Fesyen Busana Muslimah dalam Kajian Fiqh

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Dalam satu dekade terakhir, kita saksikan terjadi perubahan besar dalam dunia fashion (fesyen) muslim di negeri ini, khususnya busana muslimah. Fenomena baru yang lebih dikenal masyarakat sebagai revolusi hijab, terjadi secara masif di seluruh negeri. Hijab (jilbab dan kerudung) yang dahulu diasosiasikan sebagai busana kampungan, puritan, santri, dan identik budaya Arab, kini berubah 180 derajat menjadi topik modern, stylish, trendy, techy, dan fashionable. Tak hanya itu, dengan citra baru yang cool, jutaan muslimah pun kemudian berlomba-lomba mengenakannya dengan penuh percaya diri.

Fenomena yang dikenal sebagai revolusi hijab ini tentu patut kita beri apresiasi dan perhatian serius. Jangan sampai fenomena ini hanya sekadar tren sesaat, dan akan hilang saat hijab tak lagi diminati. Penggunaan hijab (jilbab dan kerudung) ini tentu harus dibangun atas dasar kesadaran dan niat yang benar bagi setiap muslimah yang mengenakannya, semata-mata karena menjalankan syariat Allah. Bukan sekadar tren, harus diiringi cara berbusana muslimah yang benar menurut syariat Islam.

Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa fesyen busana muslimah bisa dikategorikan sebagai kebutuhan primer (untuk menutup aurat dan badan), kebutuhan sekunder (untuk memperindah dan mempercantik diri), dan kebutuhan tersier (sebagai industri produk halal yang dapat dikembangkan guna peningkatan ekonomi agar dapat menjadi kiblat fesyen muslim dunia). Dengan demikian menurut pendapat ini, pengembangan fesyen busana muslim haruslah menggunakan perspektif wasathiyyah (sikap pertengahan), mengikuti pendapat moderat, dan mengedepankan model yang fashionable dan estetik.

Benarkah pendapat demikian? Bagaimana syariat Islam memandang  persoalan ini? Dan bagaimana kriteria fesyen busana muslimah dalam kajian fiqh Islam?

Kewajiban Muslimah Menutup Aurat

Sebagai dien yang sempurna, Islam turun dengan seperangkat aturan yang mengatur berbagai persoalan. Kesempurnaan aturan Islam mencakup hubungan manusia dengan Allah dalam perkara akidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri dalam perkara makanan/minuman, pakaian, dan akhlak; serta hubungan manusia dengan sesamanya dalam perkara muamalah dan ‘uqubat/ sanksi hukum.

Dalam perkara pakaian/ busana, Allah telah mengatur demikian rinci aturan berpakaian, termasuk ketika seorang muslimah keluar rumah. Ketika seorang muslimah keluar rumah, Islam telah menetapkannya untuk terikat dengan dua perkara. Yaitu pertama, ia wajib menutup aurat. Kedua, ia wajib mengenakan pakaian yang ditunjukkan oleh syariat Islam.

Kewajiban muslimah menutup aurat ini diterangkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits. Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’râf: 26)

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan terkait surat Al-A’raf ayat 26 ini adalah Allah SWT menyebutkan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, antara lain Dia telah menjadikan untuk mereka pakaian dan perhiasan. Pakaian untuk menutupi aurat, sedangkan perhiasan untuk memperindah penampilan lahiriah. Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai makna dari pakaian terbaik adalah ketakwaan. Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan libasut taqwa ialah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang bertakwa kelak di hari kiamat. Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Adapun Zaid ibnu Ali, As-Saddi, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa libasut taqwa ialah iman. Sedangkan menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, libasut taqwa ialah amal saleh.

Dan Allâh Azza wa Jalla juga berfirman dalam ayat lain:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

“Wahai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A’râf: 31)

Sebab turunnya ayat 31 surah Al-A’raf ini sebagaimana yang disebutkan dalam Shahîh Muslim dari Ibnu Abbâs radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

كَانَتْ الْمَرْأَةُ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَهِيَ عُرْيَانَةٌ … فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

Dahulu para wanita tawaf di Ka’bah tanpa mengenakan busana … kemudian Allâh menurunkan ayat:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ

“Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid…” (HR. Muslim, no. 3028)

Dari kedua ayat Al-Qur’an ini dipahami bahwa seorang muslimah wajib menutup auratnya. Dan dalam surah Al-A’raf ayat 2 ditunjukkan bahwa pakaian adalah untuk menutup aurat bagi kaum muslim, baik laki-laki maupun perempuan.

Adapun pengertian aurat sendiri adalah bagian anggota tubuh yang tidak boleh ditampakkan dan diperlihatkan oleh laki-laki maupun perempuan kepada orang lain

[Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 31/44].

