Oleh: Marni Rosmiati
Suaramubalighah.com, Muslimah Inspiratif – Islam di masa kekhilafahan Abbasiyah dikenal dengan kemajuan peradabannya. Mulai dari kemajuan di bidang ekonomi, satra, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Lahir di masa itu ulama sekaligus ilmuwan hebat seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Ar-Razi, Ibnu Al-Haitsam, dan banyak lagi termasuk di antaranya yang perempuan. Mereka tidak hanya menguasai ilmu agama (faqih fiddin) tetapi juga menguasai ilmu-ilmu sains seperti sastra, astronomi, geografi, fisika, kimia, matematika, dan lain-lain.
Satu di antara ulama perempuan yang terkenal di abad pertengahan adalah Zubaidah binti Abu Ja’far Al-Manshur. Nama aslinya adalah Amatul Aziz binti Ja’far bin Abi Ja’far Al-Manshur. Ada perbedaan pendapat mengenai nama Zubaidah sebagai nama panggilannya. Ada yang mengatakan nama itu merupakan panggilan kecil ketika diasuh kakeknya. Ada juga yang mengatakan ia dijuluki itu karena kulitnya yang sangat putih dan kecerdasan yang dimilikinya.
Beliau adalah putri Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah kedua Dinasti Abbasiyah. Ayahnya Ja’far adalah saudara tiri dari Khalifah Abbasiyah Al-Mahdi. Ibunya, Salsal, adalah kakak dari Al-Khayzuran, istri kedua Al-Mahdi.
Zubaidah lahir di Mosul, Irak pada 766 M. Setelah dewasa ia menikah dengan Harun Ar-Rasyid yang merupakan satu-satunya khalifah bani Abbas yang berasal dari keturunan bani Hasyim. Harun Ar-Rasyid juga dikenal sebagai khalifah yang membawa Islam sampai pada masa kegemilangan, hingga orang Barat menyebutnya “the golden age”.
Sebagai putri khalifah, Zubaidah dari kecil mendapat asuhan dan didikan keluarga sultan. Hidupnya bergelimang harta, namun Abu Ja’far Al-Manshur, sang ayah, memberikan perhatian besar pada perkembangan ilmu pengetahuan. Sehingga tak heran jika Zubaidah tumbuh menjadi seorang ulama perempuan yang baik, cerdas, dan dermawan.
Zubaidah sangat menyukai ilmu pengetahuan dan sastra. Zubaidah sering kali mengundang para sastrawan dan cendekiawan ke istananya untuk berdiskusi tentang sastra dan membaca puisi. Seperti Abu Nuwas (penyair jenaka), Husein bin Adh-Dhahak, Al-Jahizh (sastrawan, filsuf, ilmuwan), Abu Al-‘Athiyah, Muslim bin Al-Walid, dan lain sebagainya.
Sebuah tulisan dalam majalah Asy-Syarq berjudul “Perempuan Ulama Islam pada Abad Pertengahan” karya Dr. Muhammad Ahmad Abdul Hadi menuliskan bahwa Zubaidah istri Khalifah Harun Ar-Rasyid adalah perempuan ulama penghafal Al-Qur’an yang aktif pula dalam bidang seni dan sastra. Dinding kamar Zubaidah dipenuhi hiasan kaligrafi yang berisi syair-syair puisi yang indah.
Kunci keberhasilan kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid salah satunya adalah peran istrinya tercinta, Zubaidah. Banyak kebijakan-kebijakan pemerintahan Harun Ar-Rasyid terinspirasi atas saran Zubaidah. Di antaranya Zubaidah mendirikan perpustakaan Baitul Hikmah yang artinya rumah kebijaksanaan. Perpustakaan ini berfungsi sebagai tempat menghimpun buku-buku dan karya-karya ilmu pengetahuan dari penjuru dunia, serta sebagai lembaga penelitian dan penerjemahan. Zubaidah juga mendorong khalifah untuk menekuni dan memfasilitasi semua ulama dan ilmuwan dalam risetnya. Ia juga memberikan gaji bulanan kepada setiap dokter yang membuka praktik kesehatan pada masanya. Hingga Baghdad menjadi sentra keilmuwan dunia.
