Festival Tradisi Islam Nusantara: Mengokohkan Islam Moderat, Menguntungkan Konglomerat

  • Opini

Oleh: Betti Salimah

Suaramubalighah.com, Opini — Festival Tradisi Islam Nusantara telah digelar pada 9 Januari 2023 lalu di Banyuwangi dalam rangka memperingati 1 Abad Nahdhatul Ulama. Acara tersebut dihadiri Presiden Joko Widodo, Rais ‘Aam sebagai Pengurus Besar NU, KH. Miftachul Akhyar, Ketua Umum PBNU KH.Yahya Cholil Staquf, Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, jajaran Menteri Kabinet Indonesia Maju, tokoh ulama NU, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, serta ribuan santri dan masyarakat.

Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengajak seluruh umat Islam khususnya warga NU untuk menggunakan seni dan budaya sebagai bagian dari dakwah. Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf mengatakan Islam Nusantara keberadaanya terus konsisten dan teguh memelihara budaya serta harmoni, dan mampu meminimalisir potensi yang dapat menjadi ancaman di Indonesia. Menteri Erick Thohir sebagai Ketua Harlah NU ke -100 mengatakan bahwa Festival Tradisi Islam Nusantara sebagai wujud kiprah NU tidak hanya menyebarkan ajaran Islam, tapi juga untuk membangun peradaban, termasuk dengan jalan memperkuat kebudayaan bangsa.

Benarkah Festival Tradisi Islam Nusantara mampu mewujudkan peradaban Islam?

Proyek Islam Moderat untuk Mengokohkan Budaya

Melalui festival ini, tampak adanya upaya menghidupkan kembali narasi Islam Nusantara yang sudah ditolak oleh umat Islam. Pengusung narasi Islam Nusantara terus berupaya memisahkan Islam dari akarnya, yaitu Islam kaffah yang diajarkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw.. Kemudian menggantikannya dengan ajaran Islam yang adaptif dan toleran terhadap tradisi, adat, dan budaya di Nusantara meskipun bertentangan dengan syariat Islam. Tak cukup itu, mereka juga senantiasa membenturkan keduanya.

Pesan moderasi beragama (Islam moderat) sangat jelas disampaikan oleh Presiden Jokowi, “Seni dan budaya bukan hanya tontonan, tetapi juga mengandung pesan tuntunan hidup untuk selalu mengingat keagungan Allah, mengajak amar ma’ruf nahi munkar, menghaluskan rasa, memperkuat toleransi, moderasi, menjaga keharmonisan, serta memperkuat sistem sosial dalam masyarakat kita, Nusantara.”

Menjadikan seni dan budaya sebagai tuntunan hidup tanpa batasan yang jelas, tentu sangat berbahaya bagi eksistensi syariat Islam itu sendiri. Akan ada upaya menakwilkan Al-Qur’an dan hadis agar sesuai dengan seni dan budaya. Padahal seharusnya seni dan budaya yang harus mengikuti Al-Qur’an dan hadis.

Terlebih jika kita kembali ke belakang terkait kemunculan Islam Nusantara itu sendiri yang kontroversial. Islam Nusantara adalah kemasan lain dari ide moderasi beragama yang saat ini sedang diaruskan. Sebagai buktinya, salah satu indikator keberhasilan moderasi beragama adalah penerimaan sikap masyarakat terhadap Islam ritual sebagai kearifan lokal yang harus dijaga. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas bahwa ada empat indikator moderasi beragama, yaitu: (1) komitmen kebangsaan yang kuat, (2) toleransi beragama, (3) menghindari kekerasan, dan (4) penghargaan terhadap budaya lokal.

Dalam Simposium Moderasi Beragama pada 9 Maret 2022, Menag Yaqut juga mengatakan, “Moderasi beragama berakar pada budaya lokal. Jadi, penghormatan terhadap budaya lokal merupakan indikator dari konsep ini.”

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Komjen Pol Boy Rafli Amar juga menyatakan di sela-sela acara Parade Budaya Nusantara BNPT pada 6 November 2022 tentang penanggulangan intoleran, terorisme, dan radikalisme yakni salah satunya dengan penguatan budaya Nusantara.

Dari sini sangat jelas bahwa Festival Tradisi Islam Nusantara yakni untuk mengokohkan dan menguatkan moderasi beragama yang mengikis keimanan dan memalingkan umat dari syariat Islam.

Peradaban Islam: Seni dan Budaya Sesuai Syariat Islam

Ulama yang paling detil dan rinci membahas tentang peradaban adalah Syekh Taqiyuddin An-Nabhani. Peradaban atau yang sering disebut dengan hadharah dalam kitabnya Nizhamul Islam, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani membedakan antara hadharah dan madaniyah.

