Oleh: Hayyin Thohiro
Suaramubalighah.com, Opini — Dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR, Kamis (19/01/2023), Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan ongkos naik haji (ONH) 2023—yang dikenal juga sebagai biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 2023—ditetapkan sebesar Rp69,2 juta. Jumlah ini adalah 70% dari usulan rata-rata biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara itu, 30% sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta.
Padahal, Bipih 2022 ditetapkan bagi setiap jemaah di angka Rp39,8 juta. Artinya, jemaah haji Indonesia ke depan harus membayar 73% lebih mahal dibandingkan jemaah yang berangkat ke tanah suci pada tahun-tahun sebelumnya.
Kenaikan biaya ibadah haji yang kian melangit ini sudah tentu menimbulkan berbagai silang pendapat. Sebagian menilai ini wajar seiring meningkatnya pelayanan dan komersialisasi haji oleh pemerintah Arab Saudi. Namun, tidak sedikit pula yang sebaliknya. Banyak pihak bersuara menyarankan berbagai pendapat terkait pengelolaannya.
Spirit Bisnis
Dalam sistem kapitalisme, jika ada barang atau sesuatu yang bernilai manfaat, tidak boleh didiamkan saja, harus menghasilkan keuntungan. Begitulah ketika sistem yang diterapkan bukan berasal dari yang menciptakan manusia. Ketamakan sekelompok orang membuat masyarakat yang ingin beribadah pun turut dimanfaatkan.
Sebetulnya, masalah mendasar dalam pengelolaan dana hingga penyelenggaraan haji saat ini terletak pada spirit bisnis yang hadir di tengah tingginya hasrat umat Islam untuk berhaji. Sebagai rukun Islam, kaum muslim tentu berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankannya. Dengan demikian, semestinya tidak boleh ada komersialisasi penyelenggaraan haji oleh pihak mana pun.
Sayangnya, dalam sistem kapitalisme, semua yang bisa bernilai bisnis adalah peluang, termasuk penyelenggaraan ibadah haji. Tidak peduli dengan kondisi umat yang mengazamkan niat suci untuk mengunjungi Tanah Haram. Akhirnya, prinsip-prinsip pengelolaan dana haji kental dengan spirit kapitalisme. Bagi kaum kapitalis, mana mungkin dana sebesar itu akan dibiarkan menganggur. Keinginan untuk berhaji yang bertemu dengan naluri bisnis dalam sistem yang kapitalistik, ampuh menjadi bahan bakar dalam menjalankan prinsip-prinsip investasi. Inilah masalah mendasarnya.
Terlebih lagi, wewenang Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang tertuang dalam UU 34/2014 menetapkan bahwa dalam pengelolaan keuangan haji, BPKH tidak hanya mengelola penerimaan dana haji, melainkan juga pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawabannya. Dampaknya adalah hitung-hitungan untung-rugi dalam pengelolaan dana. Walhasil, naiknya biaya bukan semata karena kurs rupiah, melainkan juga konsekuensi dari spirit bisnis yang hadir dalam pengelolaan dana.
Padahal, dalam Islam, prinsip-prinsip pengembangan harta sesungguhnya bersifat khas. Seorang pemilik harta (shahibul-mal) dapat mengembangkan hartanya melalui kerja sama dengan pengelola harta (mudarib). Dalam konteks investasi dana para jemaah, jelas tidak memenuhi prinsip pengembangan harta dalam Islam. Dengan sendirinya, maqhasid syariat (terwujudnya manfaat bagi umat) dalam pengelolaan dana para jemaah justru kabur dan konteksnya tidak sesuai.
Kapitalisasi Ibadah
Hitung-hitungan ala kapitalisme ini berawal dari kian panjangnya antrean para jemaah haji yang telah terdaftar. Merujuk data Kemenag, jumlah pendaftar haji setiap tahunnya mencapai angka 5,5 juta. Jika dibagi kuota normal per tahun sebanyak 221.000, masa tunggu haji rata-rata bisa mencapai 25 tahun. Dalam rentang waktu ini, dana haji yang telah calon haji setorkan berada di bawah pengelolaan BPKH.
Mengutip buku elektronik Apa dan Bagaimana Investasi Keuangan Haji BPKH, dijelaskan bahwa pengelolaan tersebut dilakukan oleh Badan Pelaksana Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas. Sebelum BPKH, pengelolaan dana haji menjadi tanggung jawab Kemenag.
