Jati Diri Santri Hilang demi Kemandirian Ekonomi

  • Opini

Oleh: Zakiyah Amin

Suaramubalighah.com, Opini — Seiring dengan ancaman kondisi ekonomi bangsa ini, visi-misi pesantren mulai bergeser terutama pasca pandemi Covid-19. Kemandirian pesantren saat ini menjadi salah satu program prioritas Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Menteri Yaqut Cholil Qoumas. 

Kemandirian ini bermakna pesantren akan memiliki sumber daya ekonomi yang kuat dan berkelanjutan dalam menopang tiga fungsi, yaitu pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Dan santri menjadi ujung tombak dari program ini karena potensinya yang sangat besar. Kehidupan pesantren dan santri yang diidentikkan kumuh dan kuno, menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mengarahkan visi-misi pesantren dan santri pada program kemandirian ekonomi. 

Padahal, santri adalah generasi yang lahir dari pesantren yang memiliki visi diri yang kuat, motivasi tinggi, kegiatannya terprogram, dan strategi yang tepat demi bertugas menjaga agama. Mereka adalah generasi pembelajar dengan etos belajar yang lebih tinggi ketimbang orang lain pada umumnya. Di saat remaja lainnya sibuk dengan kehebohan dan hedonisme dunia, santri justru fokus memperdalam keilmuannya. Karena keilmuan bagi umat Islam sangat urgen untuk membangun peradaban mulia menjadi landasan pemahaman dan kesadaran bagi santri.

Rasulullah saw. dan para ulama pendahulu sudah terlebih dahulu mencontohkannya. Generasi muda sahabat Nabi senantiasa bersegera dan antusias untuk belajar serta mendengarkan ilmu. Salah seorang pemuda sahabat bernama Abdullah bin Al-Harits berkata: ”Aku orang pertama yang mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian buang air kecil menghadap kiblat.” Aku juga orang pertama yang meriwayatkannya kepada orang-orang.

Ini adalah gambaran sosok pemuda yang antusias dan bersegera dalam belajar serta mendengarkan ilmu. Maka sosok generasi seperti itulah yang diharapkan bisa memberikan perubahan bagi bangsa yang sedang mengalami kerusakan secara sistemik yang disebabkan karena mengesampingkan syariat Islam.

Kemandirian Ekonomi Membajak Potensi Santri

Pesantren adalah lembaga pendidikan bukan lembaga ekonomi. Penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab negara. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berkualitas secara gratis. Sebab pendidikan dalam pandangan Islam merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang bersifat publik.

Namun, penguasa yang dilahirkan oleh sistem demokrasi kapitalisme justru membajak potensi pesantren dan santri untuk menopang perbaikan ekonomi akibat kerakusan para kapitalis (pemilik modal dan oligarki). Peringatan Hari Santri Nasional pada Jumat 22 Oktober 2022 lalu yang digelar di Istana Negara Jakarta, Presiden Jokowi dalam pidatonya berharap pengembangan ekonomi syariah terus berjalan termasuk di kalangan santri. Ia berharap agar peran masyarakat ekonomi syariah diharapkan mampu melahirkan banyak wirausaha di kalangan santri yang akan menjadi penggerak perekonomian yang diterima berbagai kalangan.

Program kemandirian ekonomi ini akan mengalihkan santri yang tugas pokoknya adalah belajar memperdalam ilmu untuk menjaga agama, membangkitkan umat menerapkan syariat Islam kaffah, dan terdepan dalam amar makruf nahi mungkar terhadap segala kemaksiatan dan kezaliman, terutama kezaliman penguasa. Kini dimanfaatkan dan disibukkan untuk mengatasi problem kesenjangan ekonomi bangsa dengan program program usaha ekonomi, seperti program OPOP (One Pesantren One Product).

Di satu sisi, pesantren dan santri menjadi target diskriminasi, deradikalisasi, dan ekstrimis hingga islamofobia. Terbukti begitu banyak kasus yang terjadi, dan pesantren sering menjadi sasaran tudingan miring di banyak kasus tersebut dan menarik perhatian publik. Sehingga terbentuk opini negatif. Seperti kasus pelecehan seksual di Pondok Pesantren Shiddiqiyah Jombang dan kasus kekerasan di Pondok Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo, juga banyak kasus lainnya. Akhirnya muncullah tudingan miring tertuju kepada santri dan pesantrennya, ending-nya pesantren diisukan untuk dibubarkan. Padahal persoalan ini merata di mayoritas lembaga pendidikan dan lembaga lainnya akibat arus liberalisasi yang begitu dahsyat menerjang bangsa ini.