Hadharah adalah sekumpulan mafahim (pemahaman, pandangan hidup) yang dianut dan mempunyai fakta (realitas) tentang kehidupan). Sedangkan madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera (lihat, dengar, raba) yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan. Hadharah memiliki sifat khas. Sedangkan madaniyah adalah berkaitan benda-benda hasil teknologi atau hasil peradaban suatu umat tertentu. Karena itu, madaniyah bersifat ‘am (umum), walau ada juga madaniyah yang bersifat khas.adharah (peradaban) Islam dilandasi oleh Al-Qur’an dan hadis. Sehingga ketika berbicara tentang seni dan budaya, maka dalam peradaban Islam harus distandarkan pada Al-Qur’an dan hadis. Hubungan Islam dan budaya sangat jelas kaidahnya. Islam menjadi tolok ukur atau standar, sedangkan budaya adalah objek yang distandarkan. Jika budaya lokal itu sesuai dengan Islam, tidak dilarang mengambilnya. Misalnya, memakai blankon penutup kepala khas Jawa. Sebaliknya, jika budaya lokal itu tidak sesuai Islam, tidak boleh untuk diamalkan. Misalnya, mengenakan kemben di tempat umum bagi perempuan.

Seluruh hadharah yang berasal dari selain Islam, hukumnya haram untuk diambil. Karena hadharah selain Islam (peradaban Barat), berangkat dari selain Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, hadharah selain Islam berangkat dari pemikiran manusia yakni keterbatasan akal semata, yang jelas tidak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pengusung Islam Nusantara atau moderasi beragama justru memosisikan tradisi dan budaya sebagai standar. Sebaliknya, ajaran Islam menjadi objek yang distandarkan dengan alasan demi terwujudnya kerukunan. Islam pun harus ditundukkan dan dikalahkan di bawah budaya.

Jelas bahwa Festival Tradisi Islam Nusantara, juga berbagai perhelatan budaya yang akhir-akhir ini gencar direvitalisasi merupakan bagian dari proyek moderasi beragama. Dimana atas nama moderasi agama, keyakinan pada ajaran agama dan ketaatan pada syariat-Nya harus ditundukkan pada budaya.

Sejatinya ini adalah penjajahan yang sangat jahat, karena membuat umat Islam tidak lagi paham jati dirinya. Proyek moderasi beragama telah menggantikan identitas asli umat Islam sebagai muslim taat syariat menjadi muslim moderat yang abai bahkan membenci syariat. Maka umat Islam harus senantiasa berhati-hati terhadap adanya jebakan yang tampak membela Islam, tetapi sesungguhnya justru  menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang lurus.

Kita sudah mengetahui bahwa peradaban Barat telah merusak tatanan kehidupan umat Islam. Dengan kapitalisme, ide sekularisme, liberalisme, pluralisme, sinkretisme, maupun sosialisme-komunisme, umat Islam semakin dijauhkan dari syariat Islam. Kerusakan moral, kemiskinan, perpecahan, dan kejahatan merajalela. Gaya hidup bebas, serba boleh (permisivisme), dan mengatakan kebenaran itu relatif, bahkan dalam peradaban Barat tidak boleh mengeklaim kebenaran mutlak hanya Islam, menjadi sumber persoalan saat ini. Ketakwaan tergerus dan kehidupan tanpa kebahagiaan.

Maka, ialah hal yang utopia apabila mengharapkan kehidupan yang penuh berkah dan sejahtera serta memiliki peradaban yang mulia, namun masih berpijak pada peradaban Barat.

Motif Ekonomi di Balik Festival Tradisi Islam Nusantara

Festival Tradisi Islam Nusantara selain untuk menguatkan moderasi beragama, juga untuk mendongkrak perekonomian bangsa. Hal ini disampaikan oleh Eric Thohir yang mengatakan, “Festival Tradisi Islam Nusantara merupakan momentum bagi Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur bangkit kembali. Khususnya, dari keterpurukan sektor pariwisata yang selama ini cukup terdampak akibat pandemi Covid-19. Memasuki awal tahun 2023, Festival Tradisi Islam Nusantara diharapkan bisa menjadi pembuka untuk event-event berikutnya yang akan menggeliatkan perekonomian rakyat.”

