Oleh: Diana Wijayanti
Suaramubalighah.com, Muslimah dan Keluarga — Baru-baru ini sunat (khitan) perempuan kembali menjadi pembicaraan. Sunat perempuan atau tindakan dan/atau pelukaan genetalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis dinyatakan haram dalam keputusan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II yang diselenggarakan di Ponpes Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah pada 24-26 November 2022 lalu. Sunat perempuan harus dilarang karena dinilai oleh kaum feminis dan pejuang gender sebagai tindak kekerasan terhadap perempuan.
Larangan sunat perempuan akan terus digaungkan kaum feminis seiring dengan kampanye “Generation Equality” oleh UN Women. Mereka memandang sunat perempuan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, dan dinilai berdampak serius bagi anak perempuan. WHO memperkuat kampanye ini, bahwa “female genital mutilation” atau FGM tidak dapat dibenarkan secara medis dan menimbulkan konsekuensi fisik, psikologis, dan sosial jangka panjang.
Umat pun akhirnya kebingungan. Di satu sisi sunat perempuan diperintahkan dalam Islam, di sisi lain negara melarangnya dengan merujuk pada Barat.
Tentu kebingungan umat ini tidak boleh dibiarkan. Perlu ada kajian mendalam terhadap sunat perempuan dalam pandangan Islam. Perlu peran ulama dan mubalighah untuk terus mencerdaskan umat. Demikian juga amar ma’ruf nahi munkar kepada negara agar menjadikan syariat Islam sebagai rujukan dalam mengambil kebijakan yang diterapkan di masyarakat.
Sungguh dalam Islam, sunat perempuan bukanlah bermakna pemotongan alat kelamin perempuan sehingga membahayakan sebagaimana pandangan kaum feminis dan pejuang gender. Merujuk pendapat Imam Al-Mawardi, sunat perempuan dilakukan dengan cara memotong sebagian kecil kulit yang menutupi klitoris atau bagian atas farjinya tanpa mencabutnya atau menghilangkan klitorisnya. Cara ini aman dari pemotongan atau penghilangan sebagian organ kewanitaan.
Dalam Islam, sunat perempuan ini bagian dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang baik untuk dilaksanakan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah ﷺ. Beliau pernah memerintahkan kepada tukang sunat perempuan, Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha:
لاَ تُنْهِكِي فَإِنَّ ذَلِكَ أَحْظَى لِلْمَرْأَةِ وَأَحَبُّ إِلَى الْبَعْل
“Janganlah berlebihan dalam mengkhitan, karena akan lebih nikmat (ketika jimak) dan lebih disukai suami.” (HR. Abu Dawud)
Dari sini, sunat perempuan dengan memotong alat kelamin perempuan tidaklah sesuai tata cara sunat perempuan yang benar dalam Islam. Untuk itu, sunat perempuan sesuai tata cara dalam Islam, tidaklah ada alasan untuk melarangnya. Di sisi lain, umat pun harus meyakini bahwa segala hal yang berasal dari aturan Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasti membawa maslahat dan kebaikan bagi manusia.
Para ulama memang berbeda pendapat dalam menentukan hukum syariat terkait sunat perempuan. Ada ulama yang mewajibkan, namun ada pula yang hanya memandang sunah (tidak wajib).
Pertama, pendapat ulama yang mewajibkan sunat laki-laki dan juga sunat perempuan, yaitu sebagian ulama mazhab Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad. Di antara dalil hal ini adalah QS. An-Nahl ayat 123:
ثُمَّ أَوۡحَيۡنَآ إِلَيۡكَ أَنِ ٱتَّبِعۡ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.”
Sabda Rasulullah ﷺ:
إذ ا جاوز الختان الختان فقد وجب الغسل
“Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.“ (Hadis sahih diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad Hadis no. 24709; HR. Muslim, Al Hadis 88/ 349; dalam Al Muwatha’, Imam Malik, hlm. 38).
Sabda Rasulullah ﷺ:
الق عنك شعر الكفر واختتن
“Buanglah rambut kekafiranmu dan berkhitanlah.” (HR. Ahmad dalam Muhtashar Nailul Authar/I/98)
Kedua, pendapat ulama yang mewajibkan sunat bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan, adalah sebagian penganut dan pendukung ulama mazhab Syafi’i. Mereka berargumentasi tidak ada dalil dengan tuntutan yang tegas atau pasti terkait sunat perempuan. Dalil yang yang ada adalah tuntutan tidak pasti. Dari sini, disimpulkan sunat perempuan hukumnya sunah, tidak wajib.
Ulama yang berpendapat sunat perempuan adalah sunah, merujuk pada penjelasan Ibnu Taimiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa tujuan sunat laki-laki adalah menghilangkan najis yang terdapat dalam penutup kulit kepala penis, serta suci dari najis sebagai syarat untuk melakukan ibadah salat. Hadis sahih,
الق عنك شعر الكفر واختتن
“Buanglah rambut kekafiranmu dan berkhitanlah.”
Dhamir” ك–ka” pada “عنك” menunjukkan kata ganti laki-laki. Jadi yang diseru berkhitan dalam hadis ini adalah laki-laki.
Adapun tujuan sunat perempuan adalah untuk menstabilkan syahwatnya, bukan untuk melakukan ibadah wajib, yaitu shalat sebagaimana laki-laki. Apabila wanita tidak disunat, syahwatnya sangat besar. (Majmu’ Fatawa, 21/114).
Dari dua pendapat tersebut, pendapat terkuat soal sunat perempuan adalah pendapat yang mengatakan bahwa sunat perempuan hukumnya adalah sunah, karena tidak ada dalil dengan tuntutan yang bersifat tegas atau pasti terkait sunat perempuan.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang sunat perempuan, yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sunat perempuan itu termasuk ajaran Islam –ajaran Allah dan Rasul-Nya–. Setiap ajaran Islam pasti membawa maslahat bagi umatnya.
Dari sini, disimpulkan bahwa praktik sunat perempuan yang salah dengan memotong sebagian besar atau bahkan sampai pada klitorisnya adalah membahayakan kesehatan perempuan, menyebabkan kesulitan dalam menikmati berjimak bahkan sampai membencinya, ialah bukan berasal dari ajaran Islam. Dan sunat perempuan dalam Islam ialah dengan hanya memotong sebagian kecil kulit yang menutupi klitoris, tidaklah membahayakan kesehatan, bahkan memberikan kemaslahatan bagi perempuan. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]