Menolak Khilafah Menyelisihi Ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah

Oleh: Ummu Zahwa Salsabila

Suaramubalighah.com, Ta’bir Afkar — Di negeri ini, Khilafah terus diperbincangkan. Salah satunya dalam perhelatan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I di Surabaya (06/02/2023). Salah satu rekomendasi muktamar tersebut menyatakan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fikih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara Khilafah, harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat. Usaha mendirikan kembali negara Khilafah dipandang bertabrakan dengan tujuan-tujuan pokok agama (maqashid syariah) karena akan menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial politik.

Benarkah pandangan demikian? Apa itu Khilafah? Bagaimana pendapat ulama Ahlusunnah wal Jama’ah (Aswaja) tentang Khilafah dan hukum menegakkannya? Benarkah upaya menegakkan Khilafah bertabrakan dengan tujuan-tujuan pokok agama (maqashid syariah) dan akan merusak keteraturan sosial politik?

Apa Itu Khilafah?

Khilafah bukan istilah asing dalam khazanah keilmuwan Islam. Asal-usul kata Khilafah kembali kepada ragam bentukan kata dari kata kerja khalafa. Jika khalifah adalah sosok subjek pemimpin, maka istilah Khilafah digunakan untuk mewakili konsep kepemimpinannya. Istilah khalifah, imam, dan amirul mukminin adalah kata yang sinonim. Demikian juga dengan istilah Khilafah dan Imamah (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Raudhah Al-Thalibin wa Umdah Al-Muftin, juz X, hlm. 49; Khatib Al-Syarbini, Mughn Al-Muhtaj, juz IV, hlm. 132).

Imam Wahbah  Az-Zuhaili rahimahullâh menyatakan, “Khilafah adalah Imamah Al-Kubro atau Imarah Al-Mukminin” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 9/881).

Karena Khilafah merupakan istilah Islam, Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana salat, puasa, zakat, berhaji, dan lain-lain.

Khilafah itu sendiri telah didefinisikan oleh para ulama dengan berbagai ragam redaksi. Namun intinya sama, yaitu berkisar pada tiga susbstansi makna berikut ini, Khilafah adalah sistem pemerintahan tunggal untuk seluruh kaum muslimin yang tegak di atas akidah Islam. Islam memposisikan khalifah sebagai pemimpin agung seluruh umat Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh, dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Imam Al-Mawardi rahimahullâh mendefinisikan Khilafah,

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا به

“Imamah itu menduduki posisi untuk Khilafah Nubuwwah dalam menjaga agama serta politik yang sifatnya dunia” (Ali bin Muhammad Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah, hlm. 5).

Imam Al-Juwaini rahimahullâh memberikan definisi,

الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا

“Imamah itu adalah kepemimpinan yang sifatnya utuh, dan kepemimpinan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat umum dan khusus dalam urusan-urusan agama maupun dunia” (Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini, Ghiyats Al-Umam fi Al-Tiyatsi Al-Dzulam, hlm.15).

Tiga substansi makna itulah yang kemudian oleh Al-‘Allâmah Asy-Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani rahimahullâh dihimpun menjadi sebuah definisi komprehensif untuk Khilafah,

اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئاسَةٌ عامَّةٌ لِلْمُسْلِمِينَ جَمِيْعًا فِي الدُّنْيَا لِإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَميِّ وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاميَّةِ إِلَى الْعاَلَمِ

”Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia” (Taqiyuddîn An-Nabhânî, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, 2/12).

Sebagai Imam Al-‘Azham (Imam Agung), khalifah akan memimpin dan menyatukan seluruh kaum muslim di dunia dari timur hingga barat di bawah satu kepemimpinan. Tentang kepemimpinan tunggal ini, Imam Al-Mawardi rahimahullâh menyatakan,

وإذا عقدت الإمامة لإمامين في بلدين لم تنعقد إمامتهما لأنه لا يجوز أن يكون للأمة إمامان في وقت واحد وإن شذ قوم فجوزوه

“Apabila akad Imamah ditetapkan untuk dua imam di dua negeri, maka keimamahan keduanya tidak sah. Karena, tidak boleh ada dua imam bagi umat pada satu waktu, meskipun ada segolongan orang nyeleneh yang membolehkannya” (Ali bin Muhammad Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Shulthaniyah, hlm. 29).

