Perempuan Pemberi Nafkah, Legitimasi Eksploitasi Perempuan ala Mubadalah

  • Opini

Oleh: Qisthi Yetty

Suaramubalighah.com, Opini — Feminis muslim semakin gencar menyerang syariat Islam terutama terkait masalah keluarga, yakni kepemimpinan (qawwamah) dalam rumah tangga. Salah satunya mengenai hukum nafkah.

Dalam tulisannya Faqihuddin Abdul Qodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik berusaha memaksakan argumen (dalih) bahwa nafkah bukan hanya tanggung jawab suami (laki-laki). Menurut beliau, bekerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga adalah sesuatu yang baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Faqihuddin Abdul Qodir dengan metode Qira’ah Mubadalah, yakni sebuah pendekatan tafsir berbasis kesetaraan gender, berusaha memaksakan dalil dengan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan juga hadis secara liberal (bebas) sesuai kepentingan dan hawa nafsunya.

Dengan mencuplik nas Al-Qur’an, seperti QS. Ali Imran [3]: 195; An-Nisa’ [4]: 124; An-Nahl [16]: 97; dan Ghafir [40]: 40, ulama feminis ini menyimpulkan secara serampangan bahwa menggunakan harta hasil kerja, atau hasil pemberian, untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, juga pada dasarnya baik, baik laki-laki dan perempuan, sebagaimana juga kebaikan salat, zakat, sikap amanah, sabar, dan jujur (QS. Al-Baqarah [2]: 177). Artinya, laki-laki maupun perempuan yang bekerja mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, pada dasarnya adalah baik, direstui dan diapresiasi Islam, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis. Bahkan, dalam keadaan tertentu, bisa saja wajib (terutama jika ada tuntutan keadaan keluarga dan sosial yang jauh lebih penting).

Ini jelas ada upaya mengarahkan perubahan hukum karena situasi dan kondisi. Kewajiban nafkah yang dibebankan kepada laki-laki, dibebankan juga kepada perempuan. Padahal para ulama telah sepakat bahwa laki-laki bertanggung jawab menafkahi istri dan keluarganya, dengan merujuk pada Surah An-Nisa’ ayat 34, 

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu memberi nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka memintamu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.”

Begitupun, ayat ke-233 dari surah Al-Baqarah,

۞ وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

“…Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya.”

Ayat ini memerintahkan laki-laki untuk memenuhi nafkah keluarga, kebutuhan istri dan anak-anaknya, baik pangan, sandang, maupun papan.

Dalam hadis yang disampaikan sahabat Jabir bin Abdullah, Nabi saw. bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُ ف .

“Bertakwalah kalian semua dalam memperlakukan para perempuan. Kalian semua telah menjadikan mereka (sebagai istri kalian) dengan tanggungan Allah SWT, dan menjadi halal berhubungan intim dengan mereka juga dengan kalimat Allah SWT. Kamu berhak atas mereka, (untuk melarang) mereka mengajak seseorang yang tidak kalian sukai (naik) ke ranjang kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut, kalian boleh memukul mereka. Mereka juga berhak atas kalian, pangan dan pakaian mereka dengan cara patut.” (Sahih Muslim, No. 3009)

Islam telah menjelaskan secara gamblang bahwa nafkah adalah kewajiban bagi laki-laki, tidak wajib bagi perempuan. Sebab perempuan tugas pokok dan utamanya adalah ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa rabbatul bait).

Dalam kondisi suami tidak mampu menafkahi karena alasan kesehatan misalnya, maka kewajiban nafkah tidak beralih ke perempuan. Tetapi kewajiban nafkah beralih ke para walinya yang laki-laki. Jika para wali pun tidak mampu maka kewajiban nafkah, akan diambil alih oleh negara. Sebab negara adalah pelayan rakyat.

Tugas utama penguasa sebagai pelayan rakyat terfokus dalam dua hal, yaitu hirasatuddin dan siyasatuddunya (melindungi agama mereka dan mengatur urusan dunia. (Al-Ahkam As-Sulthaniyah, juz I, hlm. 3)

Dengan mekanisme ini, Islam memuliakan perempuan. Perempuan tidak dibebani nafkah baik untuk dirinya apalagi untuk keluarganya.