Pada saat itu, Kemenag berwenang untuk menginvestasikan BPIH ke tiga instrumen investasi, yaitu deposito berjangka syariat, surat utang negara (SUN), dan surat berharga syariah negara (SBSN). Akan tetapi, sejak pengelolaan dana haji beralih pada BPKH, alokasi investasi menjadi lebih luas. Sesuai peraturan, investasi keuangan haji dapat melalui berbagai bentuk instrumen investasi yakni, surat berharga syariah, emas investasi langsung, dan investasi lainnya.
Tatkala masyarakat Indonesia—yang notabene mayoritas muslim—gaduh dengan rencana pemerintah menaikkan ongkos haji, hal berbeda terjadi di Arab Saudi. Wakil Kementerian Haji dan Umrah untuk Layanan Haji dan Umrah Dr. Amr bin Reda Al-Maddah mengatakan bahwa biaya paket ibadah haji 2023 30% lebih murah dibandingkan tahun lalu.
Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi mengumumkan bahwa lebih dari 90% paket haji ekonomi telah terjual sejauh ini. Dikutip dari Gulfnews, Jumat (20/01/2023), Al-Maddah menambahkan, kategori domestik dibagi berdasarkan perusahaan penyedia layanan.
Oleh karena itu, daya serap akan diputuskan sesuai jenis layanan yang disediakan di kamp atau penginapan. Awal pekan lalu, Kementerian mengatakan, jemaah haji dalam negeri memiliki pilihan untuk mencicil paket haji mereka sebanyak tiga kali daripada membayar jumlah penuh di muka sebagaimana diwajibkan sebelumnya.
Untuk memesan tempat, calon jemaah harus melakukan pembayaran sebagian sebesar 20% total biaya dalam waktu 72 jam sejak pendaftaran. Angsuran kedua sebesar 40% harus dibayar pada 7/7/1444 Hijriah, dan 40% sisanya harus dibayar pada 10/10/1444 Hijriah.
Menteri Haji Arab Saudi Tawfiq Al-Rabiah mengatakan, jumlah jemaah haji akan kembali ke angka sebelum pandemi Covid-19 dengan pembatasan, termasuk batasan usia. Pemerintah Arab Saudi bahkan telah mencabut semua pembatasan yang diberlakukan pada ibadah haji setelah pandemi virus corona.
Kepala BPKH Anggito Abimanyu menyebutkan, dana haji per Mei 2021 mencapai Rp150 triliun. Menurutnya, ini tetap aman, tidak ada utang akomodasi Arab Saudi dan tidak ada alokasi infrastruktur yang menimbulkan risiko tinggi bagi dana haji. Ia juga mengatakan bahwa dalam Laporan Keuangan BPKH sampai 2020, tidak ada catatan utang dalam kewajiban BPKH kepada pihak penyedia jasa perhajian di Arab Saudi.
Pada 2020, BPKH membukukan surplus keuangan lebih dari Rp5 triliun dan dana kelolaan tumbuh lebih dari 15%. Ini tertuang dalam Laporan Keuangan 2020 (unaudited). Hanya saja apakah dana haji itu likuid? Ataukah cuma ada dalam catatan?
Saat itu, terdapat garansi dana aman karena ditutupnya penyelenggaraan haji pada 2020. Tidak ada pemberangkatan jemaah haji sehingga tidak butuh cash flow untuk memberangkatkan jemaah. Namun, 2023 ini, dengan adanya kesepakatan yang ditandatangani oleh Menag RI Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Haji dan Umrah Arab Saudi Tawfiq Al-Rabiah, kuota haji Indonesia 2023 sebesar 221 ribu jemaah.
Dengan demikian, harus ada dana tunai untuk memberangkatkan sekitar 221.000 jemaah haji. Dikali Rp40 juta saja, dana yang harus tersedia sudah mencapai Rp8,85 triliun. Masalahnya, apakah di BPKH tersedia dana yang dibutuhkan tersebut? Kekhawatiran para jemaah adalah dana yang ada di BPKH cuma tercatat, sedangkan uangnya sudah berubah bentuk menjadi sukuk, pembiayaan proyek infrastruktur, ataupun pembiayaan berbagai proyek lainnya.
Akhirnya, untuk mendapatkan dana tunai, harus mengambil dari jemaah yang mau daftar berhaji. Tersebab butuh dana tunai yang besar, biaya haji pun dinaikkan menjadi Rp69 juta sehingga akumulasi anggarannya bisa memberangkatkan 221.000 jemaah sesuai kuota (100%).
Dengan begitu, jaminan keberangkatan jemaah haji ke tanah suci bukan berasal dari uang yang sudah mereka bayar (kumpulkan), melainkan bergantung pada pengumpulan dana calon jemaah haji yang baru.
