Oleh: Siti Murlina, S.Ag.
Suaramubalighah.com, Opini — Islam telah menentukan syarat bagi orang yang dikenai taklif syara‘ (mukallaf) yaitu merdeka, balig, dan berakal. Jika terjadi pelanggaran taklif/ beban syarak, maka akan berdosa dan kena sanksi. Jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi, gugurlah kewajiban tersebut.
Ada tiga kriteria orang yang tidak terkena beban syara‘ berdasarkan hadis Rasulullah saw.:
عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنِ الصَّغِيرِ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Dari Aisyah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga mimpi basah, dan orang gila hingga berakal.” (HR. Ahmad, Addarimi, dan Ibnu Khuzaimah)
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Syakhsiyah Al-Islamiyyah mengatakan yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukallaf.
Penulis kitab Tuhfatul Ahwadzi mengartikan “diangkat pena” adalah tidak adanya taklif (kewajiban melaksanakan perintah). Selanjutnya dalam syarah Imam Nasa’i menjelaskan adalah tidak dicatatnya dosa pada mereka.
Berdasarkan penjelasan para ulama tadi, orang yang tidur hingga bangun dan anak yang belum mengalami mimpi basah tidak akan dikenakan dosa ketika mengerjakan larangan. Keadaan ini merupakan uzur atau rukhshah atas mereka. Mereka tidak terkena beban syara‘ sebagaimana mukallaf. Seperti kewajiban salat, puasa, menikah, dan kewajiban syara‘ lainnya. Demikian juga dengan orang gila maka tidak terkena kewajiban syariat.
Senada dengan pernyataan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya Majmu Fatawa wa Ar-Rasail, (kewajiban syariat) tidak berlaku untuk orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz, bahkan juga yang belum balig. Ini adalah bagian dari rahmat Allah Ta’ala. Demikian juga orang yang pikun yang terganggu akalnya walaupun belum sampai level gila.
Pengertian gila dalam hadis ini perlu kita luruskan, karena ini bukanlah perkara mudah dan harus berhati-hati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gila adalah sakit ingatan, sakit jiwa (syarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal).
Dalam definisi yang lain, gila adalah rusaknya kekuatan pikiran untuk membedakan antara akibat baik dan akibat buruk dari suatu perbuatan. Yaitu karena ia tidak tahu bagaimana akibat dari suatu perbuatan yang bahaya, atau dia meninggalkan suatu perbuatan yang jelas baik baginya.
Salah satu indikasi gila dalam pandangan syar’i, adalah tidak bisa diajak bicara dengan benar. Syekh Abdullah Al-Fauzan dalam kitabnya Syarhul Waraqat fi Ushul Al-Fiqhi menyebutkan syariat menjadikan balig sebagai indikasi untuk munculnya akal dan kemampuan memahami perkataan. Siapa saja yang tidak memahami perkataan (orang lain), maka tidak sah untuk diberi beban syariat, karena ia tidak bisa memunculkan niat untuk menaati syariat.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, gila adalah ketika seseorang tidak dapat memahami sesuatu karena terganggu dan rusaknya akal atau syarafnya secara keseluruhan. Serta tidak mengerti tentang baik dan buruknya suatu perbuatan dan perkataan, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Adapun indikasinya antara lain adalah tidak bisa berkata atau berbuat berdasarkan i’tikad yang benar, tidak tahu akibat dari suatu perbuatan yang membahayakan, tidak pernah mengerjakan perbuatan yang jelas baik untuk dirinya seperti mandi, makan, dan memakai pakaian. Selanjutnya tidak mengerti apapun sama sekali dan tidak mengerti perkataan orang lain.
Maka dengan memperhatikan definisi dan indikasi di atas, sebutan gila menurut pandangan syariat kepada seseorang tidaklah mudah. Ada konsekuensi hukum atau sanksi yang tegas berlaku atasnya ketika ternyata dia tidak gila. Baik hukum syariat maupun hukum positif. Semisal ada yang menusuk orang lagi salat, membawa anjing dalam masjid, membakar kitab suci Al-Qur’an, dan perbuatan kriminal lainnya. Tidak dapat diproses secara hukum dengan alasan gila.
Jadi, sebutan gila ini harus memperhatikan kaidah-kaidah yang benar secara syariat dan bisa dipertanggungjawabkan secara medis. Efeknya berat, tidak hanya dipertanggungjawabkan di dunia, tapi juga akan diminta pertanggungjawabannya kelak di akhirat, di hadapan Allah SWT.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]