Tanya:
Suaramubalighah.com, Tanya Jawab — Pertanyaannya secara syariat, sanksi apa yang dijatuhkan kepada pemerkosa (al-mughtashib) dalam kasus 12 santriwati, dikebiri atau dirajam?
Jawab:
K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si. pada Ahad (19/12/2021) di kanal Youtube Ngaji Subuh menjelaskan sebagai berikut:
Sanksi pertama bagi pemerkosa adalah dirajam sampai mati atau dicambuk seratus kali. Hukuman atau sanksi (uqubat) pertama bagi pemerkosa (al-mughtashib): had zina, yaitu dirajam sampai mati jika pemerkosanya sudah menikah atau dicambuk seratus kali jika belum menikah.
Dalil pensyariatan rajam antara lain hadis shahih dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Seorang laki-laki menemui Rasulullah saw. ketika beliau berada di masjid. Orang itu memanggil beliau seraya mengatakan, ‘Rasulullah saya telah berzina’. Tetapi Rasulullah berpaling darinya. Tatkala kesaksiannya sampai empat kali, nabi bertanya, ‘Apakah kamu gila?’ Dia menjawab, ‘tidak’. Nabi bertanya, ‘Apakah kamu sudah menikah?’ Dia menjawab, ‘ya’. Lantas Nabi bersabda, ‘Bawalah orang ini, dan rajamlah dia!” (HR. Bukhari, 6450)
Selain hadis, Ustaz Shiddiq menyampaikan firman Allah tentang hukuman cambuk bagi pemerkosa yang belum menikah. Dalil pensyariatan hukuman cambuk seratus kali bagi pemerkosa yang belum menikah adalah QS. An-Nur ayat 2, yang artinya, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki deralah dari masing-masing keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang beriman”.
Selanjutnya, beliau menjelaskan mengenai sanksi kedua untuk pemerkosa adalah dengan membayar kompensasi berupa mahar untuk wanita yang semisal korban. “Sanksi kedua untuk pemerkosa (mughtashib): ta’widh mali, yaitu dijatuhi hukuman dengan membayar kompensasi berupa shadaaqu mitslihaa adalah mahar untuk wanita yang semisal korban,” bebernya.
Hukuman tersebut, menurutnya, didasarkan pada pendapat sebagian fuqaha, di antaranya ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i. Berkata Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththa yang artinya, “Hukuman menurut kami bagi laki-laki (pemerkosa) yang memperkosa wanita, baik dia perawan maupun janda adalah; jika korban itu wanita merdeka, pemerkosa itu wajib membayar shadaaqu mitslihaa (mahar untuk wanita yang semisal korban). Jika korbannya budak, maka maharnya berkurang sesuai harga budak. Hukuman perkosaan ini adalah hanya untuk pemerkosa dan tidak ada hukuman untuk yang diperkosa.” (Imam Maliki, Al-Muwaththa, 11/734)
Selanjutnya, ia menjelaskan sanksi ketiga untuk pemerkosa adalah ta’zir. “Dijatuhi hukuman berupa ta’zir yaitu sanksi yang dapat dijatuhkan Hakim Syariah (qadhi) kepada pemerkosa, karena dia tidak sekadar berzina tetapi juga melakukan pemaksaan yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri,” jelasnya.
Ia menyampaikan bahwa itu pendapat dari Imam Ibnu Abdil Barr. Demikian pendapat Imam Ibnu Abdil Barr (Ulama Mazhab Maliki) dalam kitabnya Al-Istidzkaar yang artinya, “Sesungguhnya hakim (qadhi) dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan ta’zir kepadanya, suatu hukuman yang dapat membuat jera untuk dia dan orang-orang semisalnya”. (Imam Ibnu Abdil Bar, Al-Istdzkaar)
Terakhir, Ustaz Shiddiq Al-Jawi menekankan bahwa sanksi kebiri bagi pemerkosa hukumnya haram. “Menjatuhkan hukuman pengebirian bagi pemerkosa hukumnya haram, karena syariat Islam dengan tegas mengharamkan pengebirian manusia,” tegasnya.
Menurutnya, mengenai pengharaman kebiri tidak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha. “Tanpa ada perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan fuqaha,” katanya.
Terkait haramnya hukuman kebiri, ia memberikan beberapa dalil dari hadis-hadis sahih. “Dalil haramnya pengebirian pada manusia adalah hadis-hadis sahih yang dengan jelas menunjukkan larangan Rasulullah saw. terhadap pengebirian,” tuturnya.
Berikut ini, kata Ustaz Shiddiq, dalil-dalil yang melarang pengebirian antara lain: Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra., ia berkata yang artinya, “Rasulullah saw. telah menolak Utsman bin Mazh’un ra. untuk melakukan tabattul (meninggalkan kenikmatan duniawi demi ibadah semata). Kalau sekiranya Rasulullah saw. mengizinkan Utsman bin Mazh’un untuk melakukan tabattul niscaya kami sudah melakukan pengebirian.” (HR. Bukhari no. 5073, Muslim no. 3390)
Dari Ibnu Mas’ud ra., ia berkata yang artinya, “Dahulu kami pernah berperang bersama Nabi saw., sedang kami tidak bersama istri-istri. Lalu kami berkata (kepada Nabi saw.), ‘Bolehkah kami melakukan pengebirian?’ Maka Nabi saw. melarang yang demikian itu.” (HR. Bukhari no. 4615; Muslim no. 1404; Ahmad no. 3650; Ibnu Hibban no. 4141). (Taqiyuddin An-Nabhani, Nizham Al-Ijtima’i fii Al-Islam, hlm. 164; Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 19/119). [SM/Ah]