Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini — Islam adalah agama yang sangat lekat dengan nasihat. Karena sejatinya agama itu nasihat. Nasihat bagi seluruh umat Islam, termasuk bagi para pemimpin kaum muslimin. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran adalah tabiat orang-orang beriman, yang menjadikan mereka tidak tergolong manusia yang merugi. Memberikan nasihat juga bisa dipandang sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang di antara sesama mukmin. Terlebih lagi, dakwah adalah kewajiban bagi setiap mukmin. Dan nasihat adalah bagian dari dakwah itu sendiri.
Namun ada sebagian pihak yang salah paham terhadap aktivitas menasihati tersebut. Apalagi jika nasihat itu ditujukan pada penguasa. Nasihat dan kritik terhadap kebijakan penguasa, kerap dimaknai sebagai bentuk kebencian pada penguasa tersebut. Tak jarang dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi kekuasaan itu sendiri. Bahkan kritik terhadap kebijakan penguasa disinyalir dapat dikategorikan sebagai pembangkangan (bughat).
Sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang wakil direktur pascasarjana sebuah perguruan tinggi agama di Makassar, ketika menyoroti berbagai bentuk perlawanan terhadap UU Cipta Kerja yang terus terjadi dan tersebar di media sosial. Menurutnya, ada kritik yang membangun dan ada pula yang justru melakukan pembangkangan pada negara. Pembangkangan yang berbentuk narasi atau tindakan melawan pemerintah yang sah, dapat mengancam stabilitas negara. Karena menurutnya, umat diperintahkan untuk mentaati ulil amri yakni pemerintahan yang sah saat ini. Dan narasi-narasi pembangkangan sudah bisa dikatakan sebagai bughat. Benarkah demikian?
Bughat dalam Islam
Bughat (bughaat[un]) adalah bentuk jamak dari al–baaghiy[u] yang merupakaan isim fa‘il (kata benda yang menunjukkan pelaku). Berasal dari kata baghaa, yabghii, baghyan-bughyat[an], bughaa[an]. Kata baghaa punya beberapa makna, antara lain thalaba (menuntut atau mencari), zhalama (berbuat zalim), i’tadaa atau tajaawazu al hadda (melampaui batas), dan kadzaba (berbohong), ‘alaa (sombong), ‘adalaa ‘an al-haqq (menyimpang dari kebenaran). (Ibrahim Anis, Mu’jam al Wasith, 1972, hal. 64-65; Munawwir, Kamus Al-Munawwir, 1997, hal. 98; ash-Shan’ani, Subul As-Salam, hal. 257, Maktabah Dahlan)
Jadi secara bahasa, al–baaghiy[u], yang bentuk jamaknya al–bughaat, dapat dimaknai azh–zhaalim (orang yang berbuat zalim), al–mu’tadii (orang yang melampaui batas), atau azh–zhaalim al–musta’lii (orang zalim yang menyombongkan diri).
Adapun secara syar’i, para ulama mendasarkan pembahasan bughat tersebut pada QS. Al-Hujurat ayat 9, “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.”
Di samping itu ada hadis-hadis Nabi saw. tentang pemberontakan kepada imam (khalifah), seperti yang ada dalam kitab As–Subul As–Salam III, hal. 257-261 dalam bab Qitaal Ahl Al-Baghiy, yang ditulis oleh Imam Ash-Shan’ani. Demikian juga pendefinisian bughat dapat mempertimbangkan data sejarah (tarikh) shahabat Nabi saw. yang mengalami pemberontakan, seperti sejarah di masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan Perang Jamal. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi’i rahimahullah, “Saya mengambil (hukum) tentang perang bughat dari Imam Ali radhiyallahu ‘anhu.” (Al Jaziri, Al–Fiqh ‘Ala Al–Madzahib Al–Arba’ah, 1990. Hal.310, dalam tulisan Ustaz Shiddiq Al-Jawi berjudul Bughat dalam Khazanah Fiqih Islam)
Maka, dengan mengkaji berbagai nas syarak terkait bughat, dapat disimpulkan bahwa ada tiga syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok sehingga termasuk bughat, sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya Nizham Al–Uqubat, 1990, hal. 79, yakni:
Pertama, terjadi pemberontakan kepada khalifah/imam (al khuruj ‘ala al khalifah). Hal ini misalnya berupa ketidaktaatan mereka pada khalifah atau menolak hak khalifah yang harusnya mereka tunaikan padanya. Misal membayar zakat. Dalil syarat pertama ini adalah keumuman dalil yang ada pada QS. Al-Hujurat ayat 9. “Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah..”
