Oleh: Desi Wulan Sari, M.Si.
Suaramubalighah.com, Opini — Dunia pesantren menjadi sasaran bagi para pegiat moderasi beragama dan feminisme. Terlebih seiring makin eksisnya “ulama perempuan” , kaum feminis makin masif menyerang ajaran Islam yang selama ini diajarkan di pesantren. Kaum feminis memandang bahwa yang diajarkan di pesantren bersifat paternalistis, feodal, dan patriarkal, serta bersikap konservatif.
Merespon hal ini, kaum feminis meminjam tangan ulama untuk menguatkan argumentasinya. Salah satu fokusnya ialah mengkritik kitab fiqh (kitab kuning) yang dianggap sumber ideologi patriarki. Contohnya isu-isu perempuan, perwalian, persaksian, warisan, dan lain sebagainya yang dianggap tidak berpihak atau memberikan keadilan kepada perempuan.
Tuduhan kaum feminis (kiai rujukan feminis –red.) ialah tanpa hujah yang kuat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada, bahkan cenderung penuh fitnah. Dan sejatinya yang diserang kaum feminis bukan pesantren dan kitab kuningnya semata, namun mereka menyerang syariat Islam.
Kaum feminis menyerang Syekh Nawawi Al-Bantani. Melalui karyanya, Syarh ‘Uqud Al-Lujayn fi Bayan Huquq Al-Zawjayn, yang dituduh ortodoksi ajaran agama yang menegasikan kaum perempuan dalam kebijakan publik.
Mereka juga menyerang Ghayah At-Taqrib, kitab fiqh yang mengikuti rute Syafi’iyah. Dianggap bias gender, seperti konsep perwalian dan kesaksian. Bukan hanya kitab Ghayah At-Taqrib, kitab standar dalam hadis pun dikatakan banyak memuat hadis-hadis yang secara turun-temurun masih dijelaskan dengan cara pikir misogini. Seperti kitab Abi Jamrah, Syarqawi (kitab fiqh di atas Ghayah At-Taqrib), Tafsir Jalalain, dan kitab-kitab lainnya. Kitab-kitab tersebut dituduh menempatkan perempuan sebagai objek fiqh.
Dalam pandangan feminis, pesantren dianggap mempraktikkan beberapa syariat Islam yang menguntungkan kaum pria. Seperti larangan bagi wanita mengimami laki-laki dalam salat, aturan saf salat yang mengharuskan wanita di belakang laki-laki, kewajiban patuh pada suami sebagai kepala keluarga, dan lain-lain. Semua itu dianggap patriarkal yang membuat muslimah menjadi korban subordinasi dan diskriminasi.
Islam telah menempatkan perempuan sangat mulia dan adil. Bahkan Allah SWT memposisikan perempuan sebagai manusia sederajat dengan laki-laki. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 13,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ketika Islam menetapkan hukum perempuan dengan laki-laki berbeda, karena tabiatnya berbeda. Dan hukum yang berbeda ini justru untuk menjaga dan memuliakan perempuan, misalnya terkait kewajiban menutup aurat, kewajiban nafkah, pengasuhan anak, warisan, dan lainnya.
Tuntutan kaum feminis pada kesetaraan perempuan terhadap laki-laki tidaklah masuk akal. Karena sejatinya Islam memuliakan perempuan dan memosisikan kedudukannya lebih tinggi dari laki-laki sebagai seorang ibu dari anak-anaknya serta sebagai seorang istri yang menjaga kehormatannya, harta suaminya, dan rumah tangganya.
Secara umum, laki laki memang memiliki kelebihan dibandingkan perempuan. Hal ini dibenarkan, seperti yang disampaikan firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa’ [4]: 34:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Persoalan terkait perempuan justru muncul ketika syariat tidak diterapkan secara kaffah. Sejak umat Islam menerapkan sistem kapitalisme demokrasi yang menganut sekularisme dan liberalisme, muncul banyak persoalan. Tidak hanya perempuan saja, laki-laki pun banyak masalah.
Sehingga, narasi feminis muslim yang mengatakan “pesantren sumber ideologi patriarki” pun terpatahkan. Sebab selama 13 abad Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan Khilafah, dunia mengakui bahwa Islam memuliakan dan menyejahterakan perempuan.
Maka, penting bagi umat Islam memandang posisi antara laki-laki dan perempuan sesuai fitrahnya. Sehingga mampu mewujudkan kemaslahatan serta keharmonisan dalam kehidupan antara laki-laki dan perempuan, karena Islam mengatur sistem pergaulan yang memiliki standar universal yang sempurna dan paripurna. Dan yang harus dituntut seharusnya adalah penerapan sistem Islam secara kaffah, yang sudah terbukti mengatur relasi laki-laki dan perempuan secara adil berdasarkan Al-Qur’an dan hadis dalam naungan Khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]