Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini — Penghinaan terhadap Al-Qur’an kembali terjadi. Kali ini pelakunya adalah seorang politisi berkewarganegaraan Swedia, Rasmus Paludan. Dia tokoh ekstremis anti-Islam, pendiri organisasi sayap kanan Denmark. Secara demonstratif, Paludan membakar kitab suci umat muslim tersebut di depan kedutaan Turki di Stockholm, ibu kota Swedia pada Sabtu, 21 Januari 2023 lalu.
Disinyalir bahwa tindakan penistaan itu dilandasi oleh kebenciannya pada Islam sekaligus demi menyuarakan kebebasan berbicara. Paludan dikenal sebagai politisi sekaligus youtuber rasis dan anti-Islam. Dia dan kelompoknya sering sekali menyuarakan pandangan antimigran dan anti-Islam, terutama setelah Eropa mengalami krisis keuangan pada 2015, akibat arus migrasi kaum muslim yang terus meningkat.
Konon aksi penistaan yang dilakukan Paludan itu dipicu oleh sikap Turki yang dianggap mempersulit Swedia untuk masuk ke NATO, serta sikapTurki terhadap kelompok Kurdi. Memang, Swedia bersama Finlandia sejak tahun 2019 telah mengajukan diri untuk menjadi anggota NATO. Dan mereka butuh dukungan dari 30 negara termasuk Turki. Terkait hal ini, pihak Turki justru memberikan syarat agar Swedia dapat bersikap tegas terhadap kelompok Kurdi yang selama ini mereka lindungi, karena kelompok Kurdi telah dianggap teroris oleh Turki. Namun dalam pandangan Turki, Swedia tidak serius merealisasikan tuntutan tersebut. Swedia justru tampak membiarkan, bahkan mengizinkan kelompok pro Kurdi melakukan aksi provokatif dengan menggantung patung Presiden Turki di dekat Balai Kota Stockholm.
Penistaan Agama dan Islamofobia
Aksi pembakaran Al-Qur’an oleh Paludan tak ayal kembali menimbulkan ketegangan antarumat di dunia. Insiden penistaan terhadap kitab suci umat Islam itu, disinyalir makin mempertegas garis demarkasi umat, antara dunia Barat dan dunia Islam. Padahal PBB sebagai lembaga yang dianggap menaungi bangsa-bangsa di dunia saat ini telah mendeklarasikan sejumlah konsensus perdamaian dunia seperti Declaration HAM. Tapi nyatanya islamofobia (kebencian terhadap Islam secara berlebihan dan tak beralasan) masih marak terjadi.
Ada yang berpendapat bahwa islamofobia yang timbul, disebabkan adanya interpretasi dunia Barat terhadap Islam secara keliru. Kondisi ini disinyalir makin parah karena adanya 2 kelompok Islam, yaitu kelompok Islam garis keras yang selalu menarasikan dakwah dan jihad hingga meruntuhkan sisi-sisi kemanusiaan dan bom bunuh diri. Dan juga adanya kelompok yang selalu melakukan klaim tunggal atas kebenaran Islam sehingga membentuk sentimen berlebihan.
Sehingga Majelis Umum PBB dianggap perlu membangun ruang-ruang perjumpaan sebagai wadah dialog kemanusiaan antarumat di dunia (rethingking islamophobia). Harapannya supaya terbentuk kesepahaman umat tentang visi peradaban masa depan manusia, yaitu multikulturalisme, perdamaian, dan penghargaan terhadap HAM, tidak terkecuali bagaimana memahami konsep keislaman secara benar dan utuh. (mui[dot]or[dot]id)
Benarkah maraknya aksi penistaan dan islamofobia itu karena tidak adanya kesepahaman dunia Barat dan dunia Islam? Dan mungkinkah terwujud kesepahaman dunia Barat dan dunia Islam tentang visi peradaban manusia? Serta bagaimana mekanisme sistem Islam dalam menyolusi persoalan penistaan agama dan islamofobia?
Demokrasi Mengesahkan Aksi Penistaan atas Nama Kebebasan
Aksi penistaan Paludan terhadap Al-Qur’an kali ini memang tampak dibiarkan oleh pemerintah Swedia. Atas nama jaminan kebebasan, aksi penistaan itu justru mendapatkan pengawalan polisi, baik di Swedia maupun saat ia melakukannya di Denmark. Dengan arogannya, Paludan bahkan berjanji akan membakar Al-Qur’an terus menerus setiap hari Jumat sampai Swedia diterima menjadi anggota NATO. Aksi Paludan ini nyatanya bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, pada 2019 Paludan dan gerombolannya pernah membakar Al-Qur’an yang dibungkus daging babi.
