Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini — Serangkaian musyawarah keagamaan yang diselenggarakan oleh Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) baru saja usai. Dalam acara puncak KUPI II yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah yang rampung digelar pada 24-26 November 2022, KUPI telah merumuskan beberapa pandangan atau narasi keagamaan dalam bentuk fatwa tentang keberpihakan ulama KUPI terhadap perempuan korban kekerasan seksual.
Sebagai bentuk kepedulian ‘ala KUPI’ untuk mewujudkan serta mencerminkan tentang Islam sebagai rahmatan lil’alamin, rahmat bagi alam semesta, menurut KUPI, penting adanya keterwakilan perempuan dalam menyuarakan isu-isu perempuan demi kemaslahatan perempuan yang seluas-luasnya di alam semesta ini. Dalam pandangan KUPI, perempuan merupakan kelompok subordinat yang rentan menjadi korban budaya patriarki di masyarakat. Sehingga telah melahirkan persoalan kekerasan seksual yang kerap dialami oleh perempuan. Maka untuk menjawab realitas sosial yang dialami oleh perempuan dewasa ini, KUPI membentuk jaringan para milenial muda untuk peduli dan bersuara. Terutama mengenai kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan korban dari pemerkosaan dan pelecehan seksual, perkawinan anak di bawah umur, serta kerusakan alam semesta akibat dari pembangunan. (harakatuna.com, 20/11/2022)
Untuk selanjutnya, KUPI juga telah merekomendasikan beberapa solusi. Salah satu solusi tersebut disampaikan oleh Dr. Nur Rafiah, Bil.Uzm. yang mempertimbangkan pengalaman sosial dan biologis perempuan yang khas dengan menjadikan tolok ukur pandangan keagamaan dan dasar konsep keadilan hakiki bagi perempuan berdasarkan kondisi perempuan sebagai kelompok yang rentan mengalami kekerasan. Kemudian pandangan ini dianggap sebagai bentuk pandangan yang diyakini oleh KUPI merupakan bagian dari pandangan para ‘Ulama Perempuan’ yang akan melibatkan perempuan dalam merumuskan fatwa.
Pada diksi ‘Ulama Perempuan’, benarkah KUPI sebagai bagian dari perwakilan para ulama perempuan umat Islam? Lalu, benarkah konsep Islam rahmatan lil’alamin ala KUPI akan mampu menyelesaikan persoalan perempuan sebagai bagian dari persoalan umat Islam saat ini yang rentan mengalami kekerasan?
Pendistorsian Diksi ‘Ulama Perempuan’
Islam adalah agama yang sempurna yang akan mampu menyelesaikan setiap persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat pada saat seluruh aturan Islam diterapkan secara komprehensif. Islam telah mewajibkan kepada seluruh umat Islam untuk memahami setiap istilah yang muncul dan berkaitan dengan makna Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum dan tsaqafah Islam, yang akan digunakan sebagai rujukan dalil-dalil dalam memahami pemikiran, standar, dan pandangan-pandangannya dalam menyelesaikan persoalan kehidupan umat manusia.
Sehingga menjadi suatu hal yang sangat penting untuk memahami istilah-istilah yang muncul dalam bahasa Arab secara lafaz maupun makna syar’i-nya. Agar umat tidak terjebak pada sebuah kesalahan. Karena seseorang akan mengalami misleading dan bisa terjatuh pada sebuah kesalahan ketika tidak merujuk kepada makna bahasa dan lafaz yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, diksi ‘Ulama Perempuan’ yang disematkan oleh KUPI pada perhelatan kongres, menjadi tanda tanya besar. Apakah peserta yang hadir benar-benar merupakan bagian dari para ulama sesuai dengan pengertian ulama seperti yang dinyatakan di dalam QS. Fathir: 28? Allah SWT telah berfirman:
إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha perkasa, Maha Pengampun.”
Dalam ayat ini, kata ‘ulama’ merupakan konotasi pada pengertian bahwa “Sesungguhnya orang yang takut kepada Allah yang sebenar-benarnya adalah para ulama. Yaitu orang yang mengetahui Ar-Rahman di antara hamba-hamba Allah, yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, taat terhadap seluruh hukum syariat Islam, serta menjaga wasiat-wasiat Allah SWT sebab mereka meyakini akan menghadap-Nya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatannya.”
Maka, para ulama adalah orang-orang yang memiliki pemahaman serta keilmuan tentang agama dan hukum-hukum syariat yang diperoleh secara ta’allum dan tafaqquh. Seorang ulama tidak dikenal karena nasab keturunannya, atau karena mengenakan jubah dan sorban. Akan tetapi, diketahui berdasarkan keilmuan dan kefakihan ilmunya.
