Oleh: Bunda Nurul Husna
Suaramubalighah.com, Opini — Pernikahan dini kembali dikriminalisasi. Kali ini dikaitkan dengan maraknya kasus kehamilan di luar nikah yang berujung pada meningkatnya permohonan dispensasi nikah dini di kalangan pelajar, dan terjadi di beberapa kota di Indonesia. Karena alasan inilah, dianggap perlu memasifkan sosialisasi larangan nikah dini ke berbagai sekolah terutama pesantren dan madrasah.
Seperti yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Klaten Jawa Tengah, yang dimotori oleh Kemenag Jawa Tengah bekerja sama dengan UNICEF. Mereka menyosialisasikan Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Berbasis Gender dan Perkawinan Anak ke beberapa madrasah dan pesantren di Jawa Tengah. (jateng[dot]kemenag[dot]id).
Selain itu, beberapa provinsi pun masif menyosialisasikan larangan nikah dini tersebut kepada madrasah dan juga pesantren, seperti yang berlangsung di Sulawesi Barat. Kota Ponorogo Jawa Timur juga melakukan hal yang serupa, yaitu sosialisasi cegah pernikahan dini dan seks bebas.
Di negeri ini, praktik pernikahan dini memang terlanjur dianggap problem, bahkan dituding sebagai kejahatan yang melanggar undang-undang. Dalam sistem hukum Indonesia, persoalan ini diatur dalam UU Perlindungan Anak, yaitu UU No. 23 tahun 2002. Dalam salah satu pasalnya menyebutkan pelarangan pernikahan anak di bawah umur sesuai definisi anak yang diadopsi UU tersebut, yaitu usia 0-18 tahun. Dalam UU tersebut, orang tua diwajibkan untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak hingga usia 18 tahun. Sedangkan definisi anak menurut WHO adalah usia 0-19 tahun. Sejalan dengan batasan UU Perlindungan Anak tersebut, maka ditegaskan dalam UU Nomor 16 tahun 2019 pada pasal 7 ayat 1, bahwa batas usia minimal laki-laki dan perempuan untuk melakukan pernikahan adalah 19 tahun.
Narasi penolakan pernikahan dini tersebut tentu saja didukung oleh kalangan gender sekuler. Opini tersebut menyebutkan, ada beberapa alasan yang menjadi dasar penolakan praktik pernikahan dini. Di antaranya soal psikis dan biologis yang dianggap belum matang hingga pernikahan yang terjadi rentan menimbulkan KDRT, bahkan bisa berakhir pada perceraian.
Pernikahan dini juga diklaim dapat mencederai hak anak untuk mendapatkan perlindungan serta hak untuk tumbuh dan berkembang, dapat merampas hak pendidikan dan bermain anak (karena harus menikah), suramnya masa depan anak, rentan terjadinya kanker serviks, ketidaksiapan fisik dan psikis pihak perempuan untuk hamil dan melahirkan, berpotensi naiknya tingkat kematian ibu dan anak, menambah panjang rantai kemiskinan, dan sebagainya. Intinya, pernikahan dini dianggap buruk dan diklaim akan menimbulkan banyak bahaya bagi anak dan masyarakat. Benarkah demikian?
Pandangan Khas Sekularisme–Liberal
Anggapan bahwa pernikahan dini itu bahaya dan dapat menimbulkan banyak masalah, sarat dengan paradigma sekularisme-liberal. Akidah sekuler ini memang menihilkan agama dari kehidupan. Baik-buruk dan terpuji-tercelanya suatu perkara, hanya distandarkan pada manfaat menurut akal manusia yang terbatas. Sama sekali tidak memerhatikan tuntunan syariat.
Maka wajar jika pandangan sekularisme-liberal ini sangat berbeda dengan pandangan Islam. Perkara yang dihalalkan dalam Islam, justru dianggap buruk dan bahaya. Pernikahan dini di masa awal balig yang halal dan sah (selama memenuhi semua ketentuan syariat) dalam Islam, justru dikriminalisasi.
