Oleh: Zakiyah Amin
Suaramubalighah.com, Opini — Proyek deradikalisasi kembali menyasar umat Islam. Dan kali ini kepada guru mengaji. Belum lama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indonesia (Menkopolhukam RI) Mahfud MD meminta guru mengaji ikut menjaga keamanan dengan tetap berpegang teguh pada ajaran agama dan tidak mudah terpancing paham radikal. “Jangan mudah terpancing oleh gerakan dan paham radikal, gerakan anti-pemerintah, antinegara dan anti-Pancasila,” kata Mahfud dalam pertemuan dengan guru ngaji di Masjid Fathimah binti Said Ghauzan, Sumenep, Jawa Timur. (jatim.antaranews.com, 02/02/2023)
Dalam pesan tersebut, ada dua pesan yang perlu disoroti. Pertama, berpegang teguh pada ajaran agama. Dan kedua, tidak mudah terpancing paham radikal. Kalau ditelusuri, sikap penguasa hari ini ketika menyosialisasikan program deradikalisasi senantiasa ditunjukkan kepada umat Islam yang berusaha berpegang teguh pada ajaran Islam atau umat Islam yang ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah.
Atas nama menjaga toleransi, penguasa justru mengajarkan pluralisme (menyamakan semua agama). Atas nama kearifan lokal, penguasa mengajarkan sinkretisme (mencampuradukkan ajaran agama dengan adat istiadat yang “sering” bertentangan dengan ajaran Islam). Atas nama hak asasi manusia, penguasa membolehkan kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkat laku, dan kebebasan kepemilikan oleh para kapitalis, yang jelas bertentangan dengan ajaran agama.
Padahal makna al-i’tisham (berpegang teguh) dengan tali dan agama Allah ialah seorang muslim melaksanakan seluruh perintah yang diwajibkan Allah kepadanya, yang perintah wajib tersebut berkaitan dengan dirinya, (dan) sekaligus menjauhi segala perbuatan yang dilarang Allah kepadanya. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا۟ ۚ وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِۦٓ إِخْوَٰنًا وَكُنتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali Imran: 103)
Sementara cap radikal ditujukan kepada umat Islam yang ingin ber-Islam secara kaffah. Terbukti hingga saat ini, syariat (ajaran Islam) tentang jihad dan Khilafah “dimusuhi” oleh penguasa.
Istilah radikal sebenarnya netral. Menurut KBBI edisi V tahun 2016, berarti: secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); perubahan yang –; Pol. amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak.
Namun, saat ini radikal mengalami semacam politisasi makna. Istilah radikal diidentikkan dengan gerakan teroris. Ini tidak lepas dari upaya kafir Barat, menjadikan radikalisme sebagai alat untuk menyerang dan menghambat kebangkitan Islam setelah mereka gagal dalam proyek “war on terorisme”. Barat melakukan monsterisasi bahwa Islam adalah paham radikal yang membahayakan. Monsterisasi inilah yang melahirkan islamofobia terutama Islam politik. Akibatnya, epistemologi Barat sekuler yang dijadikan sebagai timbangan untuk menilai Islam dan kaum muslim.
Jika orang Barat melakukan tuduhan dan fitnah terhadap Islam, maka itu suatu kewajaran. Namun, jika dilakukan oleh seorang muslim, maka fitnah terhadap Islam bisa dikatakan sebagai bentuk pengkhianatan.
Konstruksi epistemologi Barat didasarkan oleh aliran pemikiran sekuleristik, liberalistik, pluralistik, skeptisistik, permisivistik, relativistik dengan tujuan dekonstruksi epistemologi Islam. Istilah Islam radikal adalah bagian dari ghazwulfikr. Dampaknya, umat Islam menjadi ragu kepada agamanya sendiri karena telah terjadi sinkretisme, pelarutan dan pembaratan ajaran Islam
Setidaknya ada empat karakteristik dan tujuan Barat melancarkan imperialisme epistemologi sebagai propaganda Barat menyerang Islam.
Pertama, menumbuhkan keraguan (skeptis) pada umat Islam akan kebenaran Islam. Dampak dari keraguan akan kebenaran Islam adalah tumbuhnya sikap netralitas dan relativitas terhadap ajaran Islam. Jika masih ada seorang muslim yang secara fanatik memahami Islam, maka mereka kemudian dicap sebagai fundamentalis, radikalis, dan teroris.
