Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Kesetaraan perempuan dan laki-laki di kehidupan sosial kembali dipersoalkan. Syariat Islam digugat, sementara pesantren dituding sebagai tempat yang menumbuhsuburkan ajaran-ajaran Islam yang bias gender. Bahkan kitab kuning disebut-sebut telah melanggengkan subordinasi perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai makhluk yang separuh harga dibanding laki-laki. Demikian yang dinyatakan baru-baru ini oleh Masdar F. Mas’udi dalam kritiknya terhadap kitab kuning.
Dalam artikel yang diunggah di situs resmi Mubadalah.id, Masdar menyatakan bahwa pandangan kitab kuning terhadap posisi perempuan, dilingkupi oleh beberapa faktor. Di antaranya ajaran Al-Qur’an dan hadis tidak mempunyai pretensi untuk menyejajarkan perempuan dan laki-laki. Di dalam kehidupaan sosial, menurut Masdar, kitab kuning memandang perempuan sebagai makhluk yang separuh harga dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini terlihat dalam berbagai ketentuan fikih yang ada pada sebagian mazhab.
Selanjutnya Masdar memberikan contoh bahwa dalam Islam setiap orang tua, sunah untuk menyembelih hewan akikah untuk anaknya yang baru lahir. Bagi laki-laki dua ekor kambing, sedangkan bagi perempuan cukup satu ekor kambing. Kemudian dalam kesaksian, dua orang perempuan sederajat dengan nilai kesaksian satu orang laki-laki. Bahkan dalam pembagian warisan, perempuan mendapatkan separuh dari jumlah yang didapatkan laki-laki, dan lain-lain.
Pandangan kitab kuning terhadap posisi perempuan oleh Masdar dianggap bias gender itu, karena dilingkupi oleh beberapa faktor. Pertama, ajaran Al-Qur’an dan hadis sendiri tidak punya pretensi untuk menyejajarkan perempuan dan laki-laki. Kedua, semua penulis kitab kuning hampir semuanya laki-laki dan kitab kuning sendiri adalah produk budaya zamannya. Yaitu zaman pertengahan Islam yang terdominasi oleh cita rasa budaya Timur Tengah. Secara keseluruhan memang sangat laki-laki (bias patriarki).
Pandangan Khas Feminisme dan Feminis Muslim
Pernyataan-pernyataan Masdar F. Mas’udi tersebut sejatinya bukan hal baru. Klaimnya sangat khas ala feminisme. Sarat dengan spirit perjuangan keadilan gender. Karena feminisme sebagai ruh gerakan perempuan, memang diartikan sebagai “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut” (Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995, hlm.5, dalam tulisan Muhammad Shiddiq Al Jawi, Menyoal Feminisme dan Gerakan Perempuan).
Kritik Masdar pun sangat kental dengan paradigma feminis muslim. Persis seperti yang dinyatakan oleh Yuhanar Ilyas dalam bukunya Feminisme dalam Kajian Tafsir Al–Qur’an Klasik dan Kontemporer. Disebutkan bahwa seorang feminis muslim, selain memiliki kesadaran terhadap ketidakadilan gender yang menjadi benang merah pengikat semua paham feminisme, dia haruslah beragama Islam dan mempersoalkan ajaran Islam. (Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al–Qur’an Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm.55-56)
Saat ini para feminis muslim lebih sering mengkampanyekan ide-ide feminisme dan kesetaraan gender dengan menggunakan narasi lebih soft, bahkan dengan istilah-istilah yang tampak Islami. Mereka mempopulerkan istilah mubadalah, pola relasi kesalingan antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh KH. Husein Muhammad, kyai yang aktif memperjuangkan keadilan gender dalam perspektif Islam, dalam situs resmi Mubadalah.id, bahwa “Pola relasi kesalingan tersebut hanya bisa kita jalankan manakala kehidupan bersama ini memiliki dasar pada prinsip kesetaraan dan keadilan, bukan dominasi dan subordinasi satu atas yang lain”. Dia juga menyatakan “Maka perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender dimaksudkan sebagai dasar dan jalan menuju terciptanya hubungan mubadalah, kesalingan (resiprokal) antara laki-laki dan perempuan dan antar manusia, dan dalam berbagai aspek kehidupan”
Jika kita telaah, setidaknya ada dua prinsip dasar yang menjadi landasan cara pandang feminis muslim tersebut, yaitu: Pertama, ide dasar yang diyakini oleh feminis muslim adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Yaitu adanya pola relasi kesalingan atau mubadalah antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Syeikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya An Nizham Al Ijtima’i fil Islam, bahwa substansi ide feminis muslim adalah menjadikan kesetaraan (al musawah/equality) sebagai batu loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan. Dengan kata lain, feminisme itu ide dasarnya adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Sementara ide cabangnya adalah kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan ide kesetaraan dan keadilan gender itulah, para feminis muslim menggugat sejumlah ajaran Islam yang dianggap bias gender. Mereka berkehendak membatalkan dan mengganti sejumlah ide, ajaran, dan hukum Islam yang dianggap tidak sesuai dengan spirit kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Tentu saja mereka tidak secara langsung menggunakan kata membatalkan atau mengganti hukum Islam. Mereka mengetahui hal itu akan berujung pada penolakan keras dari umat. Maka mereka berupaya menyerukan adanya koreksi, pelurusan, atau penafsiran ulang terhadap sejumlah hukum dalam Islam.
