan rencana aksi nyata, terlebih sejak perekonomian Indonesia menghadapi tantangan resesi ekonomi global akibat penerapan ekonomi kapitalisme.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani menyebut bahwa pemerintah Indonesia terus menyesuaikan kondisi perekonomian global melalui berbagai kebijakan. Oleh sebab itu, potensi umat Islam sangat menggiurkan untuk dieksploitasi, termasuk potensi pesantren.
Khatimah
Satu-satunya jalan untuk mengembalikan muruah pesantren sebagai lembaga pendidikan pencetak ulama dan pemimpin bertakwa—tanpa terbebani pembiayaan besar dan memiliki fasilitas pendidikan yang berkualitas, serta tanpa dikte penjajah—hanya dengan penerapan sistem Islam dalam naungan Khilafah.
Khilafah menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan pokok bagi rakyat yang penyelenggaraannya menjadi kewajiban negara sebagai pelayan umat. Pendidikan diselenggarakan tanpa dikotomi (pendidikan umum dan pendidikan Islam/pesantren) karena semua berbasis pada akidah Islam untuk membentuk kepribadian Islam. Tidak ada ceritanya pesantren pendidikan yang dinomorduakan.
Dalam naungan Khilafah, lembaga pendidikan juga tidak dibebani mencari dana untuk membiayai kegiatan sekolah (pendidikan). Negara sebagai penyelenggara akan menanggung biaya pendidikan dari kas negara (Baitulmal) pos kepemilikan umum yang dikelola sesuai syariat Islam.
Rasulullah saw. bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR. Ibnu Asakir, Abu Nu’aim)
Dari hadis ini, sangat jelas bahwa untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, negaralah yang paling bertanggung jawab mewujudkannya dan ini hanya akan terwujud ketika ada di bawah naungan Khilafah Islam. Wallahu a’lam. [SM/Ah]
Sumber: muslimahnews.net