Kedua, menghilangkan rasa kebanggaan terhadap ajaran Islam dengan cara memberikan stigma buruk terhadap Islam. Mereka dengan gencar mencitrakan Islam secara keji melalui media-media. Islam dipresentasikan sebagai agama yang antagonistik terhadap ide-ide kebebasan, HAM, demokrasi, pluralisme, dan nilai-nilai Barat lainnya. Dampaknya adalah menggejalanya rendah diri pada diri umat Islam, islamofobia, dan pemujaan kepada Barat
Ketiga, gerakan pelarutan (akulturasi) peradaban dan pemikiran. Dampaknya adalah terjebaknya umat Islam dalam pemikiran pluralisme agama. Pluralisme jelas bertentangan dengan Islam.
Keempat, gerakan westernisasi segala aspek kehidupan kaum muslimin. Paradigma Barat dijadikan sebagai kiblat kaum muslimin dengan meninggalkan tsaqafah Islam. Melalui berbagai bidang seperti fun, fashion, film, dan food, Barat terus mempropagandakan ideologinya.
Tak heran orang dijejali dengan opini bahwa bahaya laten saat ini yaitu radikalisme. Bila sudah tertanam keyakinan seperti ini, maka tidak heran jika apa pun yang terjadi akan selalu dihubungkan dengan radikalisme. Persoalannya radikalisme itu selalu ditujukan kepada umat Islam yang ingin menerapkan Islam secara utuh.
Isu radikalisme itu pun sebenarnya kedok untuk memerangi ajaran Islam dan orang Islam yang ingin menerapkan Islam secara kaffah. Bukan hanya itu, ajaran Islam pun akan dimaknai dan disesuaikan dengan ajaran Islam ala Barat. Itulah yang mereka gembar-gemborkan sebagai Islam moderat.
Tuduhan radikal begitu gencar. Sementara akidah dan syariat diminta untuk dipelajari sedikit saja. Kemudian pengajian dibatasi dan dipantau. Pelarangan pengajian dengan tudingan karena ustaznya radikal.
Di dalam negeri, saat ini Kemenag terus mengampanyekan program penguatan moderasi beragama. Apalagi sudah menjadi program nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Penguatan moderasi dipandang menjadi solusi antara dua kutub ekstremitas beragama, yaitu ekstremitas kanan yang tekstualis dan ultrakonservatif, serta ekstremitas kiri yang liberal. Moderasi agama juga diklaim sebagai solusi tepat menghadapi kemajemukan bangsa.
Tampak bahwa istilah moderasi dan toleransi ditawarkan dengan radikalisme dan terorisme. Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme seolah-olah menjadi virus atau permasalahan utama negeri ini. Adapun moderasi beragama digadang-gadang sebagai penawar alias solusi bagi radikalisme.
Pengaruh moderasi beragama banyak terasa di tengah umat. Hal ini karena para pengusungnya memiliki strategi terencana dan masif dijalankan. Di antaranya dekonstruksi tafsir dan fikih agama, serta merekonstruksikannya sesuai pemahaman moderat. Penafsiran ulama salaf dilabeli sebagai kaku, diskriminatif, dan lain-lain.
Implementasi moderasi beragama dipastikan akan mengikis akidah umat. Stigmatisasi muslim sebagai radikal, ekstremis, teroris, dan Islam sebagai radikalisme, ekstremisme, terorisme, jelas tak berdasar. Apalagi menyebut radikalisme sebagai sumber utama masalah bangsa. Ini merupakan kedustaan dan fitnah keji.
Upaya moderasi yang digaungkan hari ini justru menjadi masalah besar yang akan mengakibatkan umat jauh dari ajaran Islam kâffah. Moderasi ialah bagian makar yang dibuat oleh musuh Islam untuk mencegah penegakkan Islam di muka bumi.
