Oleh: Zakiyah Amin
Suaramubalighah.com, Opini — Demi menopang kebangkrutan akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme-demokrasi, penguasa negeri ini berusaha sekuat tenaga menggenjot pertumbuhan ekonomi. Dan sasaran utamanya adalah umat Islam, hingga muncul istilah “santri mujahid ekonomi”.
Diwakili oleh wakil presiden RI Ma’ruf Amin dalam kunjungan kerjanya ke Kabupaten Garut pada peringatan hari lahir atau milad ke-18 Ponpes Al-Jauhari, berpesan kepada Pemkab Garut yang memiliki banyak pesantren agar memaksimalkan pesantren sesuai tujuan dari undang-undang pesantren. Dia meminta Pemkab mengembalikan fungsi ponpes pada fungsi pesantren yang sebenarnya yakni fungsi pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Menurutnya, saat ini perjuangan para santri adalah melawan kemiskinan dan kebodohan melalui jihad ekonomi. Untuk itu ia mengajak pimpinan ponpes khususnya Ponpes Al-Jauhari untuk melahirkan para pejuang atau mujahid ekonomi. (DetikJabar, 24/11/2022)
Betapa mirisnya negeri yang kaya raya akan sumber daya alam dan mayoritas muslim, mendorong dan menyasar pesantren dan santrinya sebagai penggerak ekonomi dengan motivasi sebagai pejuang atau mujahid ekonomi. Sementara di satu sisi ketika pesantren dan santri menginginkan penerapan syariat Islam, dicap radikal bahkan ekstrem.
Santri yang sejatinya dikader untuk menjadi ulama atau ahli agama yang akan menjaga agama, justru diarahkan berwirausaha yang mereka sebut mujahid ekonomi. Istilah mujahid ekonomi mereduksi jati diri santri. Semua demi menutupi kebobrokan sistem ekonomi Kapitalisme. Dan ini sangat berbahaya, karena mampu memperdaya ulama/kiai dan para santri dengan sebutan tersebut dari identitas yang sebenarnya.
Kapitalisme sebagai ideologi materialistik telah menempatkan elit penguasa yang dipilih oleh para pemodal untuk menjalankan pemerintahan demi memperkuat kerajaan bisnisnya. Demi memuluskan nafsu materialistiknya, tidak tanggung-tanggung presiden lantas membuat Peraturan No. 114/2020, tentang edukasi dan literasi keuangan sebagai elemen penting bahwa segmen pelajar/santri dan masyarakat sekitar pondok pesantren merupakan sasaran prioritas dalam peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Hal ini tertuang dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).
Diakui oleh Penasehat DWP Kementerian Agama RI Eny Retno Yaqut Cholil bahwa kemandirian pesantren menjadi program utama Kemenag karena strategis dan realistis. Pertimbangannya karena pesantren memiliki sumber daya manusia yang melimpah, dimana jumlah santri di Indonesia mencapai 4,4 juta orang yang tersebar di 37.626 pondok pesantren. Menurut Eny, dengan komitmen pemerintah membentuk Badan Usaha Milik Pesantren, yang pada 2024 mendatang ditargetkan terbentuk 3500 BUMPes. Tahun ini 500 pesantren menerima bantuan inkubasi bisnis, dan terus berkembang pada tahun depan. (PortalBerita, 23/11/2022)
Dengan jumlah sumber daya manusia pesantren yang fantastis, nafsu materialistik para pemodal kian menggila untuk memanfaatkan pesantren demi melanggengkan tujuannya. Keseriusan pemerintah membentuk BUMPes dan memberikan bantuan inkubasi bisnis kepada pesantren adalah bukti nyata menumbalkan potensi santri.
Masifnya gerakan yang diaruskan oleh penguasa tersebut, juga tak lain tujuannya demi menutupi performa ekonomi yang sedang memburuk. Ibarat negara yang diposisikan sebagai perusahaan (korporasi), yang bekerja demi keuntungan para korporat (pemodal kuat). Walhasil, negara tidak akan pernah berpihak pada hajat rakyat. Jangankan bermimpi sejahtera, sekadar mendapatkan haknya sebagai rakyat yang layak mendapatkan subsidi, memperoleh pengembalian penjualan keuntungan sumber daya alam, atau sekadar mendapatkan rasa aman saja, sulit didapatkan dalam negara korporasi.
Dengan iming-iming bantuan inkubasi bisnis dan label mujahid ekonomi, seolah santri sedang naik performanya menjadi pejuang. Padahal di balik label mujahid ekonomi, ada banyak kepentingan global yang justru akan merusak tujuan mulia pesantren. Santri pun dibuat sibuk bekerja untuk keuntungan para pemodal. Yang pada akhirnya aktivitas utama para santri pun tergerus, tidak lagi fokus dengan jati dirinya sebagai cikal bakal ulama yang akan berdiri di garda terdepan membela agama Islam.
Harapan santri adalah penerus estafet dakwah Rasulullah saw. demi kebangkitan umat dan membumi hanguskan paham-paham liberalisme. Aktivitas utama santri ini dipastikan akan lenyap seiring dengan munculnya mujahid ekonomi arahan kapitalisme.
Sangat disayangkan banyak kiai pesantren ikut tergoda dengan ide-ide yang sumbernya tidak jelas bahkan menyesatkan. Seperti beberapa pesantren yang tergabung dalam Pospenas IX ikut memeriahkan UMKM dari Jawa Tengah dan luar provinsi, dimana pesan pentingnya mendorong santri berwirausaha. Pesan ini sejalan dengan harapan Wapres K.H Ma’ruf Amin yang meminta santri menjadi “Gus Iwan” yakni santri bagus, pinter ngaji, dan juga usahawan. Menurutnya, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan dan dakwah melainkan juga pusat pemberdayaan ekonomi. (situs Waspresri, 22/10/2020)
Sudah seharusnya para ulama, terutama ulama yang ditokohkan oleh pesantren, tidak ikut-ikutan dengan undang-undang arahan kapitalis. Karena jika demikian maka yang akan terjadi adalah kerusakan. Sebab tata kelola yang serba kapitalistik hanya akan membajak potensi berharga umat Islam, terlebih bagi ulama dan santri.
Jalan keluar yang pasti akan menemui solusi adalah kembali ke syariat Islam kaffah. Karena dengan kembali ke syariat Islam, semua akan terarah dan tersistematis tanpa ada campur tangan manusia dalam membuat undang-undang.
Merupakan kesesatan yang nyata, apabila ada orang yang mengaku dirinya muslim namun mengingkari sebagian syariat Islam dari realitas kehidupan, seperti membuat undang-undang sesuai kepentingannya. Al-Qur’an dengan tegas mengecam sikap semacam ini, firman Allah SWT:
اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ فَمَا جَزَاۤءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ
“Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 85)
Maka seorang muslim tidak terkecuali pemimpin, dituntut masuk ke dalam Islam secara keseluruhan tanpa ada upaya memilih maupun memilah sebagian hukum Islam untuk diamalkan. Sebagaimana dalam Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Inilah fondasi umat Islam dalam menjalani hidup dan menyelesaikan segala problem hidup manusia. Hal ini sudah merupakan pemahaman dasar bagi para santri di pondoknya, sehingga jika terjebak pada istilah mujahid ekonomi yang dilekatkan pada santri dan mereka terima, berarti ada yang salah dalam kurikulum pembelajarannya. Semoga belum terlambat untuk bertobat kembali ke syariat Islam kaffah.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]