Terlebih dalam pandangan sekularisme-liberal, fakta justru dijadikan sebagai dalil (bukti) dalam menyolusi persoalan. Padahal dalam pandangan Islam, fakta itu adalah objek hukum yang harus diselesaikan dengan tuntunan syariat dari Allah SWT. Maka adanya realitas yang terjadi di masyarakat, misal berupa tingginya angka perceraian, banyaknya KDRT, rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengakses pendidikan, banyaknya pengangguran, kemiskinan, dan sebagainya, tidak bisa dijadikan alasan untuk menyudutkan praktik pernikahan dini apalagi sampai menganggapnya sebagai tindak kriminal.
Jika mau berpikir objektif, dapat dipahami bahwa tingginya angka perceraian dan KDRT tersebut karena lemahnya pemahaman agama pasangan suami-istri tentang hak dan kewajiban mereka dalam rumah tangga. Maka seharusnya negara hadir bersinergi dengan keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan dalam membimbing calon mempelai, bukan malah menudingnya. Di samping itu, gaya hidup liberal-sekuler yang eksis di negeri ini menjadikan pergaulan perempuan dan laki-laki yang bukan mahram, bebas tanpa batasan agama. Akhirnya menjadi pemicu terjadinya perselingkuhan, teman tapi mesra, dan sebagainya yang merusak keharmonisan rumah tangga.
Sulitnya masyarakat mendapatkan akses pendidikan yang layak karena negara abai dari tanggung jawabnya menyediakan sistem pendidikan berkualitas dan gratis yang dapat dinikmati oleh seluruh rakyatnya. Di samping itu, kemiskinan struktural yang terjadi di masyarakat akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme, menjadikan kesulitan hidup masyarakat bertambah. Sistem yang menjadikan negara mencukupkan diri hanya sebagai regulator dalam berbagai pengaturan dan pemenuhan hajat hidup rakyatnya. Negara absen dari fungsi utamanya sebagai raa‘in (pengatur urusan rakyat). Dan mirisnya, negara justru membiarkan pihak swasta bahkan swasta asing penjajah, merampas sumber daya alam milik rakyat atas nama investasi yang dilegalkan oleh UU. Negara juga tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyatnya, sehingga tingginya angka pengangguran dan kemiskinan tak terelakkan.
Jadi, menganggap pernikahan dini sebagai penyebab tingginya perceraian, KDRT, kemiskinan, pengangguran, serta berbagai keburukan lainnya, adalah tuduhan keliru. Karena semua persoalan tersebut adalah problem masyarakat yang terjadi secara sistemik di negeri ini, akibat penerapan sistem kehidupan kapitalisme-sekuler yang liberal. Bahkan maraknya pergaulan bebas di kalangan remaja dan pelajar, yang berakibat tingginya permohonan dispensasi nikah dini pada pelajar, adalah buah dari sistem hidup sekuler-liberal itu sendiri. Bukan pernikahan dini yang keliru, tapi sistem hidup masyarakatnya yang rusak.
Maka sungguh tidak pantas menganggap pernikahan dini sebagai kriminal. Terlebih, pernikahan dini itu sah dan halal dalam pandangan Islam, sepanjang memenuhi semua ketentuan syariat tentang pernikahan.
Islam Membolehkan Pernikahan Dini
Islam tidak melarang pernikahan dini, yaitu pernikahan yang dilakukan di masa awal balig, sepanjang memenuhi seluruh ketentuan syariat Islam tentang pernikahan. Bahkan Islam menjadikan pernikahan sebagai perkara sunnah yang disukai oleh Allah SWT dan Rasul-Nya saw..