Sungguh ironis. Tindakan penistaan yang berbau rasis dan islamofobia seperti itu, justru diklaim sebagai ekspresi kebebasan berbicara. Dan ini dijamin oleh sistem demokrasi. Lihat saja, meski aksi Paludan mendapat kritik dari pemerintah Swedia, namun izin aksi tetap dikeluarkan dengan alasan melindungi hak warga negara di alam demokrasi. Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson menyatakan “Kebebasan berekspresi adalah hal mendasar dalam demokrasi. Namun yang sesuai hukum belum tentu patut”.
Ini bermakna, sepanjang manusia hidup di alam demokrasi, terjadinya aksi penistaan seperti halnya pembakaran Al-Qur’an atau bentuk-bentuk penistaan agama yang berbau islamofobia lainnya, adalah sebuah keniscayaan. Karena semua itu dianggap sah dan boleh oleh demokrasi. Bahkan dilindungi oleh demokrasi atas nama hak kebebasan berbicara dan berekspresi. Meski pada faktanya, kebebasan ala demokrasi yang dipropagandakan oleh Barat seringkali tidak berlaku bagi umat Islam. Sebagai contoh di Perancis, berlaku larangan bercadar bagi muslimah di tempat-tempat umum. Umat muslim pun sulit mendapatkan izin untuk membangun masjid dan sebagainya.
Maka jelas bahwa demokrasilah yang telah memberikan ruang bagi terjadinya penistaan agama dan islamofobia. Karena demokrasi memang mengajarkan ide kebebasan (liberalisme), di antaranya kebebasan berbicara dan berekspresi. Ide kebebasan inilah yang selalu dipropagandakan Barat dan dilindungi oleh demokrasi atas nama HAM. Oleh karena itu, demokrasi sangat bertentangan dengan Islam. Karena dalam Islam, setiap perkataan dan perbuatan muslim itu wajib terikat dengan hukum syariat, tidak bebas seperti di alam demokrasi. Sehingga dalam Islam, tidak ada prinsip bebas berbuat semaunya, yang akhirnya bebas menista agama, baik terhadap Islam maupun pada selain Islam.
Artinya, penistaan agama dan islamofobia itu marak karena memang disahkan oleh demokrasi atas nama kebebasan. Ini wajar karena demokrasi lahir dari akidah sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak punya ruang untuk mengatur perbuatan dan ekspresi manusia. Semua serba bebas, tanpa peduli pada batasan halal-haram.
Jadi penistaan agama dan islamofobia itu bukan karena tidak adanya kesepahaman antara dunia Barat dan dunia Islam, tapi semata-mata karena sikap hidup yang bebas yang dilegitimasi oleh demokrasi sekuler.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kesepahaman memiliki arti saling paham atau saling memahami. Sedangkan arti kata paham adalah pengertian, pendapat, pikiran, pandangan, mengerti atau tahu benar (tentang suatu hal). Adapun sepaham maknanya satu paham, sependapat, sepengertian, satu keyakinan, satu aliran. Maka kesepahaman dapat diartikan sebagai upaya untuk membangun saling pengertian terhadap pendapat, pikiran atau pandangan masing-masing.
Merujuk pada makna tersebut di atas, Islam sebagai agama sekaligus sebuah ideologi (way of life) yang menjadi asas peradaban yang tinggi, istimewa dan mulia, tentu saja memiliki pandangan yang khas tentang agama, way of life atau peradaban lainnya.
Adalah bagian dari sunnatullah bahwa al–haq dan al–bathil tidak akan pernah bisa disatukan. Demikian pula dengan Islam dan Barat. Sebagai sebuah agama sekaligus ideologi, Islam sangatlah berbeda dengan ideologi kapitalisme sekuler yang dianut oleh dunia Barat. Islam berasal dari wahyu Allah SWT, sedangkan kapitalisme lahir dari kondisi traumatik masyarakat Barat di Eropa terhadap kezaliman penguasanya dengan mengatasnamakan agama (Kristen) saat itu. Sehingga lahirlah ide sekularisme sebagai konsep jalan tengah yang memisahkan peran agama dari kehidupan dan negara. Ide sekularisme inilah yang menjadi asas bagi ideologi kapitalisme. Artinya, dari segi asasnya saja, Islam sungguh berbeda bahkan bertolak belakang dengan kapitalisme Barat.
