Persekusi Khilafah, Jurus Mabuk Pendukung Rezim Jelang Tahun Politik

  • Opini

Oleh: Mahganipatra

Suaramubalighah.com, Opini — Obsesi pemilu yang demokratis, menjadi acuan dan parameter yang senantiasa digadang-gadang sebagai jalan hakiki menuju perubahan dan kesejahteraan. Tak heran jika menyongsong pelaksanaan pemilu tahun 2024, seluruh instrumen dan penyelenggara (lembaga) yang ditunjuk telah mulai dipersiapkan.

Demikian pula dengan aroma persaingan para kontestan politik sebagai capres dan cawapres yang terpilih, juga kian santer dan menyengat. Berkelindan dengan semangat para pendukung mereka yang bersikap irasional dalam menempatkan dan menilai para ‘idolanya’. Dengan membentuk image ‘sang idola’ dalam wujud selalu tampak baik, tidak pernah salah, serta sempurna tanpa cacat dan cela.

Di banyak kasus, para pendukung irasional ini juga tidak segan-segan menyebarkan propaganda hitam. Bahkan mereka sangat berani untuk memalsukan data, dan juga mencari-cari alasan serta kesalahan dari lawan politik ‘idolanya’. Sehingga akan terlihat jelek, tidak baik, dituduh dengan isu-isu yang menampakan cacat dan celanya. Padahal isu tersebut hanya bersifat hoaks semata.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Sejauh mana peran dan pengaruh para pendukung kontestan dalam konstelasi politik jelang pesta tahunan demokrasi ini? Akankah mampu menjawab tuntutan perubahan atau sekadar euforia tahunan jelang pemilu demokrasi sekular?

Ilusi Demokrasi, Menciptakan Pemimpin Berkuasa namun Tak Berdaya

Slogan indah demokrasi hanya berlaku saat jelang tahun politik. Partisipasi rakyat hanya sebatas hak pilih suara. Ditandai dengan mulai ramainya pemasangan baliho di beberapa tempat, kemudian mulai ramai terjadi debat-debat kecil antarpendukungnya. Lalu diikuti dengan serbuan “gambar”, “data”, “video”,  atau aneka informasi lainnya yang semakin banyak menebarkan propaganda hitam. Sebab di era demokrasi sekuler, propaganda hitam menjadi alat komunikasi pilihan demi memenangkan para kontestan yang dicalonkan.

Salah satu model propaganda hitam adalah propaganda yang dilontarkan oleh Ferdinand Hutahaean kepada capres Anies Baswedan. Mantan gubernur DKI ini, menjadi calon kuat yang diusung oleh partai Nasdem. Melalui akun Twitter-nya @FerdinandHutah6, Ferdinand telah terang-terangan mengkritik Anies, terkait baliho yang menyatakan NII Garut mendukung Anies. Lalu Ferdinand Hutahaean juga menuduh Anies, FPI, dan HTI sebagai barisan pendukung Khilafah.

Kasus Ferdinand Hutahaean ibarat jurus mabuk, cermin pendukung rezim yang irasional. Hanya demi untuk membela ‘idolanya’, dengan membabi buta menyerang dan mengkritik mempelai politik yang menjadi rival tokoh idolanya yaitu mantan gubernur DKI, Anies Baswedan. Selain itu, Ferdinand juga kerap membuat pernyataan kontroversi di masyarakat yang tujuannya adalah menyerang lawan politik idolanya.

Dengan sangat berani, Ferdinand Hutahaean melakukan persekusi Khilafah dan menuduh ormas-ormas ini (HTI dan FPI) setara dengan PKI. Karena kedua ormas ini dianggap sebagai ormas terlarang di negeri ini. Menurutnya, walaupun sudah dibubarkan, tetapi para pemimpin dan pendukung ormas ini masih getol menyuarakan ide dan gagasan Khilafah dan syariat kaffah. Gagasan ini dituduh akan menjadi pemecah belah bangsa. Ide Khilafah yang diusung oleh HTI dianggap sebagai ideologi yang akan mengancam NKRI dan bertentangan dengan ideologi Pancasila yang diterapkan negeri ini. Oleh karenanya, pemerintah wajib membuat aturan yang dapat menghukum penjara bagi para ulama dan pendukung Khilafah dan syariat Islam secara kaffah. (suara.com, 23/11/2022)

Demikianlah, slogan demokrasi memang tampak indah dan menjanjikan, “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Padahal sejak awal demokrasi sudah bermasalah, dan di dalam realitas pelaksanaannya pun hanya sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan semata. Sebab, sejak awal proses memilih calon pemimpin yang hendak dipilih oleh rakyat. Mereka sejatinya bukan murni kandidat yang diinginkan oleh rakyat sebagai pemimpin. Namun para calon yang menjadi kontestan (mempelai politik), mereka memiliki kepentingan yang sama dan dekat dengan pihak-pihak yang mampu mencalonkan mereka (partai) menuju tampuk kekuasaan.

