Berislam Secara Kafah Sesuai Tuntunan Nabi

Oleh: Ummu Zahwa Salsabila

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Tuduhan miring yang mengerdilkan kemampuan sistem Khilafah dalam menyelesaikan problem sosial masyarakat dan penegakkan hukum di tengah masyarakat modern saat ini, kembali dilontarkan. Kali ini oleh seorang mahasiswi magister sebuah universitas negeri ternama di negeri ini. Di satu sisi ia mengakui berislam kafah itu wajib. Namun di sisi lain ia menyeru untuk menolak berislam kafah ala aktivis Khilafah. Lalu bagaimana seharusnya seorang Muslim memandang hal ini? Dan berislam kafah seperti apa yang seharusnya diikuti oleh setiap Muslim?

Masuk Islam Secara Kafah

Islam adalah agama yang syâmil (menyeluruh/meliputi segala sesuatu) dan kâmil (sempurna). Sebagai agama yang syâmil, Islam menjelaskan semua hal dan mengatur segala perkara, mulai akidah, ibadah, akhlak, makanan, pakaian, muamalah, uqûbât (sanksi hukum), dan lain-lain. Tak ada satu perkara pun yang luput dari pengaturan Islam. Hal ini telah Allah Ta’ala tegaskan di dalam Al-Quran.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ

Kami telah menurunkan kepada kamu Al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu” (QS. an-Nahl [16]: 89).

Islam pun merupakan agama yang kâmil (sempurna), tidak sedikit pun memiliki kekurangan. Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian (Islam), telah Aku cukupkan atas kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagi kalian“. (QS. al-Maidah [5]: 3)

Setiap Muslim yang mengaku beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ dituntut untuk menerapkan syariat Islam secara kafah dalam kehidupannya. Hal ini sebagai bukti keimanannya. Allah Ta’ala menegaskan dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara kafah (total), dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian“. (QS. al-Baqarah [2]: 208)

Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Salam dan teman-temannya dari kalangan Yahudi yang sudah masuk Islam. Namun mereka masih mengagungkan hari Sabtu dan tidak mau makan daging unta. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan, maka biarkan kami tetap menjaga perintah hari Sabtu. Taurat adalah kitabullah, maka biarkan kami mengamalkan ajarannya pada malam hari,” maka turunlah ayat di atas.

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Allah Swt. menyeru para hamba-Nya yang mengimani-Nya serta membenarkan Rasul-Nya ﷺ untuk mengambil seluruh ajaran dan syariah Islam; melaksanakan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan seluruh larangan-Nya sesuai dengan kemampuan mereka.” (Ibn Katsir, 1/335).

Meneladani Nabi ﷺ dalam Berislam Kafah

Dalam berislam kafah, seorang muslim wajib mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan Allah Swt. Dia telah mengutus Nabi Muhammad ﷺ yang membawa petunjuk berupa risalah Islam untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Ada sebab kuat mengapa Allah Swt. mengutus Nabi ﷺ, di antaranya adalah untuk memberikan keteladanan yang paripurna bagi umat manusia. Pribadi Nabi ﷺ seluruhnya adalah kebaikan untuk semua bidang kehidupan. Akidah, ibadah, makanan, pakaian, akhlak, pidana, dan muamalah, termasuk dalam kepemimpinan dan pemerintahan yang beliau jalani penuh dengan keteladanan. Allah Swt. berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir serta banyak menyebut Allah“. (QS.al-Ahzab [33]: 21)

Sepatutnya kaum Muslim menjadikan Nabi ﷺ sebagai satu-satunya contoh kebaikan. Juga berusaha merealisasikan keteladanan beliau dalam menjalani hidup dan menata kehidupan, termasuk dalam berislam kaffah. Nabi ﷺ telah menjalankan Islam secara kafah (total) dalam kehidupannya. Dengan itu, setiap Muslim diharapkan bisa meraih keselamatan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat. Allah Swt. berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja yang Rasul berikan kepada kalian, terimalah. Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukuman-Nya” (QS. al-Hasyr [59]: 7)

Topik pembicaraan ayat ini berkenaan dengan harta ghanîmah dan fay’ (harta rampasan perang). Namun demikian, sebagaimana penjelasan Imam az-Zamakhsyari (w. 538 H), makna ayat ini bersifat umum, meliputi segala yang Rasul ﷺ berikan dan segala yang beliau larang, termasuk di dalamnya perkara fay’ (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/503).

Dari sini jelaslah, setiap Muslim harus total menjadikan Nabi ﷺ sebagai panutan dan suri teladan dalam segala aspek kehidupan, baik aspek individu, keluarga, masyarakat, bahkan negara. Terkecuali hal-hal yang menjadi kekhususan bagi beliau saja (khawâsh al-Rasûl) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama ushul. Dalam perkara akidah, Nabi ﷺ menanamkan tauhid dan menghapuskan kesyirikan dari kehidupan masyarakat Makkah, menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah yang biasa disembah kaum Kafir Quraisy. Beliau pun menanamkan sikap beriman kepada malaikat, nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad ﷺ, kitab-kitab rasul sebelumnya, juga beriman kepada hari kiamat.