Islam adalah akidah dan hukum syariatnya. Setiap yang beriman dalam Islam, pasti akan mengikatkan diri dan seluruh perbuatannya sebagai hamba, dengan syariat Islam yang berasal dari Allah SWT Rabb-nya. Islam menetapkan bahwa standar perbuatan manusia didasarkan pada halal dan haram. Sedangkan makna kebahagiaan hidupnya adalah keridaan Allah SWT. Maka corak masyarakat yang terbentuk adalah individu-individu yang memiliki pemikiran dan perasaan Islam, serta diatur dengan aturan syariat Islam secara kaffah demi meraih rida Allah SWT.
Dan Islam membangun peradabannya didasarkan pada asas akidah Islam, serta berbagai sistem aturan kehidupan yang seluruhnya terpancar dari akidah Islam tersebut. Sistem aturan itulah yang menata kehidupan manusia di semua bidang. Mulai dari persoalan akidah, ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak, hingga bidang muamalah lainnya. Seperti sistem ekonomi, pendidikan, pergaulan, politik dalam dan luar negeri, peradilan dan sanksi (uqubat), militer, pelayanan kesehatan, hingga sistem pemerintahan Islam (Khilafah) dan sebagainya. Dan karena peradaban Islam tegak berdasarkan ideologi yang berasal dari wahyu Allah SWT, satu-satunya Zat Yang Maha Tahu tentang seluruh perkara yang baik dan buruk bagi manusia, maka peradaban yang dibangun tentulah peradaban yang mulia, bersih, tinggi dan begitu istimewa.
Sedangkan dunia Barat yang eksis saat ini, hampir seluruhnya menganut ideologi kapitalisme. Dunia Barat tegak di atas asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Dalam masyarakat Barat, agama tidak punya peran dalam mengatur hidup masyarakat. Agama hanya dianggap sebagai persoalan privat yang tidak punya pengaruh dalam kehidupan publik. Standar perbuatan dalam masyarakatnya adalah manfaat dan baik buruk menurut akal manusia yang terbatas, sama sekali tidak peduli pada halal-haram. Makna kebahagiaannya pun semata-mata diukur berdasarkan capaian materi dan kesenangan hidup serta kenikmatan fisik jasadi saja.
Maka corak masyarakat yang terbentuk pun serba bebas (liberal). Bebas berpindah-pindah agama bahkan tidak beragama sekalipun, bebas berbuat dan berekspresi tanpa batasan halal-haram, bebas berbicara dan berpendapat termasuk menghina atau menista agama sekalipun, dan bebas memiliki apapun tanpa peduli halal-haram. Sehingga peradaban yang dibangun, peradaban yang rusak dan merusak, amoral, jahat, hina dan keji, zalim dan eksploitatif, menimbulkan kesengsaraan, dan sungguh jauh dari kata bersih dan mulia. Wajarlah jika di masyarakat kapitalistik sekuler liberal seperti saat ini, marak terjadi aksi penistaan agama dan islamofobia. Karena hal itu dianggap sah dan boleh, bahkan dilindungi oleh sistem politik demokrasi atas nama jaminan kebebasan.
Jadi, islamofobia itu terjadi bukan semata dipicu oleh sikap sebagian umat Islam garis keras yang katanya selalu menarasikan dakwah dan jihad sehingga meruntuhkan sisi-sisi kemanusian bahkan sampai bom bunuh diri. Tidak bisa dikatakan demikian, karena sejatinya penyebutan Islam garis keras merupakan stigma negatif yang dibuat-buat oleh Barat penjajah terhadap Islam, sebagai bagian dari strategi penjajah untuk memecah belah umat Islam. Setipe dengan penyebutan Islam fundamentalis, fanatik, radikal, dan sebagainya.
Stigma ini tentu saja diarahkan pada pihak yang dianggap berseberangan dengan pandangan dan proyek penjajah, serta pihak yang berpotensi membahayakan kedudukan Barat penjajah di dunia Islam. Karena kini, setelah hilangnya eksistensi ideologi sosialisme komunisme seiring dengan keruntuhan Uni Soviet, ideologi Islam dan para pengembannya adalah satu-satunya musuh nyata bagi kapitalisme Barat. Dan Barat penjajah memiliki kepentingan untuk terus mengokohkan hegemoninya di negara-negara jajahannya termasuk di dunia Islam.