Imam An-Nawawi Asy-Syafii rahimahullâh menjelaskan, “Para ulama sepakat bahwa tidak boleh menyerahkan akad kekhilafahan kepada dua orang khalifah pada masa yang bersamaan, sama saja apakah Darul Islam luas ataupun tidak” (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, 6/316).

Dari definisi dan penjelasan khilafah tersebut, dipahami bahwa substansi Khilafah ada tiga, yaitu: (1) penerapan syariat Islam secara kâffah; (2) penyatuan kaum muslim seluruh dunia di bawah satu kendali kepemimpinan dan dalam persaudaraan sejati yang didasarkan pada akidah Islam; (3) penyebaran dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Dalil Kewajiban Khilafah dan Menegakkannya

Para ulama telah menjelaskan dalil-dalil wajibnya Khilafah ini berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, ijmak sahabat, dan kaidah fikih (qâ’idah syar’iyyah).

Allah ﷻ berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

“Ingatlah saat Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sungguh Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30)

Ulama Aswaja dari empat mazhab menyatakan bahwa ayat di atas adalah dalil asal kewajiban mengangkat seorang khalifah. 

Imam Al-Qurthubi rahimahullâh menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling mendasar mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Asham” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm Al-Qur’ân, 1/264-265).

Dalil lainnya dari Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرمِنكُمْ

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…(QS. An-Nisâ`: 59)

Syaikh Ad-Dumaijî rahimahullâh berkata,

أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَوْجَبَ عَلَى المُسْلِمِينَ طاعَةً أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ وَهُمْ الأَئِمَّةُ ، والْأَمْرُ بِالطَّاعَةِ دَليلٌ عَلَى وُجوبِ نَصْبِ وَليِّ الأَمْرِ ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَأْمُرُ بِطاعَةٍ مَنْ لَا وُجُوْدَ لَهُ ، وَلَا يَفْرِضُ طاعَةً مَنْ وُجودُهُ مَنْدوبٌ ، فَالْأَمْرُ بِطَاعَتِهِ يَقْتَضِي الأَمْرَ بِإيجادِهِ ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِيجَادَ إِمامٍ لِلْمُسْلِمِينَ واجِبٌ عَلَيْهُمْ

”Allah ﷻ telah mewajibkan kaum muslimin untuk menaati ulil amri di antara mereka, yaitu para imam (khalifah). Perintah untuk menaati ulil amri itu adalah dalil untuk mengangkat ulil amri, sebab tak mungkin Allah memerintahkan taat kepada pihak yang tidak ada eksistensinya, dan tidak mungkin pula Allah mewajibkan menaati pihak yang keberadaannya hanya disunahkan. Maka perintah mentaati ulil amri itu menghendaki adanya perintah untuk mengadakan ulil amri. Jadi perintah ini menunjukkan wajibnya mengangkat seorang imam (khalifah) bagi kaum muslimin” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 47).

Masih banyak ayat lain yang dalâlah al-iltizâmnya menunjukkan kewajiban menegakkan Khilafah, seperti ayat yang mewajibkan kaum muslim untuk menaati ulil amri, berhukum hanya dengan syariat Islam, jihad, ayat tentang hukum hudûd, jinâyât, serta hukum-hukum lain yang pelaksanaannya dikaitkan dengan khalifah. Al-Qur’an juga menjelaskan janji istikhlâf (janji kekuasaan atas seluruh dunia bagi kaum muslim) dalam QS. An-Nuur ayat 55.