Lebih dari itu, Zubaidah juga mengusulkan dan mendorong suaminya untuk membangun sarana prasarana pendidikan dan kesenian. Beliau meminta suamimya untuk mendirikan MajelisMudzakarah sebagai lembaga pengkajian masalah-masalah agama di banyak tempat.
Zubaidah juga dikenal sebagai ahli fikih dan ahli ibadah. Bersama 100 pelayan perempuannya hafizh Al-Qur’an, setiap hari beliau menjadwalkan mereka secara bergantian menyelesaiakn tasmi‘ sepersepuluh bagian Al-Qur’an. Aktivitas ini menjadikan istana Zubaidah tak pernah sepi, tetapi senantiasa dihangatkan dengan suara lantunan ayat-ayat Allah yang menggetarkan hati.
Kehidupan yang serba cukup di istana tak menjadikan Zubaidah tinggi hati. Tetapi beliau justru sangat memperhatikan kebutuhan umat. Dengan kedermawanan serta kecerdasan, beliau senantiasa memberikan solusi yang produktif.
Beliau pernah membiayai ratusan orang pergi berhaji. Dan pada saat beliau pergi berhaji bersama mereka, ternyata di perjalanan sulit mendapatkan air minum. Zubaidah melihat kondisi tanah suci Makkah yang sedang mengalami krisis air untuk minum para jemaah haji, akibat terjadinya kekeringan yang sangat panjang sehingga menyebabkan debit sumur Zamzam berkurang. Para jemaah haji memerlukan pasokan air yang memadai. Melihat kondisi tersebut, sekembalinya ke Baghdad, beliau mengumpulkan para insinyur dan memerintahkan mereka menggali sumur lebih dalam dan merancang aliran air Zamzam agar dapat kembali mengalir deras. Zubaidah langsung memanggil bendahara untuk memerintahkan menyediakan insinyur dan arsitek bangunan.
Kemudian dibuatlah saluran air sepanjang 10 km dari Makkah hingga Hunain dengan menghabiskan biaya sekitar 1.700.000 dinar. Saluran air tersebut kemudian diberi nama “Ain Zubaidah” yang artinya Mata Air Zubaidah. Merujuk dari buku A’lam An-Nisa’, Al Yafi’i selaku penulis biografi tokoh perempuan menyebutkan, bahwa Mata Air Zubaidah sebagai sebuah bangunan yang sulit untuk digambarkan keindahannya. Jejaknya masih terlihat dan mencakup bangunan besar yang mengagumkan.
Produktivitas Zubaidah di tengah umat tak berhenti sampai di situ saja. Beliau juga membangun banyak masjid, waduk untuk mengairi irigasi, dan jembatan di wilayah Hijaz, Syam, dan Baghdad. Zubaidah dan suaminya Khalifah Harun Ar-Rasyid dinilai telah berjasa merekonstruksi dan merehabilitasi Kota Makkah. Zubaidah juga menghabiskan dana sekitar 54 juta dirham untuk membuat perkampungan Darbu Zubaidah. Di sana beliau membuat jalan yang menghubungkan Irak dengan Makkah dan menggali sumu-sumur sebagai sumber air minum. Kondisi ini menjadikan para musafir nyaman melakukan perjalanan dan beristirahat.
Di tengah gelimang harta dan kekuasaan tidak menjadikan kehidupan Zubaidah semata dipenuhi kenikmatan duniawi. Akan tetapi keimanan dan keluasan ilmu agama telah menjadikannya sosok ulama perempuan yang hanya takut kepada Allah dan mampu menaklukkan dunia dalam genggamannya. Segala yang ia miliki, ia persembahkan untuk kesejahteraan umat dan untuk meraih rida Allah SWT yang nilaianya jauh lebih besar daripada hartanya di dunia.
Kontribusi ulama perempuan dalam sistem Islam (Khilafah) jelas dalam rangka beramal saleh dan untuk kemaslahatan umat. Bukan untuk semata eksistensi diri terlebih untuk agenda musuh Islam seperti kesetaraan gender.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]