Oleh: Rahmi Ummu Atsilah`
Suaramubalighah.com, Opini — Peristiwa Isra Mikraj sejatinya adalah peristiwa besar yang memiliki hikmah begitu luas. Melebihi yang diidentikkan kaum muslimin selama ini dengan peristiwa turunnya perintah salat semata. Hikmah tersebut meliputi dimensi spiritual, dimensi politik, dan dimensi sosial. Menjauhkan hikmah Isra Mikraj dari salah satunya adalah bentuk pengerdilan terhadap nilai penting Isra Mikraj.
Menarik untuk disoroti adalah ungkapan yang menyatakan tidak boleh mengaitkan peristiwa Isra Mikraj dengan kepemimpinan Islam yakni Khilafah. Hanya membatasi pada dua dimensi semata yakni dimensi spiritual dan dimensi sosial dengan cara pandang moderat.
Seperti kutipan bahwa Isra Mikraj yang meliputi dimensi spiritual menjadikan seorang hamba religius, jujur, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, cinta damai, gemar membaca, serta tanggung jawab. Sedangkan dimensi sosial meliputi toleransi, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat/ komunikatif, peduli lingkungan, peduli sosial. Sedangkan dimensi politik dari Isra Mikraj yakni mendirikan Khilafah dianggap pembelokan sejarah. (harakatuna[dot]com, 18/02/2023)
Jelas ungkapan tersebut menyempitkan Islam sebagai sebuah agama dan pandangan hidup yang sempurna. Hal ini sungguh tidak mewakili realitas dan fakta, serta rangkaian peristiwa dari Isra Mikraj itu sendiri.
Hikmah yang meliputi dimensi spiritual adalah terujinya keimanan kaum muslimin dengan peristiwa luar biasa yang di luar nalar, berbeda dengan kebiasaan, dan melawan adat istiadat masyarakat ketika itu. Sebagian orang memercayainya, termasuk di dalamnya adalah Abu Bakar ra. yang kemudian mendapat gelar Ash-Shiddiq. Namun, bagi sebagian yang lain kembali murtad, bahkan dari kalangan kafir semakin bertambah kekafirannya.
Peristiwa Isra Mikraj sebagai momentum turunnya perintah salat, sudah selayaknya mengantarkan kaum muslimin yang mengamalkannya dengan benar terhindar dari perbuatan keji dan mungkar. Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Ankabut ayat 45 berfirman:
اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. (QS Al-Ankabut: 45)
Salat menjadi pengekang seseorang dari kebiasaan berbuat keji dan mungkar. Sekaligus mendorong seseorang untuk berusaha keras menjauhinya. Kemungkaran yang terbesar saat ini adalah tidak diterapkannya hukum Islam secara kaffah. Hal ini mengharuskan setiap kaum muslimin berjuang bersama untuk tegaknya hukum Islam secara sempurna.
Sebagaimana dimensi politik dari Isra Mikraj yaitu runtuhnya kepemimpinan ideologi yang masih ada ketika itu, menjadi kepemimpinan hanya pada ideologi yang dibawa Rasulullah saw. berupa ideologi yang kuat, akurat, dan sejalan dengan fitrah manusia. Pilihan Rasulullah saw. terhadap gelas yang berisi susu dan mengabaikan gelas berisi khamar, hal itu mencerminkan fitrah. Sebagaimana perkataan Jibril as. kepada Rasulullah saw. menanggapi perihal tersebut, “Kamu telah membimbing menuju fitrah, kamu telah membimbing umatmu”.
Ungkapan Malaikat JIbril as. tersebut mengandung maksud bahwa Negara Islam dibangun atas ideologi yang sesuai dengan fitrah yakni ideologi Islam. Sistem yang diturunkan kepada Nabi Muhammad tidak berubah dan akan tetap selamanya. Sekalipun fitrah kadang kala dipalingkan pemiliknya, tidak akan mendapatkan kesulitan bagi siapa saja yang mengambil Islam sebagai jalan hidupnya.
Menerapkan Islam secara totalitas dalam hubungannya dengan diri, sesama manusia, bahkan dalam tataran kenegaraan adalah bukti keimanan. Islam adalah petunjuk yang benar berasal dari Sang Pencipta manusia yang mengerti hakikat kebahagiaan dan apa yang mendatangkan mudarat bagi manusia.
Sesungguhnya didaulatnya Baginda saw. menjadi imam salat di Masjid Al-Aqsha dengan para nabi yang notabene berbeda-beda suku bangsa dan warna kulit, dalam dimensi sosial bermakna bahwa Negara Islam dengan ideologinya akan menaungi semua bangsa. Tidak membeda-bedakan antara yang berkulit hitam dengan yang berkulit putih, antara yang bangsa Arab dan non-Arab. Bangsa-bangsa tersebut akan dilebur dalam wadah keimanan dan akan disatukan dalam satu sistem yang menerapkan syariat Allah SWT.