Jadi pantas saja jika kemudian Masdar F. Mas’udi menuduh kitab kuning menghina perempuan dalam kehidupan sosial, karena telah memposisikan perempuan sebagai makhluk separuh harga dari laki-laki. Bahkan menuding Al-Qur’an dan hadis tidak mempunyai pretensi untuk menyejajarkan laki-laki dan perempuan. Al-Qur’an dan hadis yang merupakan sumber hukum Islam mereka posisikan telah bias gender dan tidak adil terhadap perempuan. Sejumlah hukum Islam (seperti hukum waris 2:1, kesaksian 2 perempuan setara 1 laki-laki, ketetapan jumlah hewan akikah laki-laki 2 dan perempuan 1, hukum kebolehan poligami bagi laki-laki, hukum sunat, hukum wajibnya iddah pada perempuan, hukum terkait imam salat, dan sebagainya), mereka anggap keliru, atau telah ditafsirkan keliru, sehingga perlu diluruskan dan ditafsirkan ulang oleh para feminis muslim. Sungguh sebuah kelancangan terhadap syariat Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, para feminis muslim menggunakan metode berpikir historis sosiologis dalam memahami nas-nas syarak. Metode ini mengasumsikan bahwa kondisi sosial masyarakat adalah induk yang melahirkan berbagai aturan. Dengan kata lain, kondisi masyarakat adalah sumber hukum. Lahirnya suatu hukum pasti dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Dengan logika ini, mereka menyatakan bahwa jika konteks sosial masyarakat berubah, maka peraturan, ajaran, dan hukum pun turut berubah. Jadi misalnya, jika dulu hukum waris ditetapkan 2:1 (laki-laki 2 bagian, perempuan 1 bagian), itu karena kondisi sosial masyarakat di masa itu memang menganggap perempuan hanya ada di wilayah privat (di dalam rumah). Namun kini kondisi sosial masyarakat telah lebih terbuka. Dan faktanya banyak perempuan yang berkarir serta bekerja di luar rumah. Bahkan banyak perempuan yang justru menjadi tulang punggung keluarga dan harus menafkahi diri dan keluarganya. Maka menurut logika feminis muslim, penetapan hukum waris perlu dan harus ditafsirkan ulang, demi terwujudnya keadilaan dan kesetaraan gender. Demikian pula dengan sejumlah hukum Islam lainnya yang mereka anggap bias gender, harus ditafsirkan ulang.
Para mufassir dan mujtahid yang melakukan istimbath hukum-hukum Islam, serta para ulama penyusun kitab kuning pun, mereka anggap bias gender. Karena terpengaruh oleh budaya patriarki yang mendominasi masyarakat tempat para ulama itu hidup. Kondisi itulah yang menurut feminis muslim telah melanggengkan ketidakadilan gender terhadap perempuan, sehingga butuh adanya penafsiran ulang terhadap kitab-kitab turats. Sungguh ini sebuah tuduhan keji dan su’ul adab terhadap ulama salafush salih.