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.” (QS. An-Nur [24]: 55)

Imam Al-Qurthubi rahimahullâh menyatakan bahwa Ibnu ‘Athiyah berkata,

واستخلافهم هو أن يملكهم البلاد ويجعلهم أهلها كالذي جرى في الشام والعراق وخراسان والمغرب. قال ابن العربي: قلنا لهم هذا وعد عام في النبوة والخلافة وإقامة الدعوة وعموم الشريعة

“Yang dimaksud dengan istikhlâfuhum adalah menjadikan mereka menguasai bumi dan menjadi penguasanya seperti yang terjadi di Syam, Irak, Khurasan, dan Maghrib.” Ibnu Al-‘Arabi berkata, “Ayat ini merupakan janji umum dalam masalah nubuwwah, Khilafah, tegaknya dakwah, dan berlakunya syariat secara umum” (Al-Qurthubi, Tafsîr Al-Qurthubi, 12/299-202).

Adapun dalil As-Sunnah dalam banyak riwayat menjelaskan kewajiban Khilafah dan menegakkannya. Dari Abdullah bin ‘Umar ra. dari Nabi ﷺ bersabda,

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتََةً جَاهِليَّةً

”Barang siapa yang mati, sedangkan di lehernya tidak terdapat baiat (kepada seorang khalifah/imam), maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim, no. 1851)

Syaikh Ad-Dumaijî rahimahullâh berkata,

أَنَّ الرَّسولَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ وَصَفَ مَنْ يَموتُ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ بِأَنَّهُ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةٌ . والْبَيْعَةُ لَا تَكونُ إِلَّا لِلْخَلِيفَةِ لَيْسَ غَيْرَ . هَذَا واضِحٌ الدِّلالَةِ عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ الخَليفَةِ لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ تَكُنْ فِي عُنُقِ كُلِّ مُسْلِمٍ بَيْعَةٌ لِخَليفَةٍ مَاتَ ميتَةً جاهِليَّةً وَلِهَذَا كَانَ الحَديثُ دَلِيلًا عَلَى وُجُوْبِ نَصْبِ الخَليفَةِ

”Sesungguhnya Rasulullah  ﷺ telah mensifati orang yang mati sedang di lehernya tidak ada baiat, sebagai mati jahiliah. Padahal baiat itu tidak ada kecuali bagi khalifah (imam). Ini adalah dalil yang jelas untuk wajibnya mengangkat seorang khalifah, sebab jika baiat ini tidak ada pada leher setiap muslim, maka dia akan mati secara mati jahiliah. Maka hadis ini adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang khalifah” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 47).

Dalam hadis lain dijelaskan, Rasulullah ﷺ bersabda, “Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah), lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia menaati imam itu jika ia mampu. Jika ada orang lain hendak merebut kekuasaan imam, penggallah lehernya.” (HR. Muslim)

Kewajiban baiat menunjukkan kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah). Pasalnya, baiat tidak mungkin ada di pundak kaum muslim tanpa keberadaan seorang khalifah.

Di dalam As-Sunnah juga diriwayatkan praktik-praktik kenegaraan Rasulullah ﷺ dan Khulafaur Rasyidin, juga bisyârah (kabar gembira) tentang akan kembalinya khilafah Islam.

Adapun dalil ijmak sahabat, para sahabat Nabi ﷺ telah bersepakat atas kewajiban mengangkat seorang khalifah setelah berakhirnya zaman kenabian. Mereka menjadikan ini sebagai kewajiban yang paling penting.

Al-‘Allâmah Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullâh menyatakan:

اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ تَعَالىَ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلاَفُهُمْ فِي التَّعْيِيْنِ لاَ يَقْدِحُ فِي اْلإِجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ

“Ketahuilah juga, para sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban (mengangkat seorang imam/khalifah) ini sebagai kewajiban yang paling penting. Terbukti, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban mengurus jenazah Rasulullah ﷺ. Perbedaan pendapat di antara mereka mengenai siapa yang paling layak menjabat khalifah tidak mencederai ijmak mereka tersebut” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq Al-Muhriqah, 1/25).

