Oleh: Asma Amnina
Suaramubalighah.com, Opini — Tidak kita mungkiri, dari tahun ke tahun kasus kekerasan seksual memang terus meningkat. Peningkatan ini sejalan dengan naiknya kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan anak (KtA) secara umum, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Data Kemen PPPA menyebut, pada 2019 kasus KtP tercatat sekitar 8.800 kasus. Pada 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus. Lalu data November 2021 naik lagi di angka 8.800 kasus. Artinya, dalam tiga tahun terakhir hingga November 2021 sudah ada 26.200 kasus KtP. Dari data sebanyak itu, kekerasan fisik mencapai 39%, kekerasan psikis 29,8%, dan kekerasan seksual 11,33%. Sisanya kekerasan ekonomi.
Adapun KtA, kasusnya lebih banyak lagi. Kemen PPPA menyebut, pada 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021. Dari data tersebut, 45% berupa kekerasan seksual, 19% kekerasan psikis, 18% kekerasan fisik, dan sisanya kekerasan ekonomi.
Data ini dipastikan merupakan fenomena gunung es. Mengingat kasus KtP atau KtA, apalagi kekerasan seksual, banyak yang terjadi di ranah privat. Tidak semua orang berani melapor, apalagi membawa kasusnya ke jalur hukum.
Selain itu, bisa kita katakan, hari ini tidak ada satu pun tempat yang aman bagi terjadinya tindak kekerasan. Di semua tempat, kekerasan bisa terjadi dan pelakunya bisa orang yang paling dekat dan dihormati. Seperti saudara dan bahkan orang tua di rumah, di tempat umum, lembaga sekolah, bahkan di pondok pesantren seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Sebenarnya sudah banyak upaya untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan, baik secara global maupun nasional. Diawali dengan CEDAW pada 1979 dan BPfA (the Beijing Platform for Action) pada 1985, yang kemudian diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB. Namun faktanya tidak mampu mencegah apalagi memberantas terjadinya KtP. Kekerasan masih saja terjadi, bahkan termasuk di negara maju seperti Amerika, Inggris, dan Prancis.
Hal ini jelas menunjukkan ada kerusakan parah dalam masyarakat, yang tampak dari hilangnya kepedulian, rasa kemanusiaan dan penghormatan kepada sesama manusia, bahkan perlindungan kepada anak di bawah umur.
Dalam pemahaman yang kehidupan sekarang, kesenangan materi makin mendominasi pikiran, bahwa dunia menjadi tempat untuk memenuhi semua keinginan. Pada akhirnya menghalalkan semua cara dan melanggar aturan yang ada.
Inilah pemahaman kehidupan yang meniadakan keimanan kepada hari akhir dan menafikan adanya pertanggungjawaban kepada Allah di akhirat kelak.
Akibatnya, sikap ini melahirkan aturan yang bersumber dari akal manusia sebagai penentu segalanya dan mengabaikan aturan Sang Pencipta. Inilah sistem kapitalisme yang rusak dan merusak kehidupan manusia.
Apalagi KtP juga terjadi di negara-negara maju, negara yang dianggap sudah mencapai kesetaraan gender. Tentu saja Ini mematahkan asumsi bahwa terwujudnya kesetaraan gender dapat menghilangkan KtP. Artinya, kesetaraan gender tidak menghapus KtP, bahkan makin menguatkan sesatnya pemikiran kesetaraan gender, yang lahir dari kapitalisme.
Di sisi yang sama, sistem kapitalisme mengharuskan sebuah negara menerapkan demokrasi. Sementara demokrasi mengharuskan aturan berasal dari suara mayoritas rakyat dan menolak penerapan aturan Sang Pencipta dalam kehidupan dunia.
Tingginya KtP memperlihatkan lemahnya aturan yang lahir dari akal manusia. Buktinya, beragam konvensi, kesepakatan, dan aturan tentang penghapusan tindak kekerasan, baik skala internasional, regional, maupun nasional, tidak mampu memberantas tuntas KtP dari masa ke masa. Malah makin menyuburkannya.
Sejatinya, kekerasan seksual tidak akan selesai dengan payung hukum kekerasan seksual. Berapa banyak UU lagi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah kekerasan? Kehidupan sekuler nan liberal hari ini menjadikan individu merasa berhak mengekspresikan diri dengan apa mereka berpakaian, dengan siapa berkawan, dan dengan cara apa mereka menyalurkan naluri seksual. Sistem kehidupan sekuler memberi kebebasan bagi perilaku menyimpang seperti aktivitas pacaran, elgebete, dan sejenisnya. Belum lagi peran media yang banyak merangsang pemenuhan naluri seksual secara liar.
