Oleh: Mahganipatra
Suaramubalighah.com, Opini — Perayaan Valentine’s Day setiap tahun selalu dirayakan dengan meriah, tidak sedikit umat dan negeri muslim yang turut serta dalam euforia perayaan ini. Di antaranya adalah negara Arab Saudi. Sejak tahun 2016, polisi agama di Saudi telah melegalkan perayaan hari Valentine atau Hari Kasih Sayang.
Dan tahun ini, seperti diberitakan Arab News, Syekh Ahmed Qasim Al-Ghamdi, mantan presiden Komisi untuk Promosi Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan di Makkah, mengumumkan di televisi bahwa merayakan Hari Valentine tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Karena menurutnya, merayakan cinta kasih sayang, tidak terbatas pada nonmuslim. Setiap muslim juga harus merayakan cinta. (suara.com, 14/02/2019)
Benarkah merayakan Valentine’s Day tidak bertentangan dengan ajaran Islam?
Kapitalisasi Valentine’s Day Merusak Generasi Muslim
Secara historis, Valentine’s Day memiliki beragam versi. Mulai dari tradisi perayaan yang berasal dari tradisi Romawi Kuno, yaitu tradisi perayaan dewi kesuburan, Dewi Lupercalia, yang dirayakan setiap tahun pada tanggal 15 Februari. Perayaan ini dihiasi oleh aktivitas seksual yang amoral.
Kemudian Valentine’s Day juga diasumsikan sebagai hari untuk memperingati kematian salah seorang pendeta Kristen bernama Santo Valentine yang menjadi martil simbol perlawanan penjajahan Romawi. Lalu dikristenisasi oleh gereja menjadi tanggal 14 Februari, guna mengenang Santo Valentine ke dalam bentuk perayaan hari kasih sayang yang dirayakan setiap tahun. Di momen ini, setiap orang boleh mengekspresikan kasih sayang mereka dengan saling bertukar hadiah yang melambangkan kasih sayang.
Namun di era modern saat ini, perayaan Valentine’s Day semakin berkembang dan menjadi tradisi, budaya serta event tahunan. Event ini oleh para kapitalis disulap dengan kemasan menarik beraroma industrialisasi, sehingga melahirkan gaya hidup konsumerisme di tengah-tengah masyarakat. Selanjutnya dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk menghasilkan pundi-pundi uang hampir di seluruh negara di dunia.
Melalui gabungan kekuatan modal dan industri-industri media, para kapitalis dan pemerintah saling bekerja sama untuk menggiring opini di masyarakat. Menciptakan ilusi bahwa momen perayaan Valentine’s Day adalah perwujudan dari kasih sayang manusia terhadap pasangan, keluarga, dan sesamanya. Hingga akhirnya uang rakyat dapat terserap dan dikendalikan oleh ekonomi kapitalis.
Tak heran jika menjelang momen hari Valentine, para kapitalis akan saling berlomba untuk mulai meningkatkan produk dan jasa. Produk seperti cokelat, buket bunga, dan ornamen yang dibutuhkan untuk perayaan Valentine’s Day seperti perhiasan, musik, tempat-tempat hiburan dan wisata, hingga hotel menjadi produk yang paling laris manis diburu oleh masyarakat.
Termasuk juga produk kondom, produksinya mengalami kenaikan secara signifikan menjelang perayaan Valentine’s Day dan Tahun Baru. Dilansir dari infosumsel.id (10/02/2023), menurut data dari industri kondom, produksi kondom meningkat menjadi 50% hingga 100% pada Valentine’s Day dan Tahun Baru.
Peningkatan produksi kondom secara signifikan tidak hanya terjadi di negara-negara Barat, tetapi juga di negara-negara di seluruh dunia. Ini berarti bahwa perayaan ini menunjukkan kecenderungan pada perayaan seksual yang menjadi gaya hidup masyarakat terutama kawula muda. Gaya hidup hedonis dan liberal telah mendorong masyarakat pada kehidupan modern yang permisivisme (serba boleh).
Kehidupan modern juga telah menciptakan gaya hidup masyarakat berada pada dunia konsumsi dan budaya populer. Budaya konsumsi dan budaya populer lahir dan dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme-sekuler. Dari ideologi ini juga lahir pandangan yang khas tentang manusia dan kehidupan. Bahwa manusia dalam kehidupannya memiliki hak untuk mewujudkan keinginan dan kebahagiaannya sesuai dengan kehendaknya sendiri, sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan dan paksaan dari siapa pun.
