Murtad dan Bagaimana Khilafah Memperlakukannya

Oleh: Hayyin Thohiro

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Religion of Twenty (R20) 2022  adalah sebuah forum para pemimpin agama dan sekte dengan peserta utama dari negara-negara anggota G20 yang digagas oleh Indonesia dan ditempatkan di Pulau Bali. Meskipun demikian, R20 juga mengundang para pemimpin agama dari negara lain di luar G20, sehingga total ada 32 negara dengan jumlah peserta mencapai 464 undangan. Sebanyak 170 di antaranya dari luar negeri yang berasal dari lima benua.

Dalam forum R20 ini setiap pemimpin agama dan sekte yang hadir menyampaikan gagasannya tentang nilai-nilai universal yang berbasis pada tradisi dan spiritualitas agama. Tradisi dan warisan yang baik dan buruk untuk kemudian mentransformasi diri dari doktrin yang telah terbangun bertahun-tahun atau berabad-abad sebelumnya. Forum ini menghasilkan pesan-pesan keagamaan

Pesan R20 hakikatnya adalah sekuler NU pada forum tertinggi kedua dalam NU, yaitu Musyawarah Alim Ulama Nasional 2019 di Banjar Patoman, Jawa Barat. Selain itu, dalam fiqh siyasah Islam misalnya, harus dibangun di atas kerangka kesetaraan manusia dan warga negara secara universal dalam konsensus dunia. Agama secara publik dan politik harus menegakkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan universal. 

Itulah mengapa pada hari ini orang begitu mudah murtad daripada Islam. Begitu pula penghinaan terhadap Islam seperti melecehkan Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw., syariat Islam, jilbab, jihad, Khilafah, dan lain-lain makin sering terjadi. Termasuk makin banyak muslim yang menolak syariat Islam. Padahal bukankah perbuatan melecehkan dan menolak syariat Islam bisa mengantarkan pelakunya murtad dari Islam?

Murtad Lahir dari Sekularisme

Sekularisme yang diterapkan di negara ini tentu berperanan besar dalam melahirkan golongan yang murtad dari Islam, juga melahirkan golongan yang sering melecehkan Islam dan menolak syariat Islam. Sekularisme adalah akidah (keyakinan dasar) yang memisahkan agama dari kehidupan yang menjadi asas bagi ideologi kapitalisme. Kapitalisme di antaranya juga melahirkan demokrasi. Dalam demokrasi, terdapat beberapa bentuk kebebasan yang dijamin oleh undang-undang. Di antaranya kebebasan beragama, berpendapat/bersuara, kepemilikan, dan bertingkah laku.

Dalam konteks kebebasan beragama misalnya, setiap orang dibiarkan menganut agama dan kepercayaan apapun. Mereka juga bebas berganti-ganti agama. Hari ini Islam, besok Hindu, lusa Budha, dan seterusnya. Tidak ada masalah dalam demokrasi kapitalis. Begitu juga dalam konteks kebebasan berpendapat/bersuara dan bertingkah laku. Hingga akhirnya setiap orang bebas untuk berpendapat/bersuara dan bertingkah laku apapun. Termasuk menghina Islam, Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw., dan syariat Islam.

Oleh sebab itulah, dalam sistem sekular hari ini wajarlah jika ada muslim yang begitu mudah murtad. Makin banyak muslim dan kafir yang melecehkan ajaran Islam, atau secara terang-terangan menolak syariat Islam. Padahal tindakan seperti itu bisa mengantarkan pelakunya murtad dari Islam.

Akibat Murtad

Allah SWT berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ

Wahai orang-orang yang beriman,barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) daripada agama kamu, pasti Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintaiNya. Mereka bersikap lemah-lembut kepada kaum mukmin dan bersikap keras terhadap kaum kafir.” [QS Al-Ma’idah (5): 54]

Menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah, melalui ayat ini Allah SWT memberitahu tentang kekuasaan-Nya yang agung, bahwa siapa saja yang berpaling dari usaha menolong agama dan menegakkan syariat-Nya, maka sesungguhnya Allah SWT pasti akan menggantikannya dengan orang yang lebih baik. Mereka lebih bersungguh-sungguh dalam melindungi (agama-Nya) dan lebih lurus jalannya. Memetik pendapat dari Imam al-Hasan al-Basri, ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang yang murtad (keluar) dari Islam pada masa Khalifah Abu Bakar ra. (Ibnu Kathir, Tafsîr Al-Qur’ân al-‘Azhîm, 3/135)