Terkait hal ini, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab (II/153) menyatakan, “Dalam ayat ini memang tidak disebut memberontak kepada imam secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Selain itu, syarat tersebut ditunjukkan pula dengan jelas oleh hadis yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al–khuruj ‘an tha’at al–imam), sebagaimana sabda Nabi saw. “Barang siapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.”(HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah ra.)
Sedangkan yang dimaksud dengan imam atau khalifah di sini bukanlah raja, presiden, perdana menteri, atau kepala negara lainnya yang memimpin negara selain negara Islam (Khilafah). Sebagaimana yang ditegaskan oleh Abdul Qadir Audah, “[Yang dimaksudkan] imam adalah pemimpin tertinggi (kepala) negara Islam (raa’is ad–daulah al islamiyyah al–a’la) atau orang yang mewakilinya…” (At–Tasyri’ Al–Jina’i Al–Islamiy, Juz II, Hal. 676, dalam tulisan Ustaz Shiddiq Al Jawi berjudul Bughat dalam Khazanah Fiqih Islam).
Kedua, adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat mampu melakukan dominasi (saytharah). Kekuatan tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga untuk menyeru golongan tersebut untuk kembali pada ketaatan terhadap khalifah, negara butuh mengerahkan segala kemampuannya, misal menyiapkan pasukan, mengeluarkan dana besar, dan menyiapkan perang. Dinyatakan pula bahwa “…. jika (yang memberontak) itu adalah afraad[an] (individu-individu), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” (Taqiyuddin Al Husaini, Kifayatul Akhyar II/197)
Maka, jika ada yang “memberontak” kepada imam atau khalifah tetapi tidak memiliki kekuatan, dan hanya dilakukan oleh satu atau beberapa orang saja yang tidak membentuk kekuatan tertentu, hal itu belum memenuhi syarat terkategori bughat.
Ketiga, menggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Syarat penggunaan senjata sering juga disebut dengan istilah asy–syaukah (yakni bisa bermakna as–silaah/ senjata). Atau disebut juga dengan istilah man’ah, yang antara lain bermakna al–‘izz (kemuliaan) dan al–quwwah (kekuatan), atau kekuatan yang bisa digunakan untuk menghalangi orang lain yang bermaksud buruk kepadanya. (Al–Mu’jam Al–Wasith, Hal. 888)
Selain didasarkan pada QS. Al-Hujurat ayat 9 “… kedua golongan itu berperang…” yang mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang yakni adanya senjata (as–silaah), syarat ketiga ini juga didasarkan pada sabda Nabi saw., “Barang siapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (HR. Bukhari No. 6366, Muslim No. 143)
Jadi jika ada kelompok yang menentang dan keluar dari ketaatan pada khalifah, tetapi dia tidak menggunakan senjata, dan hanya melontarkan kritikan atau pernyataan protes, maka kelompok tersebut belum memenuhi syarat ketiga yang dapat menggolongkannya sebagai bughat.
Dari penjelasan ini semua, dapat dipahami bahwa definisi bughat adalah kelompok yang telah terpenuhi padanya tiga syarat secara bersamaan, yakni (1) melakukan pemberontakan pada imam atau khalifah, (2) mempunyai kekuatan yang memungkinkan bughat mampu melakukan dominasi (saytharah) secara riil, (3) menggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya.
Berdasarkan syarat-syarat tersebut, Asy–Syaikh Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya Nizham Al–Uqubat, hal. 79 mendefinisikan secara jelas bahwa bughatadalah “orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah) yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya mereka adalah orang-orang yang tidak mentaati negara, mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara”. Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa “…tidak ada perbedaan apakah [golongan bughat itu] memberontak kepada khalifah yang adil atau khalifah yang zalim, baik karena alasan ta’wil (berbeda pemahaman) dalam agama maupun menghendaki dunia (seperti harta atau jabatan). Semuanya adalah bughat, selama mereka mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan Islam (sulthan Al-Islam).”