Islam Menolak Feminisme
Feminisme, ide keseteraan dan keadilan gender, ide pola relasi mubadalah atau kesalingan antara laki-laki dan perempuan, atau apapun narasi serta istilah yang melingkupinya, jelas tertolak secara syar’i dan bertentangan dengan pandangan Islam, karena beberapa alasan yaitu:
Pertama, feminisme sejatinya tidak memiliki akar sejarah dalam peradaban Islam. Feminisme lahir dalam konteks sosio-historis khas di negara-negara Barat pada sekitar abad 19-20 M. Yaitu saat para perempuan mengalami ketertindasan akibat sistem masyarakat Barat yang liberal sekuler kapitalistik. Sistem tersebut telah mengeksploitasi kaum perempuan dengan sedemikian rupa dan menempatkan perempuan sebagai warga kelas kedua yang terpinggirkan secara sosial. Tidak ada keadilan dan kemuliaan yang didapati oleh para perempuan di masa itu. Jadi ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan tersebut, tidak terjadi dalam masyarakat Islam. Bahkan sama sekali bukan karena penerapan sistem Islam. Maka mentransfer ide feminisme serta perjuangan kesetaraan dan keadilan gender ke tengah kehidupan umat Islam adalah generalisasi sosiologis yang dipaksakan dan sama sekali tidak sesuai dengan fakta sejarah. Sistem hidup yang liberal sekuler kapitalistiklah yang menyebabkan ketertindasan dan jauhnya kaum perempuan dari rasa keadilan, sejak dulu hingga kini.
Kedua, feminisme bersifat sekularistik. Yaitu ide yang lahir dari akidah sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Wajar jika kini ide feminisme pun disuarakan juga oleh kalangan moderat saat mereka mengkampanyekan ide-ide moderasi beragama yang rusak dan menjauhkan umat dari Islam kafah. Karena nyatanya feminisme dan moderasi beragama terlahir dari rahim yang sama, yaitu akidah sekuler. Warna sekularistik ini sangat tampak saat feminis muslim mengajukan solusi-solusi pada persoalan yang ada. Yang sama sekali tidak bersandar pada dalil syar’i. Mereka memandulkan peran Allah sebagai Musyarri’ (Sang Pembuat Hukum), dan menjadikan akal manusia sebagai pembuat hukum. Ini jelas bertentangan dengan firman Allah Swt. “.. Siapa saja yang tidak memberikan keputusan (hukum) dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir”. (QS. Al Maidah: 44)
Kalaupun para feminis muslim mencoba melengkapi seruan ide-idenya dengan dalil-dalil syar’i sejatinya mereka tidak benar-benar menjadikannya sebagai dasar ajaran feminisme. Karena yang terjadi adalah mereka mengadopsi ide serta asumsi feminisme secara murni, lalu mencari-cari ayat atau hadis yang kira-kira pas untuk melegitimasi pandangan dan asumsinya. Jika ternyata ada ayat atau hadis yang mereka pandang tidak sesuai dengan konsep kesetaraan gender atau pola relasi mubadalah yang mereka anut secara fanatik akut, maka ayat atau hadis itu harus diubah maknanya, dikoreksi, diluruskan, bahkan ditafsirkan ulang supaya cocok dengan pandangan dan asumsi mereka. Jelas ini sebuah kelancangan dan bentuk pemerkosaan dalil syarak sesuai selera akal mereka.
Ketiga, para feminis muslim menggunakan metode historis-sosiologis dalam memahami nas-nas syarak. Pola berpikir ini khas kaum modernis Barat. Dengan metode ini, mereka menjadikan realitas masyarakat sebagai sumber dalam penetapan hukum. Jelas ini sangat keliru. Karena dalam pandangan Islam, sumber hukum itu hanyalah wahyu yang termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis, bukan realitas masyarakat. Adapun realitas masyarakat adalah objek hukum yang kepadanya akan diterapkan hukum syarak dalam Al-Qur’an dan hadis. Oleh karenya, hukum Islam sama sekali tidak memerlukan penafsiraan ulang sebagaimana yang diserukan feminis muslim. Karena selama manathul hukmi (fakta yaang menjadi obyek hukum) di masa sekarang sama dengan yang terjadi di masa Rasulullah saw. dan sahabat beliau, hukum tertentu untuk suatu masalah tertentu tidaklah berbeda. Dan kalaupun ada manathul hukmi yang belum ada pada masa sebelumnya, maka yang wajib dilakukan adalah ijtihad syar’i untuk menggali (istimbath) hukum baru bagi masalah baru. Bukan dengan mengubah hukum yang ada supaya sesuai dengan realitas masyarakat. Jadi, pembatalan dan penggantian hukum seperti yang dilakukan feminis muslim itu, sesungguhnya bukanlah ijtihad syar’iy, tapi merupakan bentuk kelancangan terhadap hukum-hukum Allah Swt.