Kondisi seperti Ini mirip dengan skema Ponzi. Keuntungan yang dibagi ke investor bukan dari keuntungan bisnis, melainkan dari dana investor sendiri ditambah dana investor baru. Sepanjang ada investor baru, akan ada margin yang dibagi. Begitu tidak ada investor baru, barulah tampak modus penipuan yang diawali dengan tidak dibaginya keuntungan hingga hilangnya modal.
Sungguh, berhaji adalah ibadah. Sudah seyogianya negara memudahkan dan tidak menarik keuntungan dari biaya setoran jemaah. Dari sini saja, tampak jelas adanya kapitalisasi dalam penyelenggaraan haji.
Pengelolaan Haji dalam Negara Khilafah
Allah SWT telah menetapkan haji sebagai fardu ain bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali ‘Imran [03]: 97)
Nabi saw. bersabda, “Wahai manusia, Allah SWT telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Bagi setiap muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikannya, kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya. Saat itu juga ia wajib berazam untuk menunaikan haji. Jika karena satu dan lain hal ia tidak bisa menunaikannya, kemudian meninggal sebelum sempat menunaikannya, ia dinyatakan tidak berdosa karena telah berazam saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya. Namun, jika ia mempunyai ghalabatuzh-zhan (dugaan kuat) bahwa kemampuannya akan hilang sebelum menunaikan haji, ia tidak boleh menangguhkan hajinya. Sebaliknya, ia wajib menunaikan haji saat itu juga. Jika tidak, ia berdosa. (Lihat, Al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hlm. 660)
Selain masalah hukum syarak yang terkait syarat, wajib, dan rukun haji, juga terdapat masalah hukum ijra’i yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah. Hanya saja, karena ibadah haji ini dilaksanakan pada waktu tertentu (Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah) dan tempat tertentu (Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah, termasuk Madinah), dibutuhkanlah pengaturan yang baik oleh negara.
Hukum ijra’i sebagai bentuk pengaturan—yang notabene derivasi dari hukum syarak—tentu tidak boleh menabrak hukum syarak itu sendiri. Contohnya, ditetapkannya syarat usia 18 tahun dalam UU 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, jelas menyalahi hukum syarak khususnya ketentuan tentang usia balig. Ketentuan seperti ini tidak boleh ada, meski dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan. Selain itu, Islam juga menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani oleh orang yang profesional.
Berikut ini kebijakan yang bisa ditempuh oleh Khilafah sebagai sebuah negara penyelenggara ibadah haji:
Pertama, Khilafah akan membentuk departemen khusus untuk mengurus urusan ibadah haji dan umrah. Ini berlaku dari pusat sampai daerah yang tersentralisasi. Hal ini agar memudahkan calon haji dalam persiapan, bimbingan, pelaksanaan, sampai kepulangannya. Departemen ini akan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan dan Departemen Perhubungan guna pelayanan terbaik bagi calon haji.
Kedua, jika negara harus menetapkan ONH, besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan tanah haram (Makkah-Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari Tanah Suci.
Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara adalah riayatusy-syuun al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jemaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung-rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya.
Khilafah juga bisa membuka opsi, yakni rute darat, laut, atau udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang berbeda. Pada masa Kekhalifahan Sultan Abdul Hamid II, membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abbasiyyah Harun Ar-Rasyid membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah-Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.
Ketiga, Khilafah adalah sebuah kesatuan wilayah yang berada dalam satu kepemimpinan dan satu wilayah negara. Oleh karenanya, akan ada kebijakan penghapusan visa haji dan umrah karena seluruh jemaah adalah warga Khilafah yang bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas diri saja, semisal KTP atau paspor, sedangkan untuk visa berlaku untuk muslim yang menjadi warna negara kuffar, baik harbi hukman maupun fi’lan.
Keempat, dalam hal pengaturan kebijakan kuota haji dan umrah, Khalifah berwenang mengatur masalah ini sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Khalifah pun harus memperhatikan beberapa hal terkait permasalahan pengaturan ibadah haji, yakni kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup dan kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Bagi calon jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sedangkan sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, maka mereka akan diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik jika Khilafah mempunyai database seluruh rakyat di wilayahnya agar pengaturan ini bisa terlaksana dengan baik dan mudah.
Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah-Madinah. Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidilharam, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jemaah haji dan umrah. Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan oleh Khilafah selanjutnya. Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah karena situs-situs itu bisa membangkitkan kembali memori jamaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam sehingga bisa memotivasi mereka. Wallahu a’lam. [SM/Ah]