Maka jelaslah bahwa menyampaikan pendapat atau kritikan terhadap sebuah kebijakan negara, baik secara lisan atau tulisan seperti narasi-narasi di media sosial, tidak dapat disebut sebagai bughat. Karena penyampaian kritik atau pendapat tersebut tidak memenuhi syarat-syarat bughat secara syar’i.
Tentu saja bagi mukmin, isi kritik atau pendapat yang dilontarkannya itu harus sesuai dengan hukum syarak. Cara penyampaian kritiknya pun wajib disesuaikan dengan cara dan adab yang ditetapkan hukum syarak. Karena sejatinya perbuatan seorang mukmin itu wajib selalu terikat dengan hukum syarak. Terlebih dalam Islam, menasihati penguasa itu bagian dari kewajiban dakwah yang mulia.
Ulama dan Kewajiban Muhaasabah lil Hukkam
Mengoreksi atau menasihati penguasa (muhaasabah lil hukkam) adalah bagian dari aktivitas dakwah al–amr bil ma’ruf wa an–nahyu ‘an al munkar. Sedangkan dakwah, wajib hukumnya. Dalil-dalil tentang kewajiban dakwah tersebut, telah banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan Nabi saw. menyebutkan bahwa agama adalah nasihat (ad diin an nashiihah). Artinya, pilar agama ini adalah nasihat. Ketika beliau ditanya “Nasihat untuk siapa?” Di antara jawaban beliau, “…nasihat bagi pemimpin kaum muslim.”
Nabi saw. juga memuji orang yang menasihati penguasa zalim dengan sebutan afdhalul jihad (jihad yang paling utama). Beliau juga bersabda “Ingatlah, sungguh seutama-utamanya (pahala) jihad adalah (menyampaikan) kalimat yang haq pada penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud No. 4344, Tirmidzi No. 2174, Ibnu Majah No. 4011)
Jelaslah bahwa dalam Islam, dakwah menasihati penguasa adalah aktivitas mulia dan terpuji, bahkan wajib hukumnya.
Apalagi bagi seorang ulama, hendaknya berada di garda terdepan dalam dakwah. Ilmu yang dimiliki oleh para ulama mengharuskan ulama selalu terdepan dalam menjalankan aktivitas muhaasabah lil hukkam ini. Karena sejatinya hukkam adalah penguasa bagi rakyat, sedangkan ulama adalah hukkam–nya penguasa. Para ulama adalah orang yang paling tahu tentang syariat Islam dan semua kewajiban yang harus ditunaikan dalam kehidupan umat. Ulamalah yang paling paham tentang kewajiban berislam kaffah dengan menegakkan Khilafah, tahu bagaimana hakikat Khilafah secara syar’i, tahu juga apa dampaknya jika Khilafah ada dan tiada. Maka jika ulama tidak berjuang untuk menegakkan Khilafah demi melangsungkan kembali kehidupan Islam, artinya itu menyalahi ilmu yang mereka pahami.
Terlebih ulama pun akan menjadi penentu lurus atau bengkoknya penguasa. Sungguh tepat apa yang dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali, “Rusaknya rakyat disebabkan oleh rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama”. Artinya, jika ulamanya lurus, adil dan hanif, maka mereka akan mampu meluruskan kebengkokan penguasa. Sehingga para penguasa akan membuat aturan dan kebijakan yang benar dan adil sesuai hukum syarak.
Di sinilah pentingnya aktivitas menasihati penguasa (muhaasabah lil hukkam). Dengan adanya nasihat dari para ulama dan rakyat secara umum, penguasa akan selalu terjaga di jalan ketaatan pada Allah SWT dalam menjalankan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyatnya.
Maka kesimpulannya, menasihati atau mengoreksi penguasa (muhaasabah lil hukkam) itu bukanlah bughat. Menasihati penguasa adalah bagian dari pelaksanaan kewajiban dakwah yang dipandang mulia dan terpuji oleh Islam, bahkan lahir dari cinta (mahabbah).
Tujuan muhasabah lil hukkam adalah untuk menolong (nushrah). Sebagaimana hadist Nabi saw., “Tolonglah saudaramu yang zalim maupun yang dizalimi. Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, jelas kami paham menolong orang yang dizalimi, tapi bagaimana kami menolong orang yang zalim?” Nabi saw. bersabda, “Pegang tangannya [untuk menghentikan kezalimannya].” (HR. Bukhari No. 2264 dari Anas ra.)