Keempat, feminis muslim telah gagal memahami kehendak syariat Islam dalam persoalan posisi serta hak dan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Mereka berasumsi bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan secara otomatis akan mewujudkan kesetaraan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan. Ini asumsi yang keliru, dan sarat dengan cara berpikir logika (mantiq) yang sama sekali tidak berlandaskan dalil syar’i. Karena fakta syariat Islam, telah memiliki pandangan yang khas dan istimewa tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pengaturan yang sempurna tentang hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dan Perempuan Setara di Hadapan Syariat Islam
Islam sebagai agama sekaligus ideologi (way of life), memiliki seperangkat hukum syarak yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sekaligus mampu memberikan solusi mendasar dan menyeluruh bagi seluruh persoalan kehidupan manusia. Karena Islam sejatinya sebuah sistem kehidupan yang seluruh aturannya terpancar dari akidah Islam. Demikian juga terkait dengan kesetaraan serta hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, Islam punya aturan yang sangat jelas tentangnya.
Benar bahwa Islam memandang laki-laki dan perempuan itu setara. Dan benar pula bahwa secara umum, Allah Swt. telah memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan perempuan sebagai hamba-Nya. Oleh karena itu, Islam memberikan taklif syar’i (beban hukum) yang sama antara laki-laki dan perempuan. Misalnya dalam hal wajibnya salat, puasa, zakat, haji, amar makruf nahi munkar, menuntut ilmu, berbakti pada orang tua, dan sebagainya. Dan ini adalah ketentuan secara ‘aam (umum) yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
Namun, Islam telah menetapkan takhshish (pengkhususan) dari hukum-hukum yang bersifat ‘aam tersebut, ketika ada dalil syarak yang mengkhususkan suatu hukum hanya untuk laki-laki saja atau hanya untuk perempuan saja. Dan hukum-hukum khusus itu semata-mata karena ada ketentuan takhshish yang telah dijelaskan oleh dalil syarak. Sehingga dapat dipahami secara benar dan memuaskan ketika syariat Islam menetapkan hukum khusus bagi pakaian perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Atau ketentuan waris yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Juga hukum-hukum terkait kewajiban nafkah dan hak perwalian khusus bagi laki-laki. Sementara hukum tentang kehamilan, penyusuan (rodho’ah), dan pengasuhan anak (hadlonah) khusus bagi perempuan. Hak menjatuhkan talak khusus bagi laki-laki, sementara kewajiban iddah khusus bagi perempuaan, ketentuan persaksian 1 laki-laki setara dengan 2 perempuan, dan sebagainya. Semua penetapan hukum khusus tersebut semata-mata berdasarkaan ketetapan hukum syarak. Bukan karena persoalan superioritas, dominasi, ketidaksetaraan atau subordinasi seperti yang dituduhkan oleh feminis muslim. Bukan pula karena para mufaasir, mujtahid dan ulama penyusun kitab kuning telah terpapar bias gender seperti yang dituduhkan secara su’ul adab oleh feminis muslim.
Dan satu hal lagi yang harus digarisbawahi, bahwa penetapan hukum-hukum khusus tersebut, sama sekali tidak bermakna adanya penghinaan satu pihak kepada pihak lainnya. Tidak juga berarti ada pelanggengan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Sehingga kemudian Al-Qur’an dan hadis dianggap telah menghinakan perempuan karena tidak punya pretensi menyejajarkan laki-laki dan perempuan, bahkan memposisikan perempuan sebagai makhluk separuh harga dibandingkan laki-laki. Sebagaimana yang diilusikan oleh feminis muslim. Sungguh mereka telah gagal memahami kehendak syariat Islam dalam menuntun laki-laki dan perempuan menuju kemuliaan hidupnya.