Nabi ﷺ pernah bertanya kepada Mu’adz, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba dan hak hamba atas Allah? Maka Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Lalu Rasul bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sedangkan hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan menyiksa hamba yang tidak mepersekutukan-Nya dengan sesuatu apapunapapun”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam beribadah, Nabi ﷺ adalah orang yang paling keras mujâhadahnya. Padahal beliau adalah sosok yang maksum (terbebas dari dosa) dan dijamin masuk surga. Mujâhadah beliau dalam beribadah itu agar beliau menjadi hamba yang bersyukur. Dalam satu riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi Muhammad ﷺ mengerjakan salat malam. Di dalam salat, lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat shalatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar suara tangisnya. Namun ia tetap melakukan salat sampai adzan Bilal bin Rabbah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi ﷺ demikian tekun melakukan salat, Aisyah bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang telah diampuni Allah? Nabi ﷺ menjawab: “Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam berakhlak, Nabi ﷺ adalah pribadi yang paling mulia. Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebut akhlak beliau adalah Al-Qur’an. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun”. (HR. Ahmad)

Nabi ﷺ pun paling baik dalam berkeluarga dan memperlakukan istri-istrinya. Beliau pun teladan terbaik dalam bertetangga, bergaul, berteman, dan bermuamalah. Nabi ﷺ bersabda:

خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلي

Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku”. (HR. Ibnu Majah)

Hadis ini dapat dimaknai bahwa sebaik-baik laki-laki adalah yang terbaik sikapnya terhadap istri. Dan Nabi adalah laki-laki terbaik dalam memperlakukan istri. Nabi pun tak segan untuk mengerjakan tugas rumah tangga agar tidak memberatkan istrinya. Seperti yang diriwayatkan, “Seseorang bertanya kepada Sayyidah ‘Aisyah raadhiyallahu ‘anha: Apakah Nabi ﷺ juga bekerja di rumah? Sayyidah ‘Aisyah menjawab: Ya, Nabi ﷺ itu (di rumah) menggosok sandalnya sendiri, menjahit bajunya sendiri, dan mengerjakan sesuatu di rumah sebagaimana kalian bekerja di rumah.” (HR. Ahmad)

Dalam urusan makanan, Nabi ﷺ sama sekali tidak pernah mengeluh dan mencela makanan, meskipun rasanya tidak sesuai selera. Diriwayatkan bahwa, “Rasulullah ﷺ sama sekali tidak pernah mencela makanan. Jika menyukai beliau memakannya. Dan jika tidak suka, beliau tinggalkan“. (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga diriwayatkan bahwa, ”Nabi ﷺ menanyakan lauk kepada keluarganya. Dan mereka menjawab, ‘Kami tidak punya apa-apa selain cuka’. Lalu beliau meminta cuka dan makan dengan cuka. Kemudian beliau berkata ‘Lauk yang paling enak adalah cuka”. (HR Muslim)

Aspek keteladanan Nabi ﷺ lainnya yang sangat penting diaktualisasikan saat ini adalah teladan beliau dalam kepemimpinan bernegara, berpolitik dalam dan luar negeri, menjalankan pemerintahan, menerapkan hukum dan menyelesaikan persengketaan, serta membangun peradaban. Saat hal ini diaktualisasikan di tengah kehidupan manusia modern saat ini, akan mampu menyelesaikan berbagai problem yang mendera manusia, sekaligus membawa pada kehidupan yang dipenuhi ketenteraman, keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan. Bagi setiap Muslim, selain hal itu  sebagai solusi, juga sebagai bukti keimanan terhadap Islam yang Rasul ﷺ bawa, dan kewajiban untuk menerapkannya dalam kehidupan.

Nabi Muhammad ﷺ bukan hanya pemimpin spiritual (za’îm rûhi), tetapi juga pemimpin politik (za’îm siyâsi). Dalam konteks saat ini, beliau dapat disebut sebagai pemimpin negara (ra’îs ad-dawlah). Allah Swt. berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk ditaati dengan izin Allah“. (QS. an-Nisâ [4]: 64)

Ayat ini menegaskan bahwa kehadiran Nabi ﷺ tidak sebatas penyampai risalah semata. Beliau sekaligus juga pemimpin yang wajib untuk ditaati setiap perintah dan larangannya. Hal ini ditegaskan dalam ayat selanjutnya, bahwa di antara bukti kesempurnaan iman adalah menjadikan Nabi ﷺ sebagai hakim. Dan keputusan beliau diterima tanpa ada keberatan sedikit pun. Sepeninggal Nabi ﷺ, hal itu adalah dengan menjadikan syariah sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara (lihat: QS an-Nisâ [4]: 65).