Mengenai batasan anggota tubuh yang dianggap aurat, para ulama fiqh membedakan antara aurat laki-laki dan perempuan. Untuk aurat laki-laki, walaupun ada perbedaan, secara umum mayoritas ulama fiqh berpendapat bahwa aurat laki-laki adalah bagian tubuh antara pusar sampai dengan kedua lutut. Sedangkan untuk aurat perempuan, ulama fiqh juga berbeda pendapat, tetapi pendapat mayoritas mazhab sepakat bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ulama yang berpendapat ini antara lain Imam Malik, Ibn Hamz dari golongan Zhahiriyah dan sebagian Syi’ah Zaidiyah, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari keduanya, Hanafiyah dan Syi’ah Imamiyah dalam satu riwayat, para sahabat Nabi ﷺ dan tabi’in, di antaranya Ali bin Abi Thalib ra., Ibn Abbas ra., Aisyah ra., ‘Atha ra., Mujahid ra., Al-Hasan ra., dan lain-lain.

Dalil terkait aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan dijelaskan dalam Al-Hadits berikut:

Rasulullah ﷺ pernah menegur Asma binti Abu Bakar radhiyallahu anha ketika beliau datang ke rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan busana yang agak tipis. Rasulullah ﷺ pun memalingkan wajahnya sambil berkata:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا

“Wahai Asma! Sesungguhnya wanita jika sudah baligh maka tidak boleh nampak dari anggota badannya, kecuali ini dan ini (beliau mengisyaratkan ke wajah dan kedua telapak tangan).” (HR. Abu Dâwud no. 4104 dan Al-Baihaqi no. 3218)

Nabi ﷺ juga pernah didatangi oleh seseorang yang menanyakan perihal aurat yang harus ditutup dan yang boleh ditampakkan, maka beliau pun menjawab:

احْفَظْ عَوْرَتَكَ إلَّا مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ.

“Jagalah auratmu kecuali terhadap (penglihatan) istrimu atau budak yang kamu miliki.” (HR. Abu Dâwud no. 4017; Tirmidzi no. 2794; Nasa’i dalam kitabnya Sunan Al-Kubrâ no. 8923; Ibnu Mâjah no. 1920)

Allah Azza wa Jalla bahkan mengancam setiap perempuan yang tidak menutup auratnya dengan ancaman tidak akan mencium bau surga sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, beliau berkata :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  : صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَمْثَالِ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَتُوجَدُ مِنْ مَسِيْرةٍ كَذَا وَكَذَا

Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: (yang pertama adalah) Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan (yang kedua adalah) para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berpaling dari ketaatan dan mengajak lainnya untuk mengikuti mereka, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim, no. 2128)

Dalam riwayat lain Abu Hurairah menjelaskan, bahwa aroma surga bisa dicium dari jarak 500 tahun. (HR. Malik dari riwayat Yahya Al-Laisiy, no. 1626)

Dari sini disimpulkan bahwa seorang muslimah wajib menutup auratnya ketika ia keluar rumah atau ketika dilihat oleh orang lain yang bukan mahramnya.

Pakaian Muslimah dalam Kehidupan Umum

Ketika seorang muslimah keluar rumah atau dalam kehidupan umum, Islam telah menetapkan pakaian seperti apa yang harus ia kenakan untuk bisa menutupi auratnya secara sempurna. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah menjelaskan, pakaian yang disyariatkan kepada seorang muslimah ketika keluar rumah atau dalam kehidupan umum, ada dua bagian, yakni pakaian bagian atas (al-libas al-a’la), dan pakaian bagian bawah (al-libas al-adna). Pakaian bagian atas itu berupa kerudung atau khimar. Sementara pakaian bagian bawah berupa jilbab (gamis).

Perintah kepada muslimah untuk mengenakan pakaian bagian atas berupa kerudung yang bahasa Arabnya adalah khimar ini disampaikan dalam firman Allah ﷻ:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Katakanlah kepada para wanita mukmin, “Hendaklah mereka menahan pandangan dan memelihara kemaluan mereka. Janganlah mereka menampakkan perhiasan (aurat) mereka, kecuali yang (biasa) tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada-dada mereka…” (QS. An-Nur: 31)

Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-rasu). (Tafsir Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul ‘Arabi, Ahkamul Quran, 6/65 ).

Menurut Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisan Al-‘Arab: Al-khimar li al-mar’ah: an-nashif  (khimar bagi perempuan adalah an-nashif  [penutup kepala]). Menurut Imam Ali Ash-Shabuni, khimar (kerudung) adalah ghitha’ ar-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada) agar leher dan dadanya tidak tampak. Kewajiban mengenakan khimar didasarkan pada QS. An-Nur ayat 31 di atas.