Berkenaan ayat di atas, menurut Imam at-Thabari rahimahullah, sesungguhnya kaum yang murtad tersebut, setelah Nabi Muhammad saw. wafat menyatakan, “Berkenaan salat, maka kami akan tetap salat. Adapun mengenai zakat, maka demi Allah, kami tidak akan menyerahkan harta-harta kami.” Mendengar hal itu, Khalifah Abu Bakar ra. berkata, “Demi Allah, aku tidak akan memisahkan perkara yang telah Allah satukan (salat dan zakat). Demi Allah, andai mereka menolak untuk menyerahkan kepadaku zakat unta dan kambing yang telah Allah dan Rasul-Nya wajibkan (atas mereka), aku pasti aku akan memerangi mereka kerana penolakan mereka itu.” (At-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Al-Qur’ân, 21/431)

Berdasarkan penjelasan Imam at-Thabari tersebut, orang-orang yang menolak salah satu syariat Islam (antaranya zakat) diperlakukan sama dengan orang-orang yang murtad. Mereka sama-sama dibunuh/diperangi. Mengenai orang yang murtad, Imam as-Syafi’i dalam kitabnya, Al-Umm menjelaskan bahwa seseorang yang berpindah dari syirik kepada iman, kemudian dia berpindah lagi dari iman kepada syirik, maka jika orang itu sudah dewasa, sama saja apakah laki-laki atau perempuan, maka dia diminta untuk bertaubat. Jika dia bertaubat, maka taubatnya diterima. Sebaliknya, jika dia enggan bertaubat, maka dia mesti dihukum mati (As-Syafi’i, Al-Umm, 6/168).

Pendapat Imam as-Syafi’i ini adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw.,

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئِ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: كُفْرٌ بَعْدَ إِيْمَانٍ وَزِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ وَقَتْلُ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ

“Tidak halal (menumpahkan) darah seorang muslim kecuali kerana salah satu dari tiga sebab: kufur setelah beriman; zina setelah beristri; membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Hukuman mati bagi orang murtad juga ditegaskan dalam sabda Nabi Muhammad saw. ,

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

“Sesiapa yang menukar agamanya (murtad dari Islam.), bunuhlah dia!” [HR.Bukhari dan An-Nasa’i]

Jelas sekali hukuman mati bagi orang murtad, 100% berdasarkan ketetapan Nabi saw. Ketetapan baginda sudah tentu berasal dari wahyu Allah SWT. Oleh karena itu, hukuman ini bukan hasil pemikiran manusia. Lebih-lebih lagi dikaitkan dengan latar belakang politik umat Islam. Namun demikian, hukuman mati bagi orang murtad mesti dilakukan oleh pemerintah umat Islam (Imam/Khalifah) dengan beberapa ketentuan, di antaraya:

Pertama, penetapan hukuman mati bagi orang murtad hanya boleh diputuskan oleh mahkamah syariah.

Kedua, mesti ada penangguhan hukuman jika pelaku murtad ada harapan untuk kembali ke pangkuan Islam. Imam as-Thauri berpendapat, “Hukumannya ditangguhkan jika ada harapan pelaku murtad mau bertaubat.” (Ibnu Taimiyah, As-Sharim al-Maslul, hlm. 328).

Ketiga, selama penangguhan hukuman, pelaku murtad didakwahkan dengan hikmah dan nasihat yang baik, diajak berdialog/berdebat supaya dia mau bertaubat dan kembali ke pangkuan Islam.

Makna ‘Tidak Ada Paksaan dalam Agama” ada yang berpendapat bahwa siapa saja bebas menganut agama apapun termasuk untuk berpindah-pindah agama. Mereka kemudian berdalil dengan ayat,

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ

“Tidak ada paksaan dalam agama.” [QS.Al-Baqarah (2): 256]

Menurut Imam al-Alusi, ayat di atas bermaksud, “Janganlah kamu memaksa (manusia) untuk masuk Islam.” (Al-Alusi, Rûh al-Ma’âni, 2/322).

Dengan demikian, memang siapa pun tidak boleh dipaksa untuk memeluk agama Islam. Namun, apabila mereka sudah menjadi muslim, haram bagi mereka untuk murtad (keluar) dari Islam. Jika mereka murtad, seperti yang dijelaskan di atas, maka mereka wajib dihukum mati, kecuali jika mereka mau segera bertaubat dan kembali ke pangkuan Islam.