Imam Al-Baihaqî rahimahullâh pun berkata,

وَاسْتَدَلَّ غَيْرُهُ مِنْ أَصْحابِنا فِي وُجوبِ نَصْبِ الإِمامِ شَرْعًا بِإِجْماعِ الصَّحابَةِ بَعْدَ وَفاةِ الرَّسولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَصْبِ الإِمامِ

”Para sahabat kami yang lain ber-istidlâl mengenai wajibnya mengangkat imam (khalifah) menurut syarak berdasarkan ijmak sahabat setelah wafatnya Rasulullah ﷺ untuk mengangkat seorang imam (khalifah)” (Al-Baihaqi, Syu’abul Imân, 6/6).

Sedangkan dalil qawâ’id fiqhiyyah, antara lain disebutkan oleh Syaikh Abdullah Ad-Dumaijî rahimahulâh,

وَمِن الأَدِلَّةِ عَلَى وُجوبِ الإِمامَةِ القاعِدَةُ الشَّرْعيَّةُ القَائِلَةُ بِأَنَّ مَا لَا يَتِمُّ الواجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ واجِبٌ ، وَقَدْ عُلِمَ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَمَرَ بِأُمورٍ لَيْسَ فِي مَقْدورِ آحَادِ النّاسِ الْقِيَامُ بِهَا ، وَمِن هَذِهِ الأُمورِ إِقامَةُ الحُدودِ . . . إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الوَاجِبَاتِ اَلَّتِي لَا يَسْتَطيعُ أَفْرادُ النّاسِ الْقِيَامَ بِهَا ، وَإِنَّمَا لَا بُدَّ مِنْ إِيجَادِ السُّلْطَةِ وَقوَّةً لَهَا حَقُّ الطّاعَةِ عَلَى الأَفْرادِ ، تَقومُ بِتَنْفِيذِ هَذِهِ الوَاجِبَاتِ ، وَهَذِهِ السُّلْطَةُ هِيَ الإِمامَةُ

”Di antara dalil-dalil atas wajibnya Imamah (Khilafah) adalah kaidah syar’iyyah yang berbunyi “Mâ lâ yatimmul wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib” (Segala kewajiban yang tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Sungguh telah diketahui bahwa Allah ﷻ telah mewajibkan berbagai perkara yang tidak dimampui oleh orang perorang, misalnya menegakkan hudûd… melainkan harus dengan cara mewujudkan kekuasaan (as-sulthân) yang akan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut dan wajib ditaati oleh rakyat. Kekuasaan ini, tiada lain adalah Imamah (Khilafah)” (Abdullah Ad-Dumaijî, Al-Imâmah Al-‘Uzhmâ ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah, hlm. 59).

Ulama Aswaja Mewajibkan Khilafah

Berdasarkan dalil-dalil di atas, para ulama Aswaja tidak pernah berselisih pendapat bahwa Khilafah adalah kewajiban syariat atas seluruh kaum muslimin dan upaya menegakkannya ketika tidak ada—hukumnya wajib. Kewajiban Khilafah ini sungguh telah disepakati secara ijmak (konsensus) oleh seluruh ulama yang terpercaya (tsiqah) dan mu’tabar (kredibel) dari berbagai mazhab.

Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri rahimahullâh menuturkan:

إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ

“Telah sepakat para imam (Imam Abû Hanîfah, Imam Mâlik, Imam Syâfi’i, dan Imam Ahmad) –semoga Allah merahmati mereka– bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardu…” (Abdurrahman Al-Jazîrî, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzâhib Al-Arba’ah, 5/416).

Imam Ibn Hazm rahimahullâh pun menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali An-Najdat” (Imam Ibn Hazm, Marâtib Al-Ijmâ’, 1/124).

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullâh, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan kewajiban itu adalah berdasarkan syariat, bukan berdasarkan akal” (Ibn Hajar, Fath Al-Bâri, XII/205).