Terlihat ada arus yang sedang mengalir. Radikalisme didudukkan sebagai bahaya laten. Berikutnya, cap radikal disematkan kepada umat Islam yang semangat mencari ilmu dan taat pada agamanya. Akidah dan syariat diminta dipelajari sedikit saja agar tidak radikal. Pengajian dibatasi lewat sertifikasi dan diminta dipantau. Pelarangan pengajian dengan tudingan ustaznya radikal. Sinkretisme agama-agama digencarkan. Ada campur-baur kajian keislaman dengan hiburan. Bukankah semua ini menjelaskan apa hakikat tuduhan radikalisme?
Taktik pemikiran yang dilakukan adalah menuduh Islam. Mencitrakan negatif ajaran-ajaran Islam. Narasi yang kemudian dikembangkan menempatkan kelompok yang memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kaffah sebagai kelompok radikal. Mereka yang sudah dilabeli kelompok radikal maka bakal dijadikan musuh bersama. Para pendukung ide ini membangun penyesatan opini berbagai kritik yang argumentatif terhadap demokrasi, kapitalisme, dan penyimpangan kekuasaan oleh rezim sebagai narasi kebencian dan intoleransi.
Para pengumbar opini ini adalah agen-agen penjajah, berkedok nasionalisme dan kemanusiaan. Mengapa mereka tidak melakukan kritik tajam pada ancaman sebenarnya terhadap negara ini, yaitu dominasi oligarki yang menguasai ekonomi dan politik yang sudah merusak sendi-sendi bangsa. Kita patut curiga mereka yang selalu mengaminkan isu radikalisme agama dan moderasi beragama adalah bagian dari imperialisme Barat untuk merusak negeri ini.
Barat dan para rezim kompradornya bersikeras untuk mendiskreditkan ajaran Islam dan ulama yang kritis. Mereka berargumen bahwa keyakinan pada nilai-nilai Islam secara kâffah bisa memicu orang untuk melakukan tindakan kekerasan.
Jelas mereka mengadopsi teori cacat. Ini sekaligus menyingkap keinginan mereka untuk menghadang umat Islam untuk mengungkapkan pandangan politik dan agama kita.
Serangan terbesar yang dilakukan oleh Barat ke dunia muslim dalam mencabut nilai-nilai Islam dari umatnya adalah dengan menerapkan sistem sekuler. Tujuan utama dari sistem sekuler adalah untuk mencegah lahirnya Islam politik dan mencegah lahirnya generasi berkepribadian Islam yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman hidup.
Tidak merasa aneh jika kebencian kaum kafir dan munafik terus-menerus terjadi, karena hal ini sudah di tegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur’an :
يُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّٰهُ اِلَّآ اَنْ يُّتِمَّ نُوْرَهٗ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ
“Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai.” (QS At-Taubah: 32)
Jadi seruan berpegang teguh kepada agama Islam adalah seruan untuk ber-Islam secara kaffah sebagai solusi untuk menjaga negeri ini dari segala macam penjajahan dan eksploitasi sumber daya alam serta mewujudkan kemaslahatan.
Islam adalah sebuah din yang sempurna, memberikan pemecahan secara menyeluruh terhadap semua permasalahan yang sedang maupun yang akan dihadapi oleh manusia. Allah SWT dalam hal ini berfirman:
اليوم أكملت لكم دينكم واتممت عليكم نعمتى ورديت لكم الاءسلمدينا
“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, mencukupkan bagi kalian nikmat-Ku dan meridai Islam sebagai agama kalian.” (QS Al-Maidah: 3)
Selayaknya umat memahami realitas perang pemikiran ini untuk merumuskan solusi mendasarnya. Islam adalah obat atas rasa sakit umat akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme. Tidak sepantasnya umat Islam memilih solusi di luar Islam. Mengkerdilkan ajaran Islam yang merupakan buatan Sang Khaliq adalah sebuah kehancuran yang sesungguhnya. Bersegera kembali ke ajaran Islam yang lengkap dan sempurna, yang tidak hanya mengatur masalah hubungan manusia dengan Allah, tapi juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya (muamalah).
Karena itu, umat harus mengkaji Islam dan serukan ajaran Islam sebagai solusi. Di tengah berbagai persoalan akibat diterapkanya kapitalisme, Islam adalah satu-satunya solusi bukan yang lain. Wallahu a’lam bishshawab. [SM/Ah]