Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini — Ribuan umat muslim dari berbagai negara kembali turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi. Menuntut pemerintah Swedia dan Belanda agar menindak tegas para pelaku penista agama yang melakukan tindakan keji yaitu membakar kitab suci Al-Qur’an.
Peristiwa pembakaran kitab suci Al-Qur’an yang terjadi di depan Kantor Dubes Turki di kota Stockholm, Swedia, dilakukan oleh politikus sayap kanan Starm Kurs (Garis Keras) Rasmus Paludan, berkewarganegaraan Swedia-Denmark. Konon, aksi Paludan ini dipicu oleh sikap Turki yang dinilai telah menghalangi Swedia menjadi anggota NATO. Karena Turki telah menuntut Swedia agar bersikap tegas kepada kelompok Kurdi sebagai syarat untuk diterima keanggotaannya, yang membutuhkan dukungan dari 30 negara. Termasuk di antaranya adalah Turki.
Mirisnya, aksi Rasmus Paludan ini, bukan aksi yang pertama. Sepekan kemudian, ia juga melakukan aksi serupa di Copenhagen, Denmark. Bahkan pada tahun 2017 dan 2020, ia juga pernah membakar Al-Qur’an. (cnnindonesia.com, 24/01/2023)
Selain Paludan, Edwin Wagensveld seorang tokoh politikus sayap kanan Belanda dan pemimpin kelompok Pegida yang anti-Islam juga melakukan hal yang sama. Di Twitter, diperlihatkan video dirinya yang membakar sobekan halaman Al-Qur’an, di dalam sebuah panci di kota Den Haag pada Ahad (22/01/2023). Wagensveld juga pernah menggelar aksi merusak Al-Qur’an saat unjuk rasa kelompok Islamofobia, Pegida, di Rotterdam pada Oktober 2022. (republika.co.id, 26/01/2023)
Peristiwa ini semakin menyadarkan kita bahwa masyarakat Barat, khususnya para politisi Eropa mengalami kondisi Islamofobia yang akut. Mereka bersikap hipokrit, rasialis, dan terus-menerus berlindung pada jargon “freedom of speech” untuk melegalkan dan mempromosikan Islamofobia di tengah-tengah masyarakatnya.
Freedom Of Speech, Senjata Barat Mempromosikan Islamofobia
Istilah Islamofobia pertama kali diperkenalkan dan di publikasikan menjadi sebuah konsep dalam artikel “Runnymede Trust Report” pada November tahun 1997 oleh Komisi untuk Muslim Britania dan Islamofobia.
Islamofobia memiliki makna yang beragam, di antaranya mengandung makna berupa rasa takut dan benci kepada Islam, atau rasa takut dan tidak suka kepada segala yang berkaitan dengan umat muslim.
Islamofobia atau sikap takut terhadap Islam ini, lalu dibentuk sedemikian rupa oleh Barat dan Eropa. Sehingga menjadi sebuah gerakan di masyarakat yang berfungsi sebagai alat dan senjata bagi Barat untuk menyebarkan propagandanya menyerang Islam. Melalui media-medianya, Barat telah membentuk opini di tengah-tengah masyarakat bahwa Islam dan umat muslim adalah komunitas yang akan mengancam masyarakat. Dengan framing Islam dan umat muslim sebagai ajaran yang jahat dan “teroris”.
Kemudian dari opini ini akhirnya memunculkan rasa takut dan benci dari masyarakat Barat dan Eropa terhadap Islam dan simbol-simbolnya. Selanjutnya kebencian ini bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan Islamofobia akut, yang meluas ke berbagai negara dan budaya. Bahkan beberapa kasus, penguasa setempat mendukung dan melegalkan aksi tersebut dalam bentuk undang-undang. Serta upaya-upaya penyerangan terhadap Islam dan simbol-simbolnya di bawah ide “freedom of speech”.
Dengan jargon “freedom of speech”, Barat telah melindungi para pelaku Islamofobia. Terutama para politisi mereka yang telah melancarkan berbagai bentuk aksi dan praktik-praktik rasisme, diskriminasi, serta bentuk-bentuk kekerasan terhadap hak asasi manusia yang mengancam kerukunan sosial terhadap umat muslim.
Inilah bentuk hipokrit masyarakat Barat terhadap dunia Islam. Satu sisi ide freedom of speech digunakan oleh para penguasa dan politikus Barat untuk menoleransi demonstrasi dan berbagai tindakan anti-Islam yang bertujuan untuk memfitnah, merendahkan, serta memusuhi Islam dan umat muslim di negeri-negeri mereka.
Sementara di sisi yang lain, freedom of speech juga disuntikkan oleh Barat ke negeri-negeri muslim dalam bentuk sistem pemerintahan demokrasi, ide sekularisme, dan liberalisme. Sehingga umat Islam telah terinfeksi oleh jargon ini. Tanpa sadar, dengan rela, dan penuh suka cita membebek pada sistem pemerintahan demokrasi dan ide-ide Barat yang lainnya. Padahal sejatinya sistem dan ide ini adalah alat kekuasaan Barat untuk mencengkeram negeri-negeri muslim. Sekaligus menjadi senjata penghancur pemikiran-pemikiran Islam yang menyerang dari dalam tubuh umat Islam itu sendiri.
Akibatnya, kasus penistaan terhadap Islam dan simbol-simbol umat muslim terus terjadi berulang-ulang. Sedangkan umat hanya mampu bersikap sebatas mengecam dan mengutuk pelaku. Karena secara politik, umat tidak memiliki kekuasaan. Sementara para penguasa muslim, mereka pun tak berdaya untuk bertindak tegas sebab mereka telah tersandera oleh kepentingan dan konspirasi politik kapitalisme-sekuler.
Khilafah, Perisai Islam dan Umat Manusia
Menghadapi maraknya kasus pembakaran Al-Qur’an yang terus berulang, sudah selayaknya umat muslim marah dan menuntut keadilan, agar para pelaku penista agama dapat dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Namun, saat jumlah umat muslim yang banyak, tapi tidak mampu mencegah tindakan penistaan ini. Atau ketika melihat fakta bahwa para penguasa muslim hanya bisa mengecam/mengutuk tanpa mampu bertindak tegas untuk mencegah dan menghukum para pelaku Islamofobia, maka semestinya muncul kesadaran bahwa sistem demokrasi-kapitalisme yang diperjuangkan bukanlah jalan perubahan. Sistem ini sudah usang dan tidak mampu melindungi Islam dan umat muslim.
Oleh karena itu, umat membutuhkan pelindung dan perisai yang akan menyelamatkan mereka dari segala bentuk kezaliman, pelecehan, dan penistaan. Islam dan umat muslim hanya akan mulia dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Sehingga seluruh kebaikan dan keberkahan akan terpancar untuk seluruh alam semesta.
Pelindung dan perisai itu bernama Khilafah Islamiyah. Khilafah akan menghalangi dan mencegah musuh mencelakai umat Muslim. Serta mencegah antarmanusia satu dengan yang lainnya untuk saling mencelakai. Memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia akan berlindung di belakangnya. Mereka seluruhnya akan tunduk di bawah kekuasaannya.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Demikianlah, dengan tegaknya Khilafah, umat Islam bukan hanya memiliki pelindung. Namun lebih dari itu, umat ini akan menjadi umat yang kuat dan juga mulia.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]