Itu pula yang tampaknya menjadi alasan mengapa Barat begitu getol menstigma umat Islam dan ajaran Islam yang mulia seperti dakwah dan jihad, sebagai ide yang katanya meruntuhkan sisi-sisi kemanusiaan sampai bom bunuh diri. Sungguh ini tuduhan yang salah alamat. Karena jika yang dimaksud dengan sisi-sisi kemanusiaan adalah harapan untuk hidup bahagia, adil, sejahtera, tidak terzalimi, dan sebagainya, maka justru berbagai bentuk penjajahan (isti’mariyah) yang dilakukan oleh negara-negara Baratlah, biang keladi dari keruntuhan seluruh sisi-sisi kemanusiaan masyarakat dunia. Penjajahan (isti’mariyah) memang sangat lekat dengan dunia Barat. Karena penjajahan adalah metode penyebaran ideologi kapitalisme sekuler yang dianut dunia Barat.
Jelas sangat berbeda dengan Islam. Ideologi Islam menjadikan dakwah dan jihad sebagai metode penyebaran Islam kaffah yang rahmatan lil ‘alamin. Artinya jihad itu adalah aktivitas perang yang diwajibkan dalam Islam sebagai upaya menghilangkan penghalang fisik bagi penyebaran dakwah Islam kaffah. Dakwah Islam itu dilandasi oleh ketaatan pada perintah Allah SWT. Serta rasa kasih sayang untuk menyatukan, melindungi, dan menjadikan negeri-negeri di dunia ini dapat merasakan keagungan dan keistimewaan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Jadi, dakwah dan jihad itu untuk menebarkan rahmat, melindungi, dan mengayomi dunia. Bukan untuk merusak, menzalimi, atau mengeksploitasi sebagaimana karakter asli penjajahan yang sangat lekat dengan dunia Barat kapitalis.
Adapun tentang beberapa aksi bom bunuh diri yang disinyalir dilakukan oleh beberapa umat Islam, maka itu adalah fakta kasuistik yang membutuhkan bukti-bukti yang lebih valid dan terpercaya. Kalaupun misalnya benar, sejatinya fakta tersebut adalah objek hukum yang harus dihukumi oleh Islam berdasarkan dalil-dalil syar’i. Karena berarti sang oknum pelakunya, jika memang benar melakukan hal itu, kurang utuh memahami dalil-dalil syariat terkait kewajiban dakwah dan jihad. Artinya fakta tersebut bukan sumber hukum, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil bahwa kewajiban dakwah dan jihad dalam Islam telah meruntuhkan sisi-sisi kemanusiaan. Jelas ini kesimpulan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan fakta keagungan syariat Islam.
Demikian pula dengan anggapan bahwa umat Islam selalu menyatakan klaim tunggal secara berlebihan tentang kebenaran Islam sehingga dianggap memicu terbentuknya sentimen berlebihan. Seolah ingin menyatakan bahwa klaim terhadap kebenaran Islam adalah yang turut memicu aksi penistaan dan islamofobia. Anggapan ini juga keliru. Karena sejatinya menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridai oleh Allah SWT, adalah sikap wajar bahkan wajib ada pada setiap mukmin, sebagai bentuk ketaatannya pada Rabb-nya dan pembenaran terhadap isi Al-Qur’an yang menyatakan:
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللّهِ فَإِنَّ اللّهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ -١٩-
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran: 19)
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِيناً فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ -٨٥-
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.“ (QS. Ali Imran: 85)
Namun keyakinan bahwa Islam satu-satunya agama yang benar dan diridai oleh Allah SWT disertai pula dengan pemahaman tidak ada paksaan dalam agama (Islam) sebagaimana firman Allah SWT; “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thaghut ** dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (TQS. Al Baqarah: 256)
Maka jelaslah bahwa meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang benar adalah perkara yang wajar bahkan wajib ada pada setiap mukmin. Keyakinan ini tidak lantas membebaskan mereka untuk bersikap semena-mena terhadap kaum nonmuslim lainnya. Karena Islam memiliki aturan lengkap dan sempurna tentang pengelolaan hidup bermasyarakat yang majemuk, dengan bersikap toleran yang benar sesuai batasan syariat, bukan toleransi kebablasan ala moderasi beragama yang sekuler.