Sedangkan bughat adalah aktifitas fisik (dengan mengangkat senjata) seraya melepaskan ketaatan pada imam/khalifah sebagai penguasa yang sah (haq). Dan bughat ini jelas tindakan tercela yang tidak sesuai dengan hukum syarak. Sementara faktanya, kaum muslimin yang mengkritik, berpendapat atau menasihati penguasa di negeri ini, tidaklah dengan mengangkat senjata dan membentuk kekuatan. Tapi hanya menggunakan lisan atau pena serta postingan di media sosial.
Jadi menyamakan aktivitas menasihati dan mengkritik penguasa dengan bughat, adalah klaim yang tidak mendasar secara syar’i dan bertentangan dengan realitas yang ada.
Adapun tentang kewajiban untuk taat pada ulil amri, maka pemahaman tentang hal itu haruslah dikembalikan pada dalil syarak tentangnya. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 59, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama dan lebih baik akibatnya.”
Dalam ayat ini, dinyatakan bahwa ulil amri memang wajib ditaati. Dan ketaatan yang dimaksudkan ayat ini adalah ketaatan pada Allah dan rasul-Nya bersifat mutlak, sedangkan ketaatan pada ulil amri itu dibatasi. Ada syaratnya, yakni ulil amri tersebut harus taat pada Allah dan rasul-Nya, dengan menerapkan hukum Islam secara kaffah. Pada saat itulah, ulil amri wajib ditaati. Jika tidak, berarti ulil amri itu bermaksiat pada Allah dan rasul-Nya. Dan dalam hal ini, Nabi saw. bersabda, “Tidak ada ketaatan dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang makruf.” (HR. Bukhari No. 7257, Muslim No. 1840)
Dalam hadis lain juga dinyatakan, “Tidak ada ketaatan terhadap seseorang dalam maksiat kepada Allah Yang Suci dan Maha Tinggi.” (HR. Ahmad, 5/66)
Maka, menasihati atau mengkritik kebijakan penguasa bukan berarti tidak taat pada ulil amri. Terlebih jika penguasa yang ada, belum sepenuhnya menerapkan Islam kaffah sebagai bentuk ketaatannya pada Allah dan rasul-Nya. Dalam kondisi seperti ini justru penguasanya harus ditolong, dengan cara muhasabah lil hukkam agar segera kembali taat sepenuhnya pada Allah dan rasul-Nya.
Kesimpulannya, muhasabah lil hukkam berbeda dengan bughat. Muhasabah lil hukkam adalah bagian dari kewajiban dakwah yang mulia dan terpuji. Lahir dari mahabbah, dan demi menolong (nushrah) menghentikan kezaliman agar segera kembali pada ketaatan total pada Allah dan rasul-Nya. Sedangkan bughat adalah tindakan fisik mengangkat senjata seiring dengan melepaskan ketaatan pada imam atau khalifah yang haq secara syar’i. Bughat seperti ini jelas tercela dan diharamkan oleh hukum syarak.
Bersama umat, ulama harus terdepan dalam aktivitas muhaasabah lil hukkam tersebut demi terjaganya penerapan hukum-hukum Allah SWT. Ulama dan umat tidak boleh gentar dalam muhaasabah lil hukkam ini. Meski dihadapkan pada berbagai opini menyesatkan atas nama proyek moderasi beragama dan pengembangan sikap toleransi serta komitmen kebangsaan.
Sikap kritis dan semangat muhaasabah lil hukkam kini justru distigmatisasi buruk dengan penyebutan intoleransi, tidak menghargai perbedaan pendapat dan keberagaman, memaksakan kehendak, bahkan dituduh bughat dan mengancam eksistensi negara. Sungguh ini tuduhan keji. Tujuannya tentu saja untuk melemahkan semangat dakwah serta upaya membungkam sikap kritis umat dan ulama terhadap kebijakan yang ada.
Maka ulama harus terus membersamai umat dalam meneguhkan komitmen keimanan mereka untuk tunduk patuh pada Allah dan rasul-Nya, menguatkan kesabaran umat dalam ketaatan, terdepan dalam dakwah dan muhaasabah lil hukkam demi ketinggian Islam serta segera terwujudnya kembali sistem Islam kaffah dalam naungan Khilafah. [SM/Ah]