Pendapat para ulama terdahulu tersebut disepakati oleh para ulama muta’akhirîn (Lihat: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh Al-Madzâhib Al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin Ar-Rais, Al-Islâm wa Al-Khilâfah, hlm. 99; Dr. Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ As-Siyâsiyah, hlm. 124; Al-‘Allamah Al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm Al-Hukm fî Al-Islâm, hlm. 248).

Bahkan para ulama menyebut kewajiban mengangkat imam (khalifah) dan menegakkan Khilafah adalah sebagai mahkota kewajiban (tajj al-furudh) atau kewajiban yang paling agung (a’zham al-fardh) dalam Islam. Sebab, dengan Khilafah, semua kewajiban di dalam agama Islam akan tertunaikan.

Tanpa Khilafah, syariat Islam tak bisa diterapkan secara kaffah; sebagian besar syariat Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, peradilan/hukum, politik luar negeri, dan sebagainya tidak bisa diterapkan. Tanpa Khilafah, bahkan penyebaran risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah akan terhenti.

Terkait hal ini Imam Alauddin Al-Kasani rahimahullâh menuturkan, “Mengangkat imam (khalifah) merupakan kewajiban yang paling agung (a’zham al-fardh) tanpa perselisihan di antara ahlul haq—dan tidak ada nilainya perbedaan sebagian pengikut Qadariyah—berdasarkan ijmak sahabat ra…” (Alauddin Al-Kasani, Badâ’i’ Ash-Shanâ’i’, 7/2).

Hal senada diungkap oleh Syaikh Dr. Muhammad Az-Zuhaili rahimahullâh, “Daulah Islam adalah at-taj (mahkota) yang berada di atas semua hukum syarak. Tak ada majal (tempat) untuk menerapkan Islam yang sempurna kecuali dengan menegakkan Daulah Islam” (Muhammad Az-Zuhaili, Al-Wasith fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, juz 2, hlm. 693).

Dari sini dipahami bahwa Khilafah adalah metode dalam menegakkan hudud (hukum-hukum) Allah. Ulama Nusantara Syekh Abu Al-Fadhal Al-Sinori rahimahullâh menyatakan,

وإنما يجب على المسلمين نصب الإمام ليقوم بمصالحهم كتنفيذ أحكامهم، وإقامة حدودهم، وسد ثغورهم، وتجهيز جيوشهم، وأخذ صدقاتهم إن دفعوها، وقهر المتغلبة والمتلصصة وقطاع الطريق، وقطع المنازعات بين الخصوم، وقسم الغنائم وغير ذلك، إذ لا يتم جميع ذلك إلا بإمام يرجعون إليه في أمورهم.

“Wajibnya kaum muslim mengangkat seorang imam (khalifah) tidak lain adalah agar ia mengurusi berbagai kemaslahatan mereka, seperti menjalankan hukum-hukum Islam, menegakkan hudud, menjaga perbatasan wilayah kekuasaan, serta menyiapkan pasukan umat Islam, menarik zakat mereka jika mereka menolak membayarkannya, memaksa tunduk kaum pembangkang, perampas hak, dan pembegal, melerai persengketaan mereka-mereka yang bersengketa, membagi-bagikan ghanimah (harta rampasan perang), dan lain-lain. Karena semua itu tidak akan bisa sempurna terlaksana, kecuali dengan keberadaan seorang imam (khalifah) yang menjadi tempat kembalinya segala urusan mereka” (Abu Al-Fadhal Al-Sinori, Al-Durr Al-Farid, hlm. 476).

Di sisi lain, keberadaan Khilafah yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah (totalitas), akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok agama atau pelaksanaan syariat Islam (maqashid syariah). Sebaliknya, tanpa adanya Khilafah, penerapan syariat Islam secara kaffah (totalitas) tidak akan terwujud, dan maqashid syariah (berupa penjagaan agama, penjagaan akal, penjagaan jiwa, penjagaan harta, penjagaan keturunan, penjagaan kehormatan, penjagaan keamanan, dan penjagaan negara) pun tidak akan mampu diwujudkan.

