Oleh: Kartinah Taheer
Suaramubalighah.com, Hadis — Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُعَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: اَلْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْـمَسَاجِدِ ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ ، فَقَالَ : إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: Imam yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, seorang yang hatinya bergantung ke masjid, dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan seseorang yang ber-shadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR. Al-Bukhari No. 1357 dan Muslim No. 1031)
Hadis ini juga diriwayatkan dalam At-Tirmidzi (no. 2391), An-Nasa’i (VIII/222-223), Ibnu Khuzaimah (no. 358), Ath-Thahawi dalam Musykilul Âtsâr (no. 5846, 5847), dan Al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/190, VIII/162) dan Ahmad (II/439).
Penyebutan jumlah “tujuh” di dalam hadis ini tidaklah merupakan pembatas, sehingga tidak dapat diartikan bahwa golongan yang akan dinaungi Allâh Ta’ala pada hari Kiamat hanya terbatas pada tujuh golongan ini saja. Menurut ulama ahli ushul, istilah ini disebut dengan mafhûmul ‘adad ghairu murad, yaitu mafhum dari ‘adad (bilangan) itu tidak dimaksudkan. Sehingga apabila disebutkan tujuh, bukan berarti hanya tujuh ini saja.
Kedudukan hadis ini sangat penting agar kaum muslimin dapat melaksanakan amalan-amalan yang terkandung di dalamnya, sehingga kita dapat memperoleh perlindungan dan naungan Allâh Azza wa Jalla pada hari kiamat.
يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ..
“Mereka dinaungi oleh Allâh dalam naungan-Nya..”
Lafaz فِي ظِلِّهِ, yaitu idhâfah (penyandaran) bayangan kepada Allâh Azza wa Jalla. Para ulama mengatakan,
إِضَافَتُهُ إِلَى اللهِ إِضَافَةُ تَشْرِيْفٍ.
Penyandarannya kepada Allâh, yaitu penyandaran yang bertujuan untuk memuliakan. Yaitu menunjukkan kemuliaan, seperti masjidullah, baitullah, dan selainnya.
Di antara tujuh golongan yang dinaungi Allah adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah/ketaatan kepada Allah.
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ … وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ
“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya: …Dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah … “
Syaikh Salim Al-Hilali berkata: “Hadis ini menunjukkan keutamaan pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah, sehingga dia selalu menjauhi perbuatan maksiat dan keburukan (Bahjatun Nadzhirin Syarh Riyadhush Shalihin, 1/445, Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied Al-Hilaliy)
Imam Abul ‘Ula al-Mubarakfuri berkata: “Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan “seorang pemuda” karena usia muda adalah masa yang berpotensi besar untuk didominasi oleh nafsu syahwat. Disebabkan kuatnya pendorong untuk mengikuti hawa nafsu pada diri seorang pemuda, maka dalam kondisi seperti ini untuk berkomitmen dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah tentu lebih sulit dan ini menunjukkan kuatnya nilai ketakwaan dalam diri orang tersebut”. (Tuhfatul Ahwadzi Jâmi’ At-Tirmidzî (7/57))
Islam memang memberikan perhatian besar terhadap pemuda. Islam memerintahkan hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi seorang pemuda muslim sekaligus menjelaskan keutamaan besar bagi seorang pemuda yang memiliki sifat yang disebutkan dalam hadis ini, yakni senantiasa dalam ketaatan kepada Allah.
Dalam hadis lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ»
“Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar kagum terhadap seorang pemuda yang tidak memiliki shabwah.” (HR . Ahmad dan Ath-Thabrani)
Artinya pemuda yang tidak memperturutkan hawa nafsunya, dengan dia membiasakan dirinya melakukan kebaikan dan berusaha keras menjauhi keburukan (Faidhul Qadiir Syarah Al-Jami’ Ash-Shagir)
Inilah seharusnya gambaran pemuda muslim sejati. Yakni pemuda taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta mencintai Allah dan Rasul-Nya. Pemuda yang ber-syakhsiyah Islam. Pemuda yang menjadikan Islam satu-satunya sebagai way of life, bukan sekularisme dan kebebasan yang memuja hawa nafsu. Hal ini tercermin dalam pemikiran dan tingkah laku mereka.
Maka pemuda muslim akan lebih disibukkan dengan hadir dalam majelis ilmu, mengkaji ilmu agama termasuk juga adab, sehingga tidak ditemukan pemuda yang menendang seorang nenek hanya karena iseng. Pemudalah yang juga memakmurkan masjid bukan para manula karena merasa dekat dengan kematian. Pemuda muslim juga terdepan menyampaikan syiar-syiar Islam. Bahkan jika ada panggilan jihad, para pemudalah yang terdepan. Maka gambaran pemuda seperti ini yang akan mendapat naungan Allah sebagaimana dalam hadis.
Dalam sepanjang sejarah peradaban Islam, kita mengenal sosok-sosok muda yang hebat. Seperti Ali bin Abi Thalib, Mush’ab bin Umair, Usamah bin Zaid, Muhammad Al-Fatih, dan sebagainya. Dalam usia yang masih belia karena cintanya kepada Nabi, Ali bin Abi Thalib berani menggantikan posisi Nabi yang akan dibunuh oleh orang-orang Quraisy. Mush’ab bin Umair rela meninggalkan kemewahan duniawi demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, bahkan Mush’ab adalah duta dakwah pertama yang dikirim ke Madinah. Usamah bin Zaid di usia 18 tahun telah memimpin pasukan Islam melawan Romawi Timur. Sosok Al-Fatih yang tidak diragukan lagi kegemilangannya, terukir dalam sejarah penaklukan Konstantinopel. Dan masih banyak lagi kisah hebat para pemuda muslim.
Berbeda realitasnya dengan pemuda era sekarang dalam sistem sekuler kapitalis. Mereka memuja kebebasan dan hawa nafsu. Pergaulan bebas, narkoba, hura-hura, tawuran, bahkan pelaku kriminalitas. Potensi pemuda yang demikian besar hari ini hanya diarahkan untuk menjadi sosok yang menjadi budak dunia dan minim visi akhirat. Negara yang seharusnya menyiapkan pemuda agar menjadi calon pemimpin bangsa, justru membuat kebijakan yang menyeret para pemuda untuk menjadi objek industrialisasi para kapitalis besar dengan program Kampus Merdeka. Negara juga semakin menjauhkan pemuda dari Islam dengan moderasi beragamanya, bahkan negara malah mencurigai pemuda-pemuda rohis sebagai teroris.
Padahal di tangan pemudalah tongkat kepemimpinan masa depan ini digantungkan. Bagaimana jadinya jika pemudanya mengumbar syahwat dunia?
Maka pemuda tangguh hanya dilahirkan dalam peradaban Islam, karena negara menjalankan perannya untuk menjaga pemuda. Negara juga menjalankan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah, sehingga lahir output yang berkepribadian Islam. Sistem pergaulan Islam akan menjaga interaksi pemuda-pemudi. Di era digital, negara menjalankan perannya untuk menutup pornografi. Negara juga menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga mampu menjamin kesejahteraan keluarga. Para ibu bisa mendidik anak-anaknya dengan baik. Begitu pun masyarakat, saling menjaga pemuda dengan selalu amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu hanya dalam sistem Islam yakni Khilafah, para pemuda akan terjaga sekaligus potensi besar mereka memberi sumbangan besar bagi peradaban Islam.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]