Allah berfirman dalam Al Qur’an, “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia–Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian–Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An–Nur: 32)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya bahwa ayat ini berisi perintah untuk menikah. Beliau menyatakan, “Dari Ibnu Mas’ud ra.: Memohonlah kalian (kepada Allah) akan kekayaan melalui menikah”.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka menikahlah. Karena sesungguhnya, pernikahan itu lebih dapat menahan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu melaksanakannya hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu dapat menekan syahwatnya (sebagai perisai).” (HR. Bukhari No. 5066)
Dalam pandangan Islam, pernikahan bukan sekadar memenuhi dorongan naluri seksual. Namun Islam menjadikan pernikahan sebagai benteng yang akan menjaga siapa pun dari perbuatan dosa atau zina yang merusak kehormatan mukmin. Pernikahan juga satu-satunya jalan yang ditetapkan Islam demi melangsungkan keturunan dari hubungan laki-laki dan perempuan secara sah dan halal.
Dengan demikian, jelaslah bahwa menikah adalah perkara yang disyariatkan dalam Islam. Hukumnya sunah. Islam bahkan memudahkan bagi siapa pun yang telah mampu untuk menikah. Islam juga tidak perlu lagi memperdebatkan tentang batas minimal usia calon mempelai yang tepat untuk menikah sebagaimana yang terjadi saat ini. Karena syarak telah menentukan, siapa saja yang sudah balig, yaitu sudah haid bagi perempuan dan telah mengalami mimpi basah (ihtilam) bagi laki-laki, atau telah berusia 15 tahun, dan mereka ingin menikah, maka boleh menikah. Tentu saja dengan memenuhi seluruh perkara yang dituntunkan oleh hukum syarak, yang akan menjadikan sah dan sempurnanya akad pernikahan tersebut.
Kekurangan harta dan kemiskinan pun bukan penghalang bagi pernikahan. Karena bagi siapa saja yang hendak menikah demi menjaga kesucian dan kehormatannya, pasti akan ditolong oleh Allah SWT. “Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah, seorang budak yang ingin menebus dirinya dengan mencicil pada tuannya, orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian, dan pejuang di jalan Allah.” (HR. At–Tirmidzi, No. 1352). Ini semua menjadi dalil tentang pensyariatan pernikahan dan dorongan Islam untuk menikah.
Pernikahan Dini Harus Dibimbing, Bukan Dituding
Maka dapat ditegaskan bahwa Islam membolehkan pernikahan dini. Artinya, pernikahan dini tidak boleh dikriminalisasi. Karena hal itu sah dan halal menurut syariat Islam sepanjang memenuhi seluruh ketentuan syarak tentang pernikahan sebagaimana yang dijelaskan detil dalam kitab-kitab fikih.
Menyosialisasikan larangan dan pencegahan nikah dini sebagai solusi bagi tingginya angka permohonan dispensasi nikah dini akibat maraknya pergaulan bebas remaja dan pelajar bahkan hingga terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), sejatinya solusi yang salah kaprah dan tidak menyentuh akar persoalan. Karena maraknya pergaulan bebas hingga KTD tersebut diakibatkan oleh gaya hidup sekuler liberal yang eksis di tengah masyarakat negeri ini.
Jadi bukan pernikahan dini yang salah, tapi sistem tatanan pergaulannya yang keliru (yaitu sekuler-liberal), yang mengabaikan peran agama dalam kehidupan. Maka sepanjang negeri ini masih mengadopsi sistem kehidupan sekuler-liberal, maka sepanjang itu pula pergaulan bebas, pacaran, hamil di luar nikah, dan kerusakan pergaulan lainnya akan terus berlangsung. Dan sepanjang itu pula tuntutan dispensasi nikah dini akan terus meningkat. Karena nikah dini dianggap sebagai solusi praktis bagi kehamilan di luar nikah.