Dalam sistem Islam yakni sistem Khilafah, negara wajib hadir menyelesaikan masalah nafkah ini. Jika persoalannya karena suami fakir atau miskin, maka ada pos zakat yang diperuntukkan untuk 8 asnaf, dua di antaranya untuk fakir dan miskin bahkan untuk gharimin (pemilik utang karena memenuhi kebutuhan pokok keluarga). Jika karena suami tidak punya pekerjaan maka negara wajib memberikan lapangan pekerjaan untuk laki-laki agar bisa menafkahi keluarganya. Jika suaminya pandai berbisnis namun tidak cukup modal, maka negara wajib memberikan modal tanpa bunga (riba). Dan jika tidak “piawai” mencari nafkah, maka negara wajib mendidik dan melatih para suami hingga mampu menafkahi keluarganya. Jadi dalam Islam, celah perempuan dieksploitasi untuk menafkahi keluarga ditutup.

Dan perlu dicatat, dalam Islam perempuan boleh bekerja (pekerjaan yang dibolehkan oleh syariat Islam) tanpa meninggalkan tugas utama dan pertamanya, yakni ummun wa rabbatul bait. Untuk dirinya sendiri bukan menggantikan peran suami dalam menafkahi keluarganya.

Itulah bentuk jaminan kesejahteraan dan kemuliaan bagi perempuan. Berbeda sekali dengan mafhum yang dibangun oleh Qira’ah Mubadalah. Perempuan dengan peran yang tidak bisa digantikan oleh laki-laki mana pun, seperti hamil, melahirkan, dan menyusui. Sebuah peran yang dalam Al-Qur’an disebut kelelahan yang berlipat (wahnan ‘ala wahni, QS. Luqman [31]: 14) yang sudah sangat berat dengan peran dan tanggung jawabnya. Namun terus didorong untuk mencari nafkah bahkan menafkahi keluarganya dengan mengatasnamakan memberi ruang publik untuk perempuan meng-eksis-kan diri guna meraih kemuliaan, yang sejatinya adalah bentuk eksploitasi perempuan. Dan menjauhkan tugas negara dalam hal nafkah dan menciptakan kondisi perekonomian yang menyejahterakan rakyat.

Para feminis muslim ini sebenarnya tidak bisa mengingkari realita peran perempuan di ranah ini. Karena peran hamil, melahirkan, menyusui, dan mengasuh anak, alaminya ialah tanggung jawab perempuan. Maka, para feminis muslim pun memberikan dua catatan. Pertama, hak-hak reproduksi perempuan untuk memperoleh perlindungan seperti pada saat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui, agar tetap sehat, selamat, dan kuat. Kedua, bekerja sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing (Ia yukallifu Allah nafs illa wus’aha). Hanya saja kedua catatan ini sulit sekali diwujudkan dalam sistem kapitalisme yang hanya berpikir tentang manfaat dan keuntungan materi semata. Tanpa pernah berpikir tentang pahala dan dosa.

Para feminis muslim menjual narasi “demi kemajuan perempuan” hingga dengan bahasa yang membumi,  “mewujudkan kesalingan suami-istri menuju sakinah mawaddah warahmah“, berusaha membebankan kewajiban nafkah kepada perempuan.

Feminis muslim ala Mubadalah berusaha melawan aturan Allah SWT dalam nafkah, dengan pendekatan memutar balik nas Al-Qur’an dan hadis sesuai dengan hawa nafsunya untuk melanggengkan sistem kapitalisme demokrasi. Astaghfirullah.

Oleh karena itu, kaum muslimin harus senantiasa waspada dengan upaya musuh-musuh Islam yang berusaha menjauhkan gambaran Islam kaffah di benak umat Islam. Dan mereka tidak menginginkan umat Islam bangkit dengan sistem kehidupan yang baik dalam tatanan syariat Islam dan Khilafah. Allahu a’lam. [SM/Ah]