Paham kebebasan ini bersifat umum, di antaranya adalah mencakup kebebasan dalam berperilaku. Dengan paham kebebasan ini, manusia bebas untuk mengekspresikan perbuatannya tanpa batas. Termasuk di dalamnya adalah kebebasan untuk berhubungan seksual dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun.
Maka berdasarkan ide kebebasan ini, telah tercipta realitas masyarakat yang rusak. Gaya hidup serba boleh (permisif) telah menghantarkan masyarakat pada budaya yang rendah dan bobrok. Dimana hubungan seksual menjadi aktivitas yang dilegalkan oleh undang-undang ketika dilakukan berdasarkan suka sama suka (consent). Pergaulan dan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan bisa terjalin sebebas-bebasnya. Bahkan hubungan ini juga bisa dilakukan oleh sesama jenis.
Sungguh menjijikkan, perilaku ini lebih hina dari perilaku binatang. Lebih dari itu, budaya ini juga telah melahirkan kerusakan berupa penyebaran penyakit menular seksual (PMS), Aids, dan HIV di kalangan masyarakat. Sehingga mengancam kehidupan sosial. Orang dewasa dan remaja banyak yang terpapar penyakit ini. Bahkan ibu dan anak yang tak berdosa pun ikut terdampak, akibat perilaku pasangannya yang terjebak budaya seks bebas . Lalu apatah mungkin tradisi dan budaya ini diterima dan dianggap sesuai dengan ajaran Islam?
Valentine’s Day Budaya Kufur, Islam Agama Rahmatan lil’alamin
Valentine’s Day berasal dari budaya kufur. Lembaga setingkat Majelis Ulama Indonesia (MUI), pernah mengeluarkan fatwa mengenai perayaan Valentine, yaitu Fatwa Nomor 3 Tahun 2017 yang menyatakan bahwa umat Islam diharamkan untuk memperingati hari kasih sayang (hari Valentine) yang jatuh pada tanggal 14 Februari. (Menukil buku Seputar Valentine’s Days oleh Hafidz Muftisany).
Namun secara fakta, sikap pemerintah masih terkesan ambigu, sebab tidak ada larangan perayaan Valentine’s Day di masyarakat. Para pemuda dan generasi negeri ini, masih tetap mengekspresikan perayaan ini dengan berbagai cara. Ada yang cukup dengan saling memberi ucapan, tukar hadiah, kencan, bahkan yang paling ekstrem dijadikan ajang untuk berbuat mesum. Dalihnya sebagai bentuk saling melepas kasih sayang.
Padahal Rasulullah saw. telah bersabda: “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani)
Oleh sebab itu, sudah selayaknya umat Islam menolak budaya dan tradisi ini. Sebab telah nyata tradisi ini menghasilkan kerusakan terhadap generasi dengan menyebarkan aktivitas perzinaan yang berkedok perayaan Hari Kasih Sayang.
Sementara Islam adalah agama rahmatan lil’alamin, telah mewajibkan kepada setiap muslim untuk berkasih sayang yang tidak ditentukan oleh waktu maupun hari. Akan tetapi merayakan cinta kasih itu bisa dilakukan setiap hari dan setiap saat.
Di dalam Islam tidak pernah diajarkan untuk menunjukkan kasih sayang antarsesama, terutama laki-laki dan perempuan dengan cara berkencan/berpacaran. Apalagi sampai terjadi aktivitas perzinaan seperti yang dilakukan saat ini. Islam melarang keras aktivitas yang mendekati zina. Allah SWT telah berfirman mengenai hal tersebut secara tegas;
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra: 32)
Khatimah
Kerusakan generasi akibat dari perayaan-perayaan yang lahir dari pengaruh sistem kapitalisme-sekuler dan budaya kufur, hanya bisa diselamatkan secara sistemik. Melalui penerapan sistem Islam yang sempurna dengan mengikuti metode Rasulullah saw. yaitu menegakkan Khilafah Islamiyah. Maka seluruh persoalan kehidupan manusia akan terselesaikan, kemudian Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin pun akan segera terwujud.
Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]