Santri Berdaya dengan Jati Diri Sebenarnya

Santri dengan segala potensinya, memiliki karakter siap berkorban, siap bertarung membela agama, dan menjadi komunitas yang bisa diandalkan. Tugas santri bukan sebagai entrepreneur, akan tetapi bertugas melakukan estafet dakwah di tengah masyarakat yang sudah terpapar budaya kapitalis liberal.

Seharusnya pada setiap peringatan Hari Santri tujuannya mengingatkan kembali akan kiprah  santri dan para ulama dalam melawan penjajah yang ketika itu terus berusaha mengancam kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamirkan, bukan membebani tugas sebagai penggerak perekonomian. 

Saatnya santri berdaya meningkatkan tsaqafah-nya sebagai amunisi untuk kemudian berdiri di garda terdepan menjaga agama dan martabat umat Islam. Urgensi pemberdayaan santri  dalam menjaga agama saat ini diharapkan lebih diprioritaskan, mengingat kondisi bangsa yang mengalami kekacauan dalam berbagai dimensi.

Penguasa secara sistematis ingin mengaburkan substansi tugas santri yang sebenarnya. Padahal sejatinya, santri dan para ulama terdahulu sudah susah payah bertaruh nyawa mengusir para penjajah dari wilayah Indonesia di bawah komando KH. Hasyim Asy’ari yang menyerukan resolusi jihad di kalangan pesantren di seluruh Indonesia pada tanggal 22 Oktober 1945.

Jika peran santri dialihkan, lalu siapa yang akan fokus menjaga agama ini. Sedangkan hanya   santri, aktivis dakwah, dan ulama yang fokus berperan secara strategis untuk mewujudkan kebangkitan umat. Sebab kita menyadari bahwa tantangan dan serangan dari sisi pemikiran menjadi tugas berat umat Islam saat ini. Umat dibuat bingung memilih dan memilah karena pengaruh pemikiran kapitalis liberal. Seruan moderasi terus digaungkan, umat dipaksa berpikir dan bertindak ala Barat. Pesantren difitnah dan bahkan agama Islam dituduh sebagai agama radikal.

Hari ini tingkah penguasa semakin terang benderang membenci Islam. Agenda global terus memaksakan tujuannya yaitu melemahkan Islam dari sisi pemikiran. Umat Islam yang pemikirannya lemah, tidak paham akan eksistensinya, maka akan terbawa arus liberalisme Barat.

Sehingga santri sebagai umat yang memiliki tsaqafah yang jelas diharapkan berdaya dalam mengentaskan pemikiran yang salah di tengah-tengah masyarakat yang plural, digempur oleh moderasi beragama sesuai arahan penjajah.

Santri saat ini sangat berkewajiban berdaya meluruskan pemahaman umat yang sudah terkontaminasi paham-paham liberal, tidak perlu memfokuskan diri dengan tugas yang akan merusak jati diri santri itu sendiri. Penguasa seharusnya mengurus rakyatnya sesuai dengan syariat Islam yang kaffah agar terwujud kemakmuran dan kesejahteraan pada rakyatnya. Kelola dan kembalikan kepemilikan sumber daya alam yang saat ini dikuasai pemilik modal (kapitalis oligarki) kepada rakyat dalam bentuk pelayanan kebutuhan pokok yang bersifat publik (pendidikan, kesehatan, dan keamanan) berkualitas dan gratis. Sebab hanya dengan syariat Islam yang kaffah kehidupan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur terwujud.

Dan pemimpin yang menjalankan syariat Islam yang kaffah akan mengasihi rakyatnya (terlebih santri yang menjadi tanggung jawabnya), bukan menyusahkannya. Karena mereka amanah dan takut pertanggungjawaban di yaumil qiyamah. Dan mereka pun senantiasa ingat dengan doa  Rasulullah saw. untuk pemimpin. “Ya Allah, barang siapa yang mengurus urusan umatku lalu dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia, dan sesiapa yang menguruskan perkara umatku, lalu dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia.” (Hadis Riwayat Muslim, Shahih Muslim, 9/351, no. 3407)

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]