Selain harus mendapat dukungan dari partai, para mempelai politik juga harus mendapat restu dari para pengusaha yang sanggup untuk memodali kampanye dan membayar saksi agar meraih peluang menang yang lebih besar. Itu artinya sejak awal sudah terjadi kontrak politik. Sehingga saat mempelai politik menang dan berkuasa, mereka telah diikat dengan janji suci balas budi. Kesimpulannya, saat berkuasa mereka tersandera dan tak berdaya.

Maka menjadi sebuah keniscayaan, bahwa sejatinya pemilik kedaulatan bukanlah rakyat tetapi para kapitalis. Merekalah yang menciptakan para penguasa. Melalui kekuatan modal yang mereka bayar pada partai politik sebagai ‘mahar politik’, menjadi sebab terciptanya para penguasa yang akan membuat undang-undang yang dapat mendukung seluruh mega proyeknya. Mengingat dalam pesta demokrasi, butuh ongkos politik yang sangat besar dan mahal. Sementara bagi rakyat yang telah memberikan dukungan suaranya, mereka akan segera ditinggalkan dan dilupakan ketika mempelai politik menang dan melenggang menuju tampuk kekuasaan. Menyedihkan bukan?

Sistem Demokrasi Bukan Jalan Perubahan untuk Meraih Kesejahteraan

Sistem demokrasi yang telah dipercaya sebagai jalan perubahan yang akan menghantarkan masyarakat pada kesejahteraan, ternyata hanya slogan semata. Siapa pun yang memahami demokrasi secara prosedural, meyakini bahwa secara fakta dalam pemilihan pemimpin, rakyat memang dilibatkan secara langsung untuk memilih pemimpinnya melalui pemilu, namun secara sistem yang menjadi pilar penting penopang kekuasaan dalam demokrasi sejatinya adalah para pengusaha. Dengan kekuatan uang mereka telah membeli dan mendikte para elit penguasa agar dapat menjamin proyek bisnis mereka tetap jalan dan menghasilksn keuntungan.

Walhasil sistem demokrasi sejatinya telah melahirkan dan menciptakan negara korporasi. Dimana ciri utamanya adalah melayani kepentingan pengusaha dibandingkan dengan memikirkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini telah tergambar jelas dalam peta jalan kekuasaan yang dipilih melalui sistem demokrasi di Indonesia maupun di seluruh dunia.

Demokratisasi hanyalah sebatas jargon. Alih-alih dapat memberikan kesejahteraan untuk rakyat, justru rakyat dijadikan tumbal untuk saling memperkuat pilar kepentingan kapitalisme dan globalisasi.

Masihkan masyarakat akan terus berharap perubahan melalui jalan demokrasi? Saatnya masyarakat cerdas untuk menentukan jalan mana menuju arah perubahan dan kesejahteraan.

Masyarakat Membutuhkan Khilafah

Penerapan sistem demokrasi kapitalisme telah nyata menciptakan kerusakan tatanan sosial di masyarakat. Kesenjangan ekonomi semakin tajam, menciptakan kemiskinan yang akut. Impian sejahtera bagai mimpi di siang bolong. Kesedihan dan kesengsaraan terus mendera dan membelenggu masyarakat tiada henti. Kapitalisme global menciptakan ketidakadilan. Rakyat telah dirampok, seluruh SDA negeri ini dijual tanpa sisa. Rakyat Indonesia yang mayoritas muslim kini hidup dalam kondisi terjajah, terzalimi, teraniaya, dituduh, dan difitnah secara keji. Di belahan bumi yang lain pun hal yang sama terjadi. Umat Islam terusir dari negerinya, dibunuh, dipecah-belah, terpuruk, dan tertindas. Menjadi umat yang terjajah secara fisik maupun mental.

Padahal di dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 110, Allah telah berfirman:

كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Khatimah

Propaganda hitam menjelang tahun politik adalah hal yang wajar dan jamak terjadi di era sistem demokrasi-kapitalisme. Untuk itu, umat harus cerdas dalam menentukan sikap. Tipu-tipu ala demokrasi semestinya sudah hafal. Jangan lagi terjebak menjadi kelompok yang irasional.

Bersikaplah rasional dan perjuangkan Khilafah. Karena Khilafah merupakan ajaran Islam yang lahir dari ideologi Islam. Khilafah akan menjadi junnah (perisai) yang dibutuhkan umat untuk melindungi dan mengayomi eksistensi umat Islam sebagai manusia terbaik dan termulia. Oleh karena itu umat Islam harus kembali kepada Islam. Islam sebagai sebuah ideologi yang memancarkan sistem hukum dan pemerintahan dalam institusi negara yaitu Khilafah Islamiyah.

Dengan Khilafah Islamiyah ‘ala minhaj an-nubuwwah, perubahan yang menjanjikan kesejahteraan bagi umat manusia menjadi sebuah keniscayaan. Melalui Khilafah, umat Islam akan bangkit dan dipersatukan kembali untuk menciptakan peradaban mulia yang akan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam semesta.

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]