Makna Mu’asyarah bil Ma’ruf (Tafsir QS. An-Nisa’ [4]:19)

Oleh: Siti Murlina, S.Ag.

Suaramubalighah.com, Al-Quran Islam sangat menekankan hak dan kewajiban antara suami dan istri demi menjaga keharmonisan dalam berumah tangga. Situasi tersebut akan terjalin dengan interaksi yang baik secara intens jika hanya berpedoman dan berpijak pada landasan syariat Islam.

Allah telah memerintahkan agar suami bergaul dengan istrinya dengan makruf, sebagaimana layaknya seorang sahabat secara sempurna. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“… Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa’: 19)

Yang dimaksud dengan “dan bergaullah dengan mereka secara patut” dalam ayat di atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “bertutur sapa dengan baiklah kalian kepada mereka, dan berlakulah dengan baik dalam semua perbuatan dan penampilan kalian terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan kemampuan kalian. Sebagaimana kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka, maka lakukan olehmu hal yang semisal terhadap mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3, hal. 316)

Syekh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan dalam kitabnya An-Nizham Al-Ijtima’i fil Islam, dalam memaknai ayat “dan bergaullah dengan mereka secara patut” adalah berasal dari kata al-‘usyrah (pergaulan) adalah al-mukhalathah wa al-mumazajah (berinteraksi dan bercampur dengan penuh keakraban dan kedekatan). (Taqiyuddin an Nabhani, Sistem Pergaulan dalam Islam, hal. 243)

Lebih lanjut beliau menjelaskan, Allah SWT telah memerintahkan kepada para suami untuk bersahabat secara baik-baik dengan istri mereka. Untuk membangun ikatan suami-istri supaya pergaulan dan persahabatan mereka satu sama lain berlangsung secara sempurna. Persahabatan seperti itu akan lebih menentramkan jiwa dan membahagiakan hidup. Pergaulan suami terhadap istri merupakan tambahan atas kewajiban memenuhi hak-hak istri berupa mahar dan nafkah. Suami tidak bermuka masam, senantiasa lemah lembut dalam bertutur kata, tidak bersikap keras dan kasar, serta tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain.

Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat tersebut menjelaskan “apabila para istri menaati Allah SWT dan menaati suami mereka, wajib bagi para suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istri mereka, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istri, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya”. (Tafsir Ath-Thabari, jilid 2, hal. 466)

Dari pendapat ulama tafsir tersebut, bahwa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam surah An-Nisa’ ayat 19 dengan frasa “wa ‘aasyiruuhunna bil ma’ruf” atau dengan istilah “mu’asyarah bil ma’ruf” adalah menjadikan seorang istri sebagai sahabat bagi suami, bukan pergaulan kemitraan antara bawahan dan atasan. Pergaulan antara keduanya tak lain adalah pergaulan persahabatan dan menjadi sahabat sejati dalam segala hal. Jika menjumpai permasalahan, keduanya saling memuliakan dan bijaksana dalam menyelesaikan masalah.

Dengan persahabatan tersebut akan terwujud ketentraman dan kedamaian satu sama lainnya. Akan saling cenderung satu sama lainnya, bukan saling menjauhi. Pada wilayah ini pentingnya solusi fundamental syariat Islam dalam mengatur apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing suami-istri. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah [2]:228)

Islam memerintahkan kepada pasangan suami-istri untuk bergaul dengan makruf atau patut, saling menghargai yang satu dengan lainnya, berkata-kata baik, bersabar ketika menghadapi sikap pasangan yang kurang disukai, dan benar-benar paham hak dan kewajiban masing-masing.

Di antara kewajiban yang wajib dilakukan oleh istri adalah melayani suami dan mengurus rumah. Itu pun hanya jika sesuai dengan kemampuannya. Jika pekerjaan sangat banyak maka suami wajib menyediakan pembantu, untuk membantu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan itu. Istri berhak untuk meminta hal itu kepada suami. Jikapun tidak bisa menyediakan pembantu, maka suami dengan senang hati dan penuh rasa cinta membantu istri mengurus rumah dan pekerjaan lainnya.

Begitu pula dengan istri ketika mendapati suami kurang dalam pemenuhan nafkah. Maka istri diperbolehkan membantu suami dalam mencari nafkah. Tapi bukan berarti mengambil alih kewajiban atau dibebankan dalam menafkahi keluarga. Itu pun jika ia punya harta, atau dengan bekerja yang tidak mengabaikan kewajibannya dan kehormatannya.

Ketika konsep mu’asyarah bil ma’ruf benar-benar dipahami dan dijalankan sebagaimana mestinya, dalam konteks persahabatan, maka keduanya akan mengarungi kehidupan dengan penuh cinta, dan masing-masing rida tanpa ada tekanan atau paksaan dari pihak mana pun. Karena mereka berdua sadar sepenuhnya bahwa hal itu merupakan perintah Allah SWT.

Selanjutnya, wajib menjadikan Rasulullah saw. teladan terbaik dalam bergaul dengan makruf kepada keluarganya. Beliau saw. pernah ditanya, “Apakah hak seorang wanita atas suaminya?” Rasulullah menjawab, “Engkau memberinya makan jika engkau makan dan engkau memberi pakaian jika engkau berpakaian. Janganlah memukulnya pada wajah, jangan mencaci maki, dan jangan menjauhinya, melainkan dalam rumah. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Dan dalam hadis yang lain, Rasulullah saw. bersabda:

«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي»

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuan kalian kepada istrinya, sedangkan aku adalah orang yang paling baik kepada istriku di antara kalian. (HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban)

Hanya dengan bimbingan syariat Islam sajalah yang akan menghasilkan mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang patut) dalam berkeluarga. Dimana suami memiliki sifat kasih dan sayang kepada istri, demikian juga istri memiliki sifat hormat dan rahmat kepada suami. Maka ketika punya masalah, keduanya akan bersikap bijaksana dan saling memuliakan dalam penyelesaiannya.

Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]