KUPI: Kendaraan Feminis Merusak Islam dan Menjauhkan Perempuan dari Syariat Islam

Oleh: Hayyin Thohiro

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 baru saja diselenggarakan pada tanggal 23-26 November 2022 lalu di Jawa Tengah. Dengan menggandeng Perguruan Tinggi dan Pesantren, maka KUPI dilaksanakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang dan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara. Acara ini dimotori oleh lima lembaga, yaitu Rahima, Fahmina, Alimat, AMAN Indonesia, dan Gusdurian, yang notabene adalah lembaga pengusung liberalisasi agama dan perjuangan gender yang dikenal sebagai feminis muslim.

KUPI dikatakan sebagai ruang perjumpaan para ulama perempuan Indonesia dari beragam latar belakang pendidikan dan organisasi yang bersifat nonpartisan, inklusif, partisipatoris, lintas organisasi, lintas generasi, lintas latar belakang sosial, dan pendidikan, bahkan lintas negara dan lintas iman/agama. Karena itu, hadir sebagai peserta kurang lebih 1500 yang di antaranya ada 31 delegasi luar negeri yang terdiri dari negara Burundi, Kanada, Mesir, Finlandia, Prancis, Jerman, Hong Kong, Hungaria, India, Kenya, Indonesia, Malaysia, Maroko, Pakistan, Filipina, Suriah, Sri Lanka, Thailand, Belanda, Tunisia, Turki, United Kingdom, dan Amerika. Turut hadir dalam acara ini adalah tokoh-tokoh feminis antara lain Profesor Fatima Seedat, Amina Wadud, Nyai Badriyah Fayumi, Rubi Kholifah, Nur Rofiah, Buya Husain Muhammad, Faqihuddin Abdul Kodir, dan lain-lain.

Gerakan KUPI juga dimaksudkan menjadi referensi pengambil kebijakan karena telah melakukan refleksi terhadap berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Karena itu KUPI-1 yang berlangsung di Cirebon, Jawa Barat pada April 2017 dengan menghasilkan tiga fatwa/rekomendasi yang meliputi pencegahan pernikahan usia anak, penghapusan kekerasan seksual, serta pencegahan kerusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial, telah diambil sebagai rujukan dalam regulasi kebijakan.

Rekomendasi terkait pencegahan perkawinan usia anak telah dipakai sebagai salah satu rujukan untuk meningkatkan usia minimal pernikahan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Aturan terkait usia minimal seseorang sah secara hukum untuk menikah itu dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sementara fatwa terkait penghapusan kekerasan seksual, mendorong parlemen khususnya partai politik Islam untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang.

Karena itu Ruhah Masruchah selaku panitia mengungkapkan bahwa dalam KUPI-2 selanjutnya bertujuan menjadi ruang refleksi ulama perempuan, sekaligus konsolidasi pengetahuan ulama perempuan Indonesia dan seluruh dunia selama lima tahun terakhir dengan tajuk “Meneguhkan Peran Ulama Perempuan dalam Membangun Peradaban yang Berkeadilan”. Adapun isu krusial yang menjadi bahasan utamanya meliputi lima hal,  yakni;  peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstremisme; pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan; perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan; perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; dan perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan. Kelima isu ini ditelaah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman.

Ulama Perempuan vs. Perempuan Ulama

Faqihuddin selaku sekretaris SC menegaskan bahwa istilah ulama perempuan tidak terbatas pada ulama berjenis kelamin perempuan, tetapi seluruh ulama yang memiliki perspektif perempuan. Istilah keulamaan tidak hanya merujuk pada mereka yang menguasai ilmu agama, tetapi juga mereka yang menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemanusiaan dan kehidupan dalam arti luas. Lebih lanjut, ia katakan bahwa gerakan ulama perempuan hendak memastikan pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi otoritas dalam pengetahuan dan keimanan.

Dari sinilah maka perlu dibedakan antara “ulama perempuan” dan “perempuan ulama”. Terminologi “ulama perempuan” yang dipakai dalam gerakan ini nampak jelas memiliki maksud dan tujuan yang khas. Yaitu siapa saja yang memiliki keilmuan dan pengalaman yang tidak harus merujuk pada penguasaan ilmu agama, apalagi Al-Qur’an dan hadis. Termasuk juga tidak harus dari kalangan perempuan, tapi siapa saja baik perempuan maupun laki-laki, termasuk muslim maupun nonmuslim yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu perempuan. Bahkan tidak hanya isu perempuan, tapi juga segala hal yang berhubungan dengan pembelaan kaum minoritas dengan perspektif gender, persamaan, musawah, mubadalah, moderat, dan liberal.

Sementara “perempuan ulama” jelas merepresentasikan pada sosok seorang perempuan, yang kemudian melekat pada sosok tersebut adalah penguasaan sejumlah ilmu agama melalui proses belajar yang lurus secara talqiyan fikriyan yang merujuk dari nas-nas syarak Al-Qur’an dan hadis. Selain menguasai ilmu-ilmu agama, sosok seorang ulama juga akan mengamalkan dan mendakwahkannya. Sehingga lekat dengan karakter sebagai seorang muballigh dan muballighah.

Karena itu kita harus jeli dan kritis. Jangan sampai terbelokkan oleh gerakan apa pun yang mengatasnamakan agama yang sejatinya bukan untuk membela dan memperjuangkan agama Allah, yakni Islam kaffah dengan segala ajarannya yang diajarkan dan didakwahkan oleh Rasulullah saw..