Sistem ini telah mengikis ketakwaan individu. Alhasil, kriminalitas marak terjadi, mulai dari perundungan, penganiayaan, pelecehan, intimidasi, hingga pembunuhan. Kasus-kasus seperti ini adalah efek penerapan sistem sekularisme. Tidak akan selesai dengan perubahan UU atau pembuatan RUU yang notabene berasal dari pikiran manusia yang lemah dan terbatas.
Akar Masalah
Jika kita cermati, maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan sesungguhnya karena tidak adanya perlindungan terhadap perempuan, baik dalam negara, masyarakat, maupun keluarga. Hal ini karena minimnya pemahaman tentang kewajiban negara, masyarakat, ataupun anggota keluarga, serta tidak berlakunya aturan baku di tengah-tengah umat.
Ini semua karena umat Islam sedang berada dalam cengkeraman sistem sekuler kapitalisme yang mengakibatkan kaum muslimin kehilangan gambaran nyata tentang kehidupan Islam yang sesungguhnya. Selanjutnya, posisi Islam yang seharusnya menjadi acuan atau landasan berpikir dan bertingkah laku, tergantikan oleh pemikiran sekuler kapitalistik. Oleh sebab itu, tidak aneh jika yang kini mendominasi umat adalah corak kehidupan sekuler kapitalistik. Corak kehidupan ini membuat kaum muslimin tidak mampu menyelesaikan tuntas segala permasalahan di tengah-tengah mereka.
Kalau saja kaum muslimin mau menengok dan memahami Islam, sebenarnya Islam telah memberikan jawaban tuntas terhadap permasalahan apa pun, termasuk permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Kita tinggal mengikuti segala yang telah diwahyukan Allah Al-Khaliq Al-Mudabbir, serta meneladani utusan-Nya, yakni Nabi Muhammad saw..
Islam Menjamin Keamanan Perempuan
Berbeda dengan Islam yang sungguh memuliakan perempuan. Perempuan sama seperti laki-laki di hadapan Allah, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hujurat: 13,
ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”
Kesadaran akan adanya pertanggungjawaban di akhirat menjadi pengikat bagi setiap muslim untuk selalu taat pada aturan-Nya.
Islam memiliki seperangkat aturan yang akan melindungi perempuan. Islam memerintahkan untuk berbuat baik kepada perempuan, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR. Muslim: 3729)
Islam juga melarang perempuan berdua-duaan dengan laki-laki tanpa ada mahramnya, mewajibkan perempuan menempuh perjalanan 24 jam atau lebih harus bersama mahram, dan sebagainya.
Islam pun mewajibkan untuk melindungi jiwa manusia, bahkan sejak dalam kandungan. Al-Qur’an mengibaratkan pembunuhan manusia tanpa alasan yang benar ibarat membunuh manusia seluruhnya.Kemudian menerapkan hukum qishash untuk pelaku pembunuhan, atau mengganti dengan diat sebanyak 100 ekor unta jika keluarga yang dibunuh memaafkan pembunuhnya.
Selanjutnya Islam mewajibkan negara untuk melindungi rakyatnya, tak terkecuali perempuan. Hal ini tecermin dalam tindakan Rasulullah saw. ketika ada seorang muslimah yang diganggu oleh laki-laki Yahudi Bani Qainuqa hingga tersingkap auratnya. Rasulullah mengirim pasukan kaum muslim mengepung perkampungan Bani Qainuqa hingga menyerah. Lalu Rasulullah saw. mengusir mereka keluar dari Madinah.
Kewajiban negara melindungi perempuan juga tecermin pada masa Khalifah Mu’tashim Billah, khalifah kedelapan Kekhalifahan Abbasiyah. Khalifah mengirim pasukan yang sangat besar untuk membela seorang muslimah yang dianiaya oleh tentara Romawi di wilayah Amuriyah.
Untuk itu, sangat jelas bahwa Islamlah yang dapat menjamin keamanan perempuan. Penerapan aturan Islam secara kaffah, baik oleh individu maupun negara, akan memberikan rasa aman bagi perempuan. Tidak akan ada cerita deretan perempuan yang menjadi korban kekerasan saat Islam diterapkan dalam institusi Khilafah Rasyidah, karena takwa menjadi sendi utama kehidupan bermasyarakat. Penguasa, pengusaha, aparat, dan seluruh rakyak muslim dan nonmuslim dikendalikan sistem yang menaruh hormat atas perempuan.
Khatimah
Apa pun regulasi yang mereka buat tidak akan mampu menyelesaikan masalah, yang ada hanya menambah masalah karena ketidakjelasan acuan pembuatannya. Oleh karena itu, sebagai orang yang beriman, kita wajib memakai Islam sebagai landasannya. Hanya Islamlah yang dapat menyelesaikan kasus kekerasan perempuan, laki-laki, anak-anak, apa pun bentuknya. Wallahu a’lam. [SM/Ah]
Sumber: muslimahnews.net