Terkait hal ini, Imam Al-Jurjani rahimahullâh menyatakan, “Mengangkat imam/khalifah merupakan kemaslahatan kaum muslim yang paling utama dan maqashid addin yang paling agung. Hukumnya adalah wajib berdasarkan dalil assami” (Al-Jurjani Al-Hanafi, Syarh AlMuwaqif, 8/326-327).

Di samping itu, Khilafah adalah syiar paling agung. Ulama kontemporer Syaikh Prof. Dr. Mushthafa Dib Al-Bugha menyampaikan,

تنصيب الإمام بهذا الشكل الذي رأيت، ولتحقيق المهام التي تحدثنا عنها واجب متعلق بأعناق المسلمين حيثما كانوا، فإن لم ينهضوا به تحقيقا لأمر الله عز وجل باؤوا جميعا بإثم كبير، إذ هو ـ بالإضافة إلي الضرورات الدينية والاجتماعية والسياسية المختلفة ـ شعيرة كبري من شعائر الإسلام التي يجب أن تكون بارزة حية في بلاد المسلمين.

“Mengangkat seorang imam (sebutan bagi khalifah) dengan format yang telah anda lihat di atas, dan demi merealisasikan kepentingan-kepentingan yang telah kami bicarakan sebelumnya, hukumnya adalah wajib, melekat di leher kaum muslim di mana pun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit untuk itu, demi merealisasikan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, maka mereka semuanya akan tertimpa dosa besar. Karena ia -selain terkait berbagai urusan agama, sosial, dan politik yang bersifat darurat- merupakan sebuah syiar yang paling agung di antara syiar-syiar agama Islam yang harus tampak dan hidup di negeri-negeri kaum muslim” (Mushthafa Dib Al-Bugha, dkk., Al-Fiqh Al-Manhajiy ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, jilid 3, hlm. 451).

Khatimah

Dari semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa Khilafah adalah ajaran Islam. Keberadaan Khilafah wajib bagi seluruh umat Islam di dunia. Dan menegakkan Khilafah ketika tidak ada, hukumnya wajib berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, ijmak sahabat, dan kaidah fikih (qâ’idah syar’iyyah), yang disepakati oleh seluruh ulama Aswaja. Siapa pun yang menolak tentang kewajiban Khilafah ini berarti menyelisihi ajaran ulama Aswaja.

Maka sikap seorang muslim, terlebih sebagai penganut Ahlussunah wal Jama’ah, adalah menyakini kewajiban Khilafah ini dan memperjuangkan kembali tegaknya Khilafah ini tatkala keberadaannya tidak ada seperti kondisi saat ini.

Khilafah di samping sebagai kewajiban, juga kebutuhan yang sangat mendesak untuk menyelesaikan berbagai problematika multidimensi yang menimpa umat ini akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang bobrok dan kufur buatan manusia. Khilafah pun akan menjadi junnah (perisai) yang akan mengayomi dan melindungi umat Islam di seluruh dunia dari segala kezaliman, penindasan, penjajahan, keterpurukan, dan kesengsaraan yang menimpa umat Islam sejak hancurnya Khilafah Islam terakhir di Turki 3 Maret 1924 hingga saat ini.

Rekomendasi sekelompok umat Islam yang berpihak pada kepemimpinan PBB dan menolak Khilafah atas dasar maqashid syariah, serta memandang usaha mendirikan kembali negara khilafah adalah bertabrakan dengan maqashid syariah dan akan menimbulkan ketidakstabilan serta merusak keteraturan sosial politik, jelas-jelas tertolak dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Semua itu pandangan dan tuduhan yang keliru, tanpa alasan yang syar’i dan hanya mengikuti hawa nafsu.

Umat Islam seharusnya berpegang teguh kepada ajaran Ahlusunnah wal Jamaah, serta kembali kepada sumber turats islami yang sebenarnya, sebagaimana diwasiatkan para ulama, bukan malah menjadi pengikut peradaban Barat. Wallahu a’lam. [SM/Ah]