Jadi, menganggap bahwa sikap umat Islam yang meyakini kebenaran agamanya seolah memicu sentimen berlebihan sehingga memunculkan islamofobia, adalah tuduhan keliru. Karena sejatinya sikap islamofobia itu lebih karena kekhawatiran dan ketakutan Barat akan bangkitnya sistem Islam kaffah yang dapat mengancam eksistensi Barat penjajah kapitalis. Di samping memang karena eksistensi sistem politik demokrasi yang melindungi aksi penistaan dan islamofobia tersebut.
Membangun Kesepahaman Islam dan Barat, Mungkinkah?
Terkait maraknya aksi penistaan yang berbau islamofobia tersebut, Majelis Umum PBB dianggap perlu membangun ruang-ruang perjumpaan sebagai wadah dialog kemanusiaan antar umat di dunia (rethingking islamophobia). Harapannya supaya terbentuk kesepahaman umat tentang visi peradaban masa depan manusia, yaitu multikulturalisme, perdamaian, dan penghargaan terhadap HAM, tidak terkecuali bagaimana memahami konsep keislaman secara benar dan utuh.
Jika yang dimaksud dengan membangun kesepahaman Islam dan Barat adalah dalam rangka menyudahi aksi penistaan dan islamofobia, usulan ini tidak menyentuh akar persoalannya. Karena islamofobia muncul, di samping adanya traumatik sejarah Perang Salib saat dunia Barat dikalahkan oleh Islam, ada ketakutan tersendiri dari Barat terhadap bangkitnya kembali kekuatan Islam politik yang akan menjadi lonceng kematian bagi kapitalisme global penjajah Barat. Apalagi secara asas, Islam tidak akan bisa disatukan dengan kapitalisme. Sehingga sebagai ideologi, Islam tidak akan bisa menyatukan visinya dengan kapitalisme. Maka tidak mungkin bisa membangun kesepahaman antara Islam dan Barat, karena asas dan visi keduanya sangatlah berbeda.
Dalam konteks membangun peradaban, Islam berorientasi pada penyebaran risalah Islam yang rahmatan lil ‘alamin, menebarkan rahmat, keadilan, kesejahteraan dan keberkahan hidup bagi masyarakat dunia. Sementara kapitalisme, membangun peradabannya dengan berbasis pada isti’mariyah (penjajahan), yang memang lekat dan menjadi metode penyebaran kapitalisme. Sehingga peradaban yang dibangun kapitalisme sarat dengan kezaliman, kerusakan, eksploitasi, kesengsaraan, dan jauh dari rasa keadilan apalagi keberkahan hidup. Sungguh perbedaan yang sangat jelas.
Maka untuk mengakhiri aksi-aksi penistaan dan islamofobia, dunia harus memberi kesempatan pada Islam untuk mengeksiskan kembali peradabannya. Karena secara faktual, ideologi sosialisme komunisme telah hancur, lalu ideologi kapitalisme sekuler nyata-nyata tidak mampu menyudahi aksi-aksi penistaan bahkan yang rasis dan berbau fobia agama tertentu. Sementara Islam dalam sistem Khilafah, telah terbukti dalam sejarah, selama 13 abad lamanya, mampu mengayomi dunia dan menjamin kehidupan masyarakatnya yang majemuk dan multikultural.
Sebagaimana yang pernah dituliskan oleh seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold dalam bukunya The Preacing of Islam: A History of the Propagation of The Muslim Faith, Hal.134, yaitu“Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani selama kurang lebih 2 abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa”.
Di samping itu, sistem Islam juga memberikan perlindungan dan pelayanan terbaik dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya (muslim dan kafir ahlu dzimmah) secara individu maupun kolektif, dalam naungan sistem negara Khilafah.
Maka jelaslah, demi terwujudnya keadilan, kedamaian masyarakat yang multikultural, serta berlimpahnya kebaikan dan keberkahan hidup, harapan masyarakat dunia hanya pantas dilabuhkan pada Islam yang akan membangun peradaban tinggi, maju, mulia dan mengayomi dunia dengan syariat Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan penerapan Islam kaffah serta dakwah Islam ke seluruh dunia, masyarakat dunia akan dapat memahami Islam secara utuh, bahkan dapat merasakan keistimewaan, keunggulan dan kemampuan Islam dalam menata dan mengayomi dunia. Dan untuk itu semua, harus ada aktivitas dakwah yang terarah menuju eksisnya kembali peradaban Islam dengan tegaknya Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]