Metodologi dan Strategi KUPI

Bicara soal metodologi, Ruby Kholifah selaku Direktur The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, menyebut bahwa KUPI sebagai gerakan yang unik karena menawarkan pemikiran transformatif terkait sejumlah persoalan yang selama ini meminggirkan peran dan posisi perempuan, terutama di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. KUPI mencoba menyoroti masalah dengan metodologi khasnya sendiri. Metodologi KUPI mengutamakan penyelamatan jiwa dan perlindungan bagi yang lemah dibanding hal-hal yang hanya bersifat simbolik. Metode ini didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan perempuan serta melibatkan lintas ilmu, serta relevan bagi perjuangan keharmonisan hubungan.

KUPI telah meluncurkan apa yang dikenal sebagai metodologi fatwa. Dalam mengeluarkan fatwa ada tiga pendekatan yang dapat dirujuk, yang meliputi:

Pertama, mubadalah yaitu kesalingan. Dimana prinsip dasarnya sebuah kebaikan diperintahkan oleh Islam untuk laki-laki dan perempuan, meskipun teksnya dalam ayat itu hanya mengacu pada salah satu pihak. Dalam pendekatan mubadalah, semua keburukan itu pasti dilarang oleh Allah SWT baik itu ditujukan untuk laki laki dan perempuan. Dalam praktiknya, mubadalah juga turut memastikan semua dan prinsip dasar ayat Al-Qur’an yang bernilai universal turut mencangkup di dalamnya perempuan.

Kedua, ma’ruf yakni mewujudkan kebaikan dengan tetap melihat keunikan khusus masyarakat. Kata ma’ruf dalam Al-Qur’an telah disebut sebanyak 34 kali dalam 32 ayat, dimana 18 di antaranya tentang keluarga. Dikatakan bahwa ma’ruf juga harus mempertimbangkan kearifan yang sesuai dengan agama dan berdampak baik kepada semua pihak termasuk perempuan, serta diterima masyarakat dan melahirkan kepuasan kepada semua pihak. Selain itu, dalam prinsipnya, ma’ruf menyadari kandungan ayat Al-Quran pada ajaran universal harus mempertimbangkan konteks khusus. Ma’ruf juga mempertimbangkan betapa pentingnya konstitusi Indonesia dengan perempuan.

Ketiga, keadilan hakiki perempuan. Pendekatan ini mempertimbangkan pengalaman kemanusiaan khas perempuan yang tidak dimiliki laki-laki. Pengalaman pertama sistem reproduksi seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Pengalaman kedua ialah pengalaman sosial dari stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, dianggap sebagai alat seksual, kekerasan, serta beban ganda.

Untuk menderaskan opininya, strategi yang diambil tampak pada upayanya untuk menggandeng perguruan tinggi dan pesantren. Wakil Rektor UIN Walisongo, M. Mukhsin Jamil, mengatakan bahwa gerakan KUPI telah memberikan konteks sangat bagus bagi kegiatan pendidikan yang lebih berperspektif gender, “Konteks bagi penelitian yang berdimensi sosial kultural yang lebih berperspketif perempuan juga memberikan konteks dalam pengabdian masyarakat,” tuturnya.

Lebih jauh sebagai bentuk kerja sama, pelibatan dan sinergi dengan perguruan tinggi berikut kalangan intelektualnya, sekaligus sebagai sarana untuk terus mengembangkan pemikiran-pemikiran dan literasi mereka, dibangunlah “Cupi Corner” di UIN Walisongo Semarang. Sementara untuk kerja sama dan pelibatan dengan pihak pesantren dibangunlah “Joglo Kupi” di Pesantren Hasyim Asy’ari Jepara.

Strategi berikutnya adalah menggarap pemuda untuk menjadi influencer opini musawah (kesetaraan gender) dan Islam moderat melalui sosial media. Termasuk pelibatan mereka untuk terus memproduksi tulisan-tulisan yang berperspektif musawah dan moderat.  Pelibatan kaum muda (Kupi Muda) menjadi bagian penting dalam membangun peradaban. Karena mereka punya potensi untuk melakukan perubahan, mereka adalah agent of change. Sementara untuk penderasan di akar rumput, maka mereka menggandeng Majlis Taklim, Ormas, PKK, penyuluh agama, dan lain-lain.

Hakekat KUPI

Sebagaimana KUPI-1 yang menghasilkan rekomendasi-rekomendasi untuk masa kerja lima tahun, maka dalam serangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam KUPI-2 juga dihasilkan 5 sikap keagamaan dan 8 rekomendasi sesuai dengan tema dan isu yang diusung untuk masa kerja lima tahun berikutnya.

Dengan melihat keberadaan KUPI sebagai sebuah metodologi studi Islam berkeadilan bagi perempuan, mulai dari kronologi, isu yang diusung, metodologi, hingga strategi penderasan fatwa sebagai bentuk dari sikap keagamaannya, maka pada hakikatnya KUPI adakah gerakan feminis. Gerakan ini berjuang menuntut adanya musawah dengan mengutak-atik nas melalui metode qiro’ah mubadalah untuk me-rekontekstualisasi fikih Islam (hukum-hukum syarak).

Tujuan dari semua itu tidak lain adalah agar sejalan dengan rancangan dan cara pandang Barat berupa Islam moderat untuk menjauhkan umat Islam dari Islam kaffah. Apa yang diperjuangkan KUPI sejalan dengan proyek moderasi beragama yang sedang diarusutamakan.

Karena itu, maka KUPI pada dasarnya adalah kendaraan baru bagi feminis untuk menjauhkan perempuan dan generasi dari Islam kaffah dan dari perjuangan untuk menegakkan serta menerapkan kembali dalam naungan Khilafah. Allahu a’lam. [SM/Ah]