Oleh: Ashaima Va
Suaramubalighah.com, Opini — Gelombang hijrah rakyat negeri ini pada beberapa dekade terakhir, tak dimungkiri turut memengaruhi perubahan tren busana. Fesyen muslim kini menjadi industri yang menjanjikan karena dominasinya. Meskipun Indonesia merupakan negeri dengan jumlah kaum muslimin yang besar, namun sayangnya Indonesia belum menempati peringkat pertama dalam industri fesyen muslim. Mengutip data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam laman resminya, menyebut bahwa berdasarkan data State of the Global Islamic Economy Report 2020-2021, industri fesyen muslim Indonesia masuk dalam tiga besar dunia.
Banyak kalangan menilai bahwa fesyen muslim di Indonesia masih perlu digenjot. Hingga sayangnya tak sedikit yang menabrak tuntunan Al-Qur’an dalam menutup aurat hanya demi menyesuaikan dengan tren mode. Semua dilakukan hanya untuk mengejar cuan dari industri fesyen muslim ini. Bisnis dikejar namun tuntunan syariat diabaikan. Hal yang dimaklumi di dalam sistem kapitalisme saat ini.
Ditambah lagi muncul pemikiran liberal dengan berusaha memahami syariat menutup aurat ini dengan konsep wasathiyah atau moderat, atau juga dikenal dengan moderasi beragama. Dengan konsep ini, fesyen muslim dianggap jangan terlalu kaku hingga mengabaikan estetika. Hal yang justru bertentangan dengan prinsip syariat, dimana mestinya estetika yang harus menyesuaikan dengan syariat Islam.
Hal ini sebagaimana yang disampaikan dalam tulisan berjudul “Kriteria Fesyen Muslim dan Muslimah dalam Kajian Fiqih” di laman NU Online. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa menutup aurat adalah bagian dari maqashid syari’ah, yaitu dalam hal ini hifzh al-‘irdh, melindungi martabat dan kehormatan manusia. Pengembangan fesyen mesti dipahami dengan perspektif wasathiyah, mengikuti pendapat moderat. Serta tidak mengedepankan model yang justru tidak fashionable atau tidak estetik, seperti celana cingkrang.
Lantas benarkah demikian? Apakah selama berpakaian itu sudah memenuhi maqashid syari’ah dalam menjaga kehormatan, maka dibenarkan untuk fleksibel memenuhi tuntutan mode, padahal tidak sesuai syariat? Maka perkara ini perlu dibahas sesuai proporsinya.
Reaktualisasi Fikih di Balik Ide Wasathiyah
Ide wasathiyah melazimkan prinsip reaktualisasi fikih Islam. Hal ini karena fikih yang ada, dinilai sudah tidak sejalan dengan perkembangan zaman. Reaktualisasi fikih dalam ide wasathiyah berlindung di balik dalih maqashid syari’ah. Menurut mereka, syariat Islam ditetapkan untuk mewujudkan maqashid asy-syari’ah. Selama maqashid syari’ah sudah terealisasi bahkan jika tanpa menerapkan syariat, maka sah-sah saja untuk menerapkan hukum sekuler.
Begitu pula yang mendasari pendapat mereka dalam berbusana muslim. Saat maqashid syari’ah dalam melindungi kehormatan sudah bisa dipenuhi, maka tak masalah untuk menolak atau mengubahnya. Hingga dengan serampangan, mereka menganggap celana cingkrang sebagai model tak estetik. Padahal celana cingkrang sekalipun terdapat perbedaan pendapat adalah sebagai bagian dari hukum syara’.
Cara berpikir tersebut tentu keliru dan bertentangan dengan metodologi istinbath (penggalian) hukum yang benar. Sesungguhnya maqashid syari’ah hanyalah natijah (hasil) saat hukum syara’ diterapkan. Maqashid syari’ah bukanlah latar belakang dalam penetapan hukum. Hukum ditetapkan berdasarkan dalil syariat, bukan maqashid asy-syari’ah. Terlebih lagi maqashid syari’ah dengan standar maslahat hanya akan diterjemahkan sesuai akal.
Menurut Dr. Mahmud ’Abd al-Hadi Fa’ur, maqashid asy-syari’ah tidak ditujukan untuk menghapus syariat dan tidak pula menghapus hukum-hukum syariat. Maqashid asy-syari’ah adalah cabang syariat, syariat adalah pokok. Cabang tidak boleh membatalkan pokok. Atas dasar itu, setiap pemikiran atau statement yang menyerukan pencampakan syariat dan melanggar batas-batasnya, harus dilawan. Apalagi jika upaya itu mengatasnamakan Islam. (Dr. Mahmud ’Abd al-Hadi Fa’ur, Al-Maqashid ’inda Al-Imam Asy-Syathibi Dirasat[an] Ushuliyat[an] Fiqhiyat[an], hlm. 5. Maktabah Syamilah)
Lantas bagaimana fesyen muslim seharusnya berpijak dan yang benar agar sesuai Islam?
Fashion dalam Timbangan Syariat Islam
Fesyen bagi laki-laki maupun perempuan dalam Islam itu sudah ditetapkan oleh syariat Islam dan bersifat taukifi. Bukan semata karena maqashid syariah. Sebab maqashid syariah akan terwujud jika syariat itu diterapkan.
Syariat Islam telah menjelaskan secara rinci terkait pakaian laki-laki dan perempuan, yang sangat erat dengan kewajiban menutup aurat. Kewajiban menutup aurat berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.