Sehingga sudah dapat dipastikan, bahwa para ulama dalam ayat ini adalah mereka yang berjuang untuk meneruskan perjuangan Rasulullah saw. dalam mengemban risalah Islam. Yang akan menyampaikan keilmuan mereka dengan menyingkirkan pemikiran-pemikiran rusak, dengan menunjukkan kesesatan dan kerusakan tersebut sebagai bagian dari kemaksiatan terhadap Allah SWT.
Oleh sebab itu, menjadi sesuatu yang ironis ketika kita menyandingkan pengertian ulama berdasarkan maksud dalam ayat Al-Qur’an di atas dengan tujuan penyelenggaraan KUPI dan makna dari diksi ‘Ulama Perempuan’ yang disematkan pada perhelatan tersebut. Sebab, tampak nyata bahwa KUPI yang telah diselenggarakan, merupakan sebuah gerakan yang memiliki tujuan untuk memoderasi agama Islam. Yaitu agar umat Islam mau mengubah cara pandang dalam memahami agama Islam sesuai dengan sudut pandang yang dikehendaki oleh Barat. Dimana umat Islam didorong dan dipaksa agar memahami agamanya sesuai dengan perspektif gender ala Barat. Sehingga menakwilkan konsep Islam rahmatan lil’alamin di dalam Al-Qur’an dan hadis berdasarkan paham dan konsep kesetaraan gender ala Barat.
Jadi, layakkah kongres ini mengusung nama ‘Ulama Perempuan’?
Konsep Gender, Upaya Merusak Islam dan Umat Islam
Konsep gender yang digagas oleh KUPI yaitu melalui strategi kolaborasi berbagai lembaga dengan memperluas jaringan untuk menyebarkan opini musawah atau konsep mubadalah sebagai simbol pergerakan ulama perempuan ala KUPI. Melalui jaringannya, KUPI telah menjajakan konsep kesetaraan gender yang menekankan pada relasi kemitraan atau kesalingan antara laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan peran-peran gender mereka di ranah domestik dan publik.
Berdasarkan pada konsep kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan serta keadilan dan kemaslahatan bagi keduanya, sehingga yang satu tidak menghegemoni atas yang lain, dan atau menjadi korban kezaliman dari yang lain. Tetapi menjadi relasi yang saling menopang, saling bekerja sama, dan saling membantu satu sama lain. Maka KUPI telah berusaha menyusup ke tubuh umat untuk berusaha merusak Islam dan umat Islam dengan menggandeng elemen masyarakat seperti MT, pondok pesantren, PT, dan generasi muda untuk turut serta membangun jaringan dan memperluas jaringan secara digital dan nondigital. Bahkan KUPI juga telah berperan aktif dengan memberikan edukasi, pelatihan, serta pendampingan kepada generasi muda untuk menjadi para influencer relasi musawah dan Islam damai, khususnya melalui media sosial seperti Instagram.
Oleh sebab itu, umat Islam harus waspada dan terus menajamkan mata elangnya terhadap kondisi generasi umat Islam saat ini. Sebab sasaran utama KUPI adalah menciptakan wadah bagi generasi milenial, Gen Z, dan seluruh umat Islam untuk menebarkan paham keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesetaraan melalui gerakan pengrusakan perempuan melalui gerakan ulama perempuan modern.
Karena sejatinya, ide dan konsep gender merupakan gerakan dan ide racun berbalut madu. Dan konsep ini juga merupakan upaya dari musuh-musuh Islam untuk menutupi kebenaran Islam di hadapan manusia. Mereka melakukan kebohongan dengan menyerang syariat-syariat Islam. Bahkan tanpa rasa malu menuduh syariat-syariat Islam sebagai sumber masalah dengan melakukan kedustaan dan pembohongan publik melalui gambaran buruk serta memutarbalikkan fakta-fakta tentang Islam.
Khatimah
Peran para mubalighah saat ini ialah harus senantiasa waspada dan terus bersungguh-sungguh untuk melakukan aktivitas dakwah dalam rangka mencerdaskan umat Islam. Sebab saat ini umat sangat membutuhkan junnah yang akan mampu melindungi mereka dari serangan dan upaya musuh-musuh Islam yang terus menyerang Islam dan umat Islam.
Sebab itu, maka dibutuhkan para aktivis dan mubalighah yang kuat dan tangguh serta ikhlas untuk terus menapaki jalan dakwah. Sehingga dapat memberikan gambaran jelas tentang pentingnya perjuangan untuk menegakkan syariat dan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, yang akan mampu melindungi Islam dan umat Islam. Hingga kejayaan dan kemuliaan Islam dalam naungan Khilafah akan segera tegak kembali atas izin Allah SWT. Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannasir.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]