Nabi ﷺ adalah satu-satunya insan yang berhasil membangun peradaban manusia yang mulia. Di tengah-tengah kompetisi Kekaisaran Romawi dan Kerajaan Persia, Nabi Muhammad ﷺ berhasil mengangkat harkat-martabat bangsa Arab dan umat manusia menuju peradaban yang sama sekali baru. Bangsa Arab dan umat manusia pada umumnya kala itu tenggelam dalam kubangan lumpur peradaban jahiliah. Di bidang keyakinan/akidah masyarakat tenggelam dalam takhayul, khurafat, dan syirik. Bidang sosial dipenuhi oleh lautan syahwat yang merendahkan dan menindas kaum perempuan. Di bidang perekonomian, praktik tipu-menipu dan riba merajalela. Bidang politik dan pemerintahan didominasi oleh kelas borjuis atau tunduk pada penindasan Imperium Romawi.

Nabi ﷺ berhasil mengubah mereka menjadi masyarakat yang bertauhid, berhukum hanya pada hukum Allah Swt. berakhlak luhur, menjalankan muamalah secara jujur dan amanah, serta memiliki sistem pemerintahan yang kokoh dan sukses menciptakan keadilan. Peradaban itu lalu dilanjutkan oleh para khalifah setelah beliau, yakni Khulafaur Rasyidin dan para khalifah sesudahnya. Mereka sukses menyebarluaskan Islam hingga menguasai 2/3 dunia. Peradaban inilah yang dikagumi oleh bangsa Barat. Di antaranya oleh Raymound Leruge, seorang tokoh Katolik terkemuka. Dia mengagumi Muhammad ﷺ bukan sebagai nabi, tetapi sebagai seorang pemimpin yang berhasil melakukan perubahan total (revolusioner) dan membangun suatu negara yang berkeadilan.

Dalam bukunya, La Vie De Mahomet, dia menulis: “Dalam kenyataannya, ia (Muhammad ﷺ) adalah promotor revolusi sosial dan revolusi internasional yang pertama. Ia meletakkan dasar-dasar suatu negara yang disiarkan ke seluruh dunia, yang semata-mata hanya menjalankan hukum keadilan dan kasih sayang. Ia mengajarkan persamaan di antara seluruh manusia serta kewajiban untuk saling menolong dan persaudaraan sedunia.”

Setelah hijrah ke Madinah, Nabi ﷺ mempersatukan kaum Anshar dan Muhajirin, menata Negara Islam di Madinah dengan menyusun Piagam Madinah (Watsiqah al-Madinah). Dengan itu semua elemen masyarakat selain kaum Muslim, seperti kaum Yahudi, dapat ditundukkan. Nabi ﷺ juga mengangkat sejumlah pejabat negara seperti para pembantu beliau dalam urusan pemerintahan, para gubernur, amil, juga panglima perang. Beliau menetapkan Abu Bakar ra. dan Umar bin Khaththab ra. sebagai pembantu dalam bidang pemerintahan (mu’awin). Beliau pun mengangkat Muadz bin Jabal ra. sebagai gubernur (wali) di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadhramaut, serta Abu Musa al-‘Asy’ari di wilayah Zabin dan ‘Adn. Untuk kesekretariatan pemerintahan, Nabi ﷺ di antaranya menunjuk Zaid bin Tsabit ra. sebagai sekretaris dan pemegang stempel beliau.

Di bidang ekonomi, Nabi ﷺ mengangkat Abdurrrahman bin Auf ra. sebagai pejabat yang mengurusi zakat unta, Bilal ra. menangani zakat buah-buahan, dan Muhmiyah bin Jaza’ Ra  mengurusi khumus. Beliau sendiri sering membagi-bagikan harta milik negara kepada yang berhak mendapatkannya. Di bidang militer beberapa kali Nabi ﷺ langsung memimpin peperangan yang disebut ghazwah. Tidak kurang Nabi ﷺ memimpin 27 kali peperangan. Beliau juga beberapa kali mengangkat sejumlah sahabat sebagai pimpinan pasukan ke medan perang yang disebut sarayah. Misalnya, dalam Perang Mu’tah diangkatlah tiga orang sahabat bergantian sebagai panglima perang; Ja’far bin Abi Thalib ra., Zaid bin Haritsah ra., dan Abdullah bin Rawahah ra. Ketiganya syahid dalam perang tersebut. Akhirnya, mereka digantikan oleh Khalid bin Walid ra.

Demikianlah, telah ada pada diri Nabi Muhammad ﷺ suri teladan yang baik dalam seluruh aspek kehidupan bagi seluruh umat manusia. Dan semua keteladanan Nabi ﷺ itu harus diteladani dan dijalankan secara kafah (totalitas), termasuk keteladanan dalam kepemimpinan. Meneladani kepemimpinan Nabi ﷺ bukan hanya meneladani beliau sebagai sosok pemimpin, tetapi juga meneladani dan merealisasikan sistem yang beliau gariskan dan contohkan, yaitu sistem Islam, melalui penerapan syariah Islam secara kafah (menyeluruh). Termasuk syariah Islam tentang Khilafah. Inilah sekilas gambaran berislam kafah sesuai tuntunan Nabi Muhammad ﷺ yang akan membawa kebaikan, keselamatan, keadilan, ketentraman, dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi siapa pun manusia yang menjalankannya, insya Allah. Wallahu a’lam bishshawab. (SM/mly)