Karena sesungguhnya, kemuliaan seorang hamba tidak dinilai dari jumlah (kuantitas) amalnya. Tapi kemuliaan itu ditentukan oleh kualitas ketakwaannya. Laki-laki ataupun perempuan, selama dia mukmin dan telah menyempurnakan pelaksanaan seluruh taklif syarak yang telah Allah Swt. tetapkan baginya (baik taklif ‘aam sebagai hamba, atau taklif khash sebagai perempuan atau laki-laki), maka dia adalah hamba yang bertakwa. Dan takwa itulah yang akan menjadikan mereka, baik laki-laki atau perempuan, menjadi mulia dalam pandangan Islam.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (QS. Al Hujurat: 13)
Allah Swt. juga menegaskan bahwa Dia menguji hamba-Nya siapakah di antara hamba-hamba itu yang ahsanu ‘amala (paling baik amalnya), bukan aktsaru ‘amala (paling banyak amalnya). Artinya yang Allah Swt. nilai dari mukmin adalah tingkat ihsan (kebaikan) amalnya, yaitu kualitas amalnya. Bukan kuantitas amalnya.
“(Allah) yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Al Mulk: 2).
Dan kebaikan yang dimaksudkan disini adalah setiap amal yang baik menurut Allah Swt. Yakni amal yang sesuai dengan ketentuan hukum syarak berdasarkan nash-nash dalam Al-Qur’an dan hadis. Demikian pula apa-apa yang terkait dengan peran, posisi, hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan mukmin tidak akan mendefinisikan peran, posisi, hak dan kewajiban mereka berdasarkaan kesetaraan, kemanfaatan, atau keinginaan hawa nafsu mereka sendiri. Melainkan hanya berdasarkan ketetapan Allah Swt. Perempuan muslimah pun tidak akan mengukur kesuksesan dan kemuliannya dengan membandingkan dirinya dengan laki-laki beserta peran, hak dan kewajibannya. Tetapi muslimah akan mengukur kesuksesan dan kemuliaan dirinya, berdasarkan bagaimana Allah Swt. memandangnya sesuai dengan ketentuan pemenuhan kawajiban-kewajibannya secara sempurna.
Justru dalam masyarakat Islam, laki-laki mukmin dan perempuan mukmin akan saling bekerja sama, saling menolong dan mendukung satu sama lain, untuk sama-sama menyempurnakan berbagai kewajiban, peran dan tugas masing-masing, baik dalam keluarga dan masyarakat, demi mewujudkan kebaikan bagi umat dengan terwujudnya kehidupan peradaban Islam yang maju yang akan menebarkan rahmatan lil alamin dengan penerapan syariat Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Maka jelaslah, bahwa tuduhan miring feminis muslim tentang kitab kuning yang menjadikan perempuan sebagai makhluk separuh harga dibandingkan laki-laki, adalah tuduhan yang keliru. Sama sekali tidak memiliki dalil syar’i.Dan dapat dikategorikan sebagai sikap su’ul adab terhadap para ulama, serta sebuah kelancangan terhadap syariat Islam. Mukmin sejati wajib menolaknya. Karena pertentangannya dengan ketentuan syariat Islam, serta bahaya tersembunyi dari ide kesetaraan gender atau pola relasi mubadalah yang diusung feminis muslim bagi umat. Yakni dapat menjauhkan umat dari pemikiran dan hukum-hukum Islam yang lurus. Dan dapat menggerus sikap iqna’ umat terhadap syariat Islam. Yang pada akhirnya akan menghilangkan kehendak dan kerinduan umat untuk bangkit, membangun kembali peradaban Islam dalam naungan Khilafah. Peradaban besar dan agung yang akan melindungi dunia dari berbagai kerusakan, yang akan memimpin dunia dengan menerapkan Islam kaffah, serta melangsungkan dakwah dan jihad ke seluruh dunia. Wallahu a’lam bishshawab. (SM/mly)