Sementara pakaian bagian bawah berupa jilbab. Adapun kewajiban berjilbab bagi muslimah ditetapkan berdasarkan firman Allah ﷻ:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ…

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri kaum mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka…” (QS. al-Ahzab: 59)

Di dalam Kamus Al-Muhith dinyatakan, jilbab itu seperti sirdab (terowongan) atau sinmar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung. Dalam Kamus Ash-Shahhah, Al-Jauhari mengatakan, “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung/gamis).”

Dalam kitab Al-Mu’jam Al-Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo: Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “ats-tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “ma yulbasu fauqa ats-tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “al-mulaah tasytamilu biha al-mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).

Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/ mulaah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam), lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya. Oleh karena bagian kepala hingga leher dan dada telah ditutup kerudung, maka mengulurkan jilbab itu berarti mengulurkannya dari leher atau pundak hingga kaki. Dengan demikian, wajah tidak termasuk dalam cakupan anggota tubuh yang ditutup jilbab.

Kewajiban berjilbab bagi muslimah ini juga diperkuat oleh riwayat Ummu ‘Athiyyah yang berkata: Pada dua hari raya kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jemaah kaum muslim dan doa mereka. Namun, wanita-wanita haid harus menjauhi tempat salat mereka.

Seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Lalu Rasul ﷺ bersabda, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Andaikan berjilbab bagi muslimah tidak wajib, niscaya Nabi ﷺ akan mengizinkan kaum muslimah keluar dari rumah mereka tanpa perlu berjilbab. Hadits ini pun menegaskan kewajiban berjilbab bagi para muslimah.

Adapun istilah “hijab” yang lebih populer dikenal masyarakat saat ini, artinya telah mengalami metamorfosis. Dari konotasi tabir (penutup), bahkan purdah. Istilah “hijab” kini populer digunakan dengan konotasi pakaian muslimah yang menutup aurat. Maka, ada istilah “hijabers” untuk komunitas pemakai “hijab”. Karena model dan bentuknya beragam, maka ada lagi istilah, “hijab syar’i” dengan konotasi pakaian muslimah yang memenuhi kriteria syariat di atas, yakni mengenakan kerudung dan jilbab. Makna Jilbab lebih populer dengan nama  gamis, jubah, atau abaya.

Syariat Pakaian Tidak Mengandung ‘Illat

Hukum syariat yang berkaitan dengan pakaian ini tidak boleh dikaitkan dengan ‘illat sama sekali. ‘Illat adalah alasan yang membangkitkan disyariatkannya hukum. Hukum syariat dalam masalah pakaian memang tidak mengandung ‘illat. Hukum tersebut diambil sesuai dengan apa yang terdapat dalam nas (Al-Qur’an dan Al-Hadits) saja secara tauqifi (apa adanya) dan diterima dengan penuh kepasrahan, tanpa mencari-cari ‘illat atau latar belakang kenapa harus berjilbab dan berkerudung.

Bahkan termasuk kesalahan yang cukup berbahaya apabila kita mencari-cari ‘illat dalam hukum berpakaian muslimah. Implikasinya, jika ‘illat-nya hilang, maka hukumnya pun akan hilang. Sebab ‘illat itu senantiasa mengikuti ma’lul (objek hukum)-nya, ada atau tidak adanya ‘illat.

Seandainya ‘illat berhijab (berkerudung dan berjilbab) adalah untuk menghindari tindak kejahatan dan melindungi tubuh, hal ini dapat mengakibatkan jika tingkat kejahatan sudah nol dan tempat aman, maka hukum wajibnya menutup aurat akan hilang. Tentu tidaklah demikian. Oleh karena itu, mencari-cari ‘illat dalam hal pakaian (yang jelas-jelas tidak ada ‘illat-nya) akan membahayakan eksistensi hukum dan pelaksanaannya.

Di samping itu, seorang muslimah menerima dengan pasrah dan bersenang hati dalam menaati syariat Allah termasuk dalam berkerudung dan berjilbab ini. Bukan atas dasar manfaat, tetapi semata-mata atas dasar ikhlas menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Adapun mengenai hikmah (tujuan dan akibat perbuatan), maka sesungguhnya Allah sendirilah yang Maha Mengetahuinya. Akal kita tidak mungkin menjangkau hakikat Zat Allah dan tidak akan mampu menjangkau hikmahnya. Adapun hikmah yang disebutkan dalam nas atau dalil syariat, maka pengertian hikmahnya terbatas apa yang tercantum pada nas itu saja, dan diambil hanya dari nash tersebut, tidak dianalogikan kepada yang lain. Apa yang tidak disebut hikmahnya oleh nas, kita tidak boleh mencari-cari hikmahnya, sebagaimana kita tidak boleh mencari-cari ‘illat-nya. [SM/Ah]