Apalagi sosialisasi pelarangan dan pencegahan nikah dini tersebut dilakukan bekerja sama dengan lembaga internasional seperti UNICEF yang merupakan bagian dari PBB. Tentu saja ini tidak akan memberikan jalan keluar yang hakiki. Bukankah telah jelas bahwa akar persoalan tingginya permohonan dispensasi nikah remaja dan pelajar itu karena pergaulan bebas akibat penerapan sistem sekularisme-liberal? Sementara PBB dalam penetapan pandangan-pandangannya tentang permasalahan dunia, justru didasarkan pada paradigma sekularisme-liberal itu sendiri. Lalu bagaimana mungkin bisa memberikan solusi tuntas? Terlebih bagi mukmin, sumber hukum perbuatan dan solusi terhadap berbagai persoalan hidup itu wajib hanya merujuk pada Al-Qur’an dan hadis.
Sosialisasi pelarangan dan pencegahan nikah dini yang diarahkan ke pesantren dan madrasah juga memuat tendensi negatif. Seolah mendeskreditkan pesantren dan madrasah sebagai tempat sarangnya pernikahan dini dan kejahatan seksual. Padahal kehamilan di luar nikah tersebut justru banyak terjadi di masyarakat luar akibat gaya hidup bebas yang sekuler. Maka kegiatan sosialisasi pencegahan nikah dini dan kejahatan seksual yang diarahkan pada pesantren dan madrasah tersebut sungguh tendensius dan tidak solutif.
Yang seharusnya dilakukan oleh negara adalah menyudahi penerapan sistem sekularisme-liberal dalam kehidupaan masyarakat. Lalu menggantinya dengan sistem hidup yag berdasarkan Islam secara kaffah.
Negara harus hadir secara nyata dalam membimbing para remaja, pelajar, dan masyarakat secara umum, termasuk pada calon mempelai yang akan menikah. Dalam konteks membimbing dan menyiapkan rakyat dan pemuda yang akan menikah, negara dapat menyiapkan hal itu melalui materi kurikulum sistem pendidikan Islam secara sistemik. Negara juga dapat memberikan berbagai arahan dan sosialisasi yang dilakukan secara masif melalui berbagai media yang ada. Yang semua itu mengarah pada pembentukan kepribadian Islam masyarakat. Sehingga di usia balig (dewasa), para pemuda benar-benar siap taat syariat, matang kemampuan berpikirnya, dan terbentuk rasa tanggung jawab, serta mental memimpinnya.
Alhasil, pernikahan dini itu harus dibimbing, bukan dituding apalagi dikriminalisasi. Dan negaralah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab melakukan hal ini. Negara punya tanggung jawab penuh untuk memastikan setiap keluarga memahami tanggung jawab mereka dalam mendidik anak-anaknya dengan Islam serta menyiapkan sejak dini pembentukan kepribadian Islam pada mereka.
Dengan sistem pendidikan Islam yang diterapkan secara kaffah, negara dapat menguatkan pembentukan karakter generasi yang telah dimulai oleh orang tua dalam keluarga. Sehingga lahir generasi dan pemuda yang bertakwa, berkepribadian Islam, dan bermental pemimpin. Dan saat para pemuda itu menikah, mereka telah siap secara fisik, psikis, mental, dan ilmu tentang semua perkara terkait kehidupan pernikahan dalam Islam.
Masyarakat yang dibina dan diberikan arahan-arahan Islam oleh negara, juga akan tersuasana melakukan kontrol sosial secara dinamis dengan selalu menegakkan amar makruf nahi munkar, demi tegaknya Islam dan bersihnya kehidupan masyarakat dalam tuntunan Islam. Kondisi ini tentu hanya dapat terwujud dalam masyarakat yang islami, yang dipimpin oleh penguasa yang bertakwa dan takut pada Allah SWT. Pemimpin yang menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan masyarakat dan negaranya.
Dan untuk itu, butuh aktivitas dakwah politik yang terus dijalankan secara istikamah oleh umat untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam kaffah dalam naungan Khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]