Merujuk pada hadis riwayat Ahmad, aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut. Rasulullah saw. bersabda:
فَإِنَّ مَا تَحْتَ السُّرَّةِ إِلَى رُكْبَتِهِ مِنَ الْعَوْرَةِ
“Karena di antara pusar sampai lutut adalah aurat.” (HR. Ahmad)
Dan tidak ada ketentuan bentuk, jenis, atau warna yang harus dikenakan oleh laki-laki. Hanya ditegaskan bahwasanya laki-laki wajib menutup auratnya. Adapun mengenai pakaian cingkrang bagi laki-laki, itu bagian dari syariat Islam yang tidak boleh diolok-olok apalagi distigmatisasi, meski ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin sendiri.
Pakaian isbal (celana panjang bagi pria yang melebihi mata kaki) dalilnya adalah hadis dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu Ta’ālā ‘anhumā beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَنْظُرُ الله إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ .مُتَّفَقٌ عَلَيْه
“Allah tidak akan memandang orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong.”
Jumhur ulama sepakat jika memanjangkan celana disertai rasa sombong adalah haram. Sedangkan jika memanjangkan celana tanpa disertai rasa sombong maka ada perbedaan pendapat. Menurut ulama-ulama Syafi’iyah hukumnya makruh tidak sampai haram dan menurut ulama-ulama mazhab Hambali hukumnya haram. Sedangkan menurut Lembaga Fatwa Dar Al-Ifta Mesir larangan berisbal tidaklah mutlak. Hal ini karena hadis sendiri membatasinya, yaitu ber-isbal yang dilarang adalah ber-isbal yang disertai rasa sombong.
Maka jelas mengenai kewajiban celana cingkrang terdapat perbedaan pendapat yang masing-masing memiliki landasan hukum syara’. Sehingga sungguh tak layak jika kita mencelanya hanya karena menurut sebagian kalangan dipandang tak estetik dan tidak sesuai tren mode fesyen.
Adapun fashion untuk perempuan, Al-Qur’an memberikan tuntunan yang jelas. Bentuknya ditentukan oleh syariat Islam. Ada dua pakaian utama bagi perempuan ketika keluar rumah. Pakaian bagian atas yang disebut khimar atau kerudung, dan pakaian bawah yang disebut jilbab. Seorang muslimah diwajibkan nengenakan jilbab dan kerudung/khimar saat keluar rumah. Kewajiban mengenakan khimar didasarkan pada firman Allah SWT:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada kaum wanita mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa tampak pada diri mereka, dan hendaklah mereka memakai kerudung (penutup kepala) hingga menutupi dada mereka.” (QS. An-Nur [24]: 31)
Menurut Imam Ali Ash-Shabuni, khimar (kerudung) adalah ghitha’ ar-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada) agar leher dan dadanya tidak tampak. Berikutnya kewajiban berjilbab ditetapkan berdasarkan firman Allah SWT
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri kaum mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…” (QS. Al-Ahzab [33]: 59)
Menurut Kamus Al-Muhîth, jilbab itu kal sirdab (seperti terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.
Semakna juga penjelasan dalam Kamus Ash-Shahhah, Al-Jauhari mengatakan, “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung/gamis).”
Maka menutup aurat saat keluar rumah secara sempurna harus satu paket. Dengan jilbab serta khimar. Tak bisa hanya salah satunya. Misalnya mengenakan jilbab atau gamis namun masih menampakkan rambutnya atau sebaliknya mengenakan khimar, namun pakaiannya masih berupa celana dan atasan. Atau juga mengenakan jilbab yang masih menampakkan lekuk tubuh atau warna kulit. Masih dari surah An-Nur ayat 31 bisa kita pahami batasan dalam menutupi aurat:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) tampak pada diri mereka…” (QS. An-Nur [24]: 31)
Menurut Ibnu Abbas ra. yang dimaksud dengan frasa illâ mâ zhahara minhâ dalam ayat di atas adalah muka dan telapak tangan. Demikian pula Imam Ath-Thabari menyatakan, “Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu yang biasa tampak (pada wanita) adalah muka dan telapak tangan.” (Ath-Thabari, Jâmi’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân, XVIII/94)
Demikianlah, fesyen muslim wajib menyesuaikan dengan tuntunan syariat Islam. Adapun terkait estetika kebolehannya seputar warna, Islam tidak membatasi pakaian perempuan dengan warna tertentu saja. Namun Islam membolehkan warna jilbab dan kerudungnya apa saja. Islam juga boleh menambahkan pemasangan aksesori (seperti manik-manik, lipatan, renda, kantong, dll.) dengan syarat tidak menonjolkan kecantikan (tabarruj).
Jadi menampilkan fesyen muslim ala wasathiyah yang disesuaikan selera pasar bahkan melanggar syariat (bentuk khimar dan jilbabnya tidak sesuai ketentuan syariat) hanya demi mengejar bisnis untuk menjadi kiblat fashion muslim nomor satu dunia adalah sebuah kemaksiatan. Dan tidak boleh memahami syariat Islam dalam menutup aurat dengan prinsip wasathiyah, karenajustru menyelisihi syariat.
Estetika harus dinilai baik oleh Asy-Syari’ yaitu Allah SWT. Bukan estetika yang sesuai tren yang mengubah bentuk jilbab dan khimar karenasemata mengedepankan hawa nafsu.
Wallahu a’lamu bishshawab. [SM/Ah]