Akibat Menolak Syariat

Sebagaimana diharamkan murtad (keluar) dari Islam, maka diharamkan juga menolak syariat Islam, sama saja apakah keseluruhan atau sebagiannya. Allah SWT telah mencela dengan sekeras-kerasnya sikap demikian,

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ

“Adakah kamu mengimani sebahagian al-Kitab dan mengingkari sebahagian yang lain? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian melainkan kehinaan dalam kehidupan dunia dan pada Hari Kiamat kelak dia akan dilemparkan ke dalam azab yang sangat keras.” [QS. Al-Baqarah (2): 85]

Oleh karena itu, sebagaimana orang murtad dijatuhkan padanya hukuman mati, maka begitu juga orang yang menolak syariat. Mereka diperangi. Inilah yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar as-Siddiq ra. terhadap orang-orang murtad dan golongan yang menolak membayar zakat. Dasar yang diamalkan oleh Khalifah Abu Bakar ra. dalam menghukum secara tegas orang murtad dan mereka yang enggan membayar zakat menjadi bukti bahwa pemerintah Islam wajib menjaga akidah umat. Jangan sampai banyaknya orang murtad dan orang yang menolak syariat merebak di masyarakat secara meluas. Ini sudah tentu tidak boleh berlaku.

Sayangnya, pada hari ini kita tidak bisa banyak berharap kepada para pemerintah umat Islam saat ini dalam membentengi akidah umat. Sebab, mereka sendiri adalah penjaga sistem sekulee. Mereka tidak akan peduli jika akidah umat rusak, bahkan lenyap sekalipun. Walhasil sudah tiba saatnya umat mencabut sekularisme dan segala dampak turunannya, dan sebagai gantinya adalah menegakkan sistem Islam kaffah dan Khilafah.

Khilafah Memperlakukan Orang Murtad

Sebagimana penjelasan-penjelasan tersebut, Asy Syaikh Taqiyuddin An_Nabhani dalam kitab Al-Amwal fi Daulati Al-Khilafah telah menjelaskan bahwa darah dan harta orang murtad dimiliki oleh kaum muslimin. Negara Khilafah akan memberikan tenggang waktu tiga hari bagi orang yang murtad untuk bertobat. Dalam waktu tiga hari tersebut ia akan dibimbing dan diberi nasihat untuk memikirkan kembali keputusannya untuk murtad.

Apabila dalam rentang waktu tiga hari dia kembali kepada Islam, maka ia tidak akan dibunuh, darahnya dilindungi, dan hartanya dikembalikan kepadanya. Sebaliknya, apabila dalam rentang waktu tiga hari ia tidak kembali kepada Islam, maka ia akan dibunuh dan hartanya tidak boleh diwariskan kepada keluarganya, baik istri, anak, maupun orang tuanya.

Apabila salah seorang dari suami dan istri murtad, seketika itu akad nikahnya rusak. Jika salah satu dari mereka meninggal, salah satu dari keduanya tidak boleh saling mewarisi, demikian juga dengan anak-anak dan ahli waris lainnya.

Rasulullah Muhammad saw. telah bersabda, yang artinya ;

“Tidak boleh orang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi harta orang muslim” (HR. Bukhari)

Apabila satu keluarga (suami, istri, dan anak-anak) murtad, maka hartanya juga akan menjadi milik kaum muslimin. Khilafah akan memasukkan harta tersebut ke dalam Baitul mal pada pos fai dan kharaj dan dibelanjakan untuk kepentingan kaum muslimin secara keseluruhan. Jika riddah dilakukan oleh sekelompok orang (jemaah) bersama-sama, kemudian mereka menetap di satu negeri dan mengangkat penguasa serta menerapkan hukum-hukum tertentu bagi mereka, maka negeri tersebut menjadi darul harbi.

Karena itu, darah dan harta seluruh orang murtad tersebut halal bagi kaum muslimin dan Daulah Khilafah akan memerangi mereka seperti wajibnya memerangi darul kufur. Bahkan, memerangi mereka (murtadin) harus lebih keras dan diutamakan karena seluruh orang kafir yang asli (bukan orang murtad) bisa diterima tiga hal, yaitu mereka masuk Islam, menerima perjanjian damai, atau membayar jizyah. Sedangkan orang murtad, maka tidak diterima kecuali mereka kembali masuk Islam saja, perjanjian damai dan jizyah tidak diterima dari mereka. Bagi orang murtad, hanya ada dua pilihan, yaitu kembali ke dalam agamanya (Islam) atau diperangi.

Hal ini sebagaimana yang dicontohkan khalifah Abu Bakar dan para Sahabat ketika memerangi orang murtad, bahwa; “Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah dia.” (HR. Bukhari, Nasai)

Khatimah

Allah SWT berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Siapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan pernah agama itu diterima (oleh Allah) dan di akhirat nanti dia termasuk kaum yang rugi.” [QS : Ali Imran (3): 85]

Dengan memberlakukan pengaturan dan hukuman tegas bagi pelaku riddah (murtad), Khilafah akan menjaga akidah umat dan semua kaum muslimin akan memiliki pandangan dan sikap yang sama kepada pelaku riddah (murtadin). Kebebasan beragama (pluralisme), dan sekularisme tidak akan diberi ruang di dalam Khilafah Islamiah. Waallahu a’lam bishshawab. [SM/mly]