Adanya event besar Festival Tradisi Islam Nusantara ini disebut membawa berkah bagi pelaku UMKM di Banyuwangi. Banyaknya pengunjung membuat dagangan UMKM laris manis. Dalam sambutannya, Bupati Banyuwangi menyisipkan laporan keberhasilan Banyuwangi terkait pembangunan ekonomi. Di antaranya pembangunan infrastruktur jalan menuju Taman Nasional Alas Purwo yang berhasil meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara lebih dari 600 persen. Juga program pemberian subsidi ongkos kirim produk UMKM ke seluruh Indonesia. Program ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing UMKM sebagai pilar perekonomian rakyat serta pengentas kemiskinan di Banyuwangi.

Fenomena industri wisata dan UMKM sebagai pilar perekonomian rakyat, tentu aneh di tengah kekayaan alam melimpah Banyuwangi. Berbagai potensi yang dimiliki oleh kabupaten ini, yaitu kekayaan laut hingga bahan tambang berupa emas, perak, dan tembaga, namun sayangnya berbagai sumber daya alam itu justru diserahkan pengelolaannya kepada swasta atas nama investasi. Sementara rakyat harus puas dengan remahan dan recehan berupa UMKM.

Dalam waktu 10 tahun terakhir, pembangunan di Kabupaten Banyuwangi meningkat secara signifikan melalui strategi investasi. Bahkan Banyuwangi disebut bisa menjadi pintu masuk sustainability investor dunia. Banyak perusahaan swasta yang telah berinvestasi di Banyuwangi di antaranya adalah perusahaan tambang emas dan tembaga, yaitu PT Bumi Suksesindo yang menguasai proyek tujuh bukit, dan PT. Indo Multi Niaga yang menguasai Blok Gunung Tumpang Pitu.

Pembukaan lebar-lebar kran investasi di Banyuwangi telah dirintis oleh Bupati sebelum ini. Abdullah Azwar Anas selaku Menteri PANRB, suami Bupati Ipuk Fiestiandani, pada saat menjabat sebagai Bupati Banyuwangi, sangat getol berupaya menarik investor dengan berbagai terobosan. Bahkan hingga menyiapkan Peraturan Daerah khusus terkait pemberian insentif untuk meningkatkan minat investor. Bentuk insentif yang diberikan berupa pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah, pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah, pemberian dana stimulan, atau pemberian bantuan modal, penyediaan lahan, pemberian bantuan teknis, dan percepatan pemberian perizinan.

 Alih-alih menyejahterakan rakyat, investasi justru memperkuat praktik privatisasi yang menghalangi rakyat dari pemanfaatan “harta” miliknya sendiri. Bahkan harus membayar mahal untuk bisa mendapatkannya. Pemimipin saat ini ibarat seorang ayah yang mengundang orang lain ke rumahnya untuk menikmati hidangan berlimpah di meja makan, sementara anak-anaknya hanya dibolehkan makan remah-remah yang tercecer di lantai, itu pun kalau ada. Sungguh ini adalah kezaliman dan kedurhakaan pemimpin terhadap rakyatnya.

Padahal Nabi saw. bersabda, ”Khalifah (imam) adalah penggembala (pemelihara) dan bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Al-Bukhari)

Kondisi ini merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme yang mengagungkan kebebasan kepemilikan. Siapa pun yang memiliki modal, dapat menguasai apa pun tanpa batas. Sementara fungsi negara ala kapitalisme hanya sebatas regulator dan fasilitator, bukan penanggung jawab penuh urusan rakyat. Sehingga swasta menjadi pelaku utama ekonomi dan negara menjadi bergantung pada investasi swasta. Dan pada gilirannya, mayoritas rakyat pun juga bergantung pada swasta.

Konsep inilah yang membuat swasta (korporasi) menjadi penguasa sebenarnya di negara penganut kapitalisme. Kekuatan ini menjadikan investasi sebagai alat tawar swasta untuk menekan negara. Tak ayal, investasi menjadi penjajahan gaya baru pada era globalisasi.

Bahkan festival-festival termasuk festival yang dilabeli “islami” terkadang mengusung seni budaya yang bertentangan dengan syariat Islam seperti ritual-ritual (sesajen), minuman beralkohol, pakaian yang tidak syar’i, dan lain-lain demi industri pariwisata dilestarikan untuk menarik wisatawan. Jelas, ini bentuk kapitalisasi kemaksiatan.

Dan ironisnya dengan program moderasi beragama melalui perhelatan budaya, rakyat sengaja dialihkan perhatiannya agar apolitik terhadap kaum oligarki yang merampok kekayaan alam. Rakyat diberi identitas dan kebanggaan palsu sebagai muslim moderat yang adaptif dan toleran terhadap penjajahan berkedok investasi. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]