Peristiwa para nabi dan para rasul bermakmum kepada Rasulullah saw. dalam salat di Masjid Al-Aqsha adalah isyarat bahwa kepemimpinan umat manusia sudah diserahkan seutuhnya kepada beliau dan kaum muslim. Tidak ada umat yang pantas memimpin dunia ini selain umat muslim. Tak ada pula ideologi yang layak memimpin dunia dan umat manusia melainkan Islam.
Perjalanan Isra membawa Nabi saw. ke sejumlah tempat sebelum tiba di Al-Aqsha. Imam An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. dibawa oleh buraq dan Malaikat Jibril as. ke Yatsrib (Madinah) untuk melaksanakan salat di sana. Kemudian Jibril as. berkata:
أَتَدْرِي أَيْنَ صَلَّيْتَ صَلَّيْتَ بِطَيْبَةَ وَإِلَيْهَا الْمُهَاجَرُ
“Tahukah engkau, di mana engkau shalat? Engkau shalat di negeri yang baik. Ke sanalah orang-orang hendaknya pergi berhijrah.” (HR An-Nasa’i)
Setelah itu beliau juga diajak pergi ke Bukit Sinai dan melaksanakan salat. Kemudian beliau tiba di Bait Al-Muqaddas.
Peristiwa tersebut mengandung dimensi politik bagi dakwah Islam. Tidak lama setelah peristiwa Isra Mikraj, berimanlah serombongan Suku Aus dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah). Mereka lalu berbaiat kepada Rasulullah saw. di Aqabah. Setahun kemudian Yatsrib telah siap menjadi tempat hijrah kaum muslim dan berganti nama menjadi Madinah Al-Munawarah.
Inilah Negara Islam pertama di dunia. Di sana hukum-hukum Allah SWT diterapkan secara sempurna. Negara Islam di Madinah sekaligus menjadi titik sentral dakwah yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia; termasuk ke Bukit Sinai di Mesir, lalu ke Yerusalem di Palestina, dan seluruh negeri Syam.
Dengan demikian, mukjizat Isra Mikraj telah meletakkan landasan baru untuk membangun masyarakat baru yang telah direncanakan berdirinya di bawah naungan ideologi Islam dan negaranya, yaitu dengan peristiwa berhentinya Rasulullah saw. sejenak di Yatsrib Madinah kemudian Malaikat Jibril as. memberitahukan bahwa tempat tersebut thayyib dan tempat berhijrah. Terbukti setahun kemudian diproklamasikan Negara Islam di Madinah oleh Rasulullah saw..
Demikianlah, seharusnya Islam dan umatnya yang layak dan pantas memimpin dunia. Sebab Islam lebih dari sekadar agama spiritual atau akhlak. Islam adalah ideologi paripurna yang juga mengatur politik dan kenegaraan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan Khulafa Ar-Rasyidin. Bahkan kelak kekuasaan Islam akan mengemban agama ini ke seluruh bagian dunia sehingga umat manusia berada dalam naungannya. Hal ini telah dijanjikan oleh Nabi saw.:
إِنَّ اللَّهَ زَوَى لِي الْأَرْضَ أَوْ قَالَ إِنَّ رَبِّي زَوَى لِي الْأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ مُلْكَ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا
“Sungguh Allah telah mendekatkan bumi ini untukku. Lalu aku melihat bagian timur dan baratnya. Sungguh, kekuasaan umatku akan mencapai seluruh wilayah yang diperlihatkan kepadaku tersebut.” (HR Abu Dawud)
Akan tetapi, kepemimpinan ini tidak mungkin terwujud melainkan dengan institusi Khilafah Islamiyah yang memang telah diperintahkan oleh agama dan disepakati kewajibannya oleh para ulama Ahlussunnah waljamaah (Aswaja). Kewajiban ini di antaranya ditulis oleh Profesor Dr. Wahbah Zuhaili pada bab, “Sulthah at-Tanfîzh al-‘Ulyâ – Al-Imâmah”. Bab ini merangkum pendapat para ulama dari berbagai mazhab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Menurut beliau, hanya segelintir kelompok yang menolak kewajiban mendirikan Khilafah, yaitu sebagian kecil kelompok Khawarij dan Muktazilah. Adapun mayoritas ulama mazhab —bahkan seluruh ulama Aswaja— menyatakan wajib mendirikan Khilafah (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 6/663-668).
Semangat Isra Mikraj inilah yang seharusnya juga menjadi semangat kaum muslimin saat ini khususnya para pemuka umat, mubaligh dan para mubalighah untuk jujur dan berjuang guna mewujudkan persatuan umat Islam seluruh dunia. Tanpa sekat-sekat nation state atau negara bangsa. Sistem yang mampu mempersatukan umat tersebut adalah Khilafah. Pengganti Daulah Islam yang dicontohkan Rasulullah saw. sebagaimana diijmakkan oleh para sahabat ra. karena kaum muslimin seluruhnya adalah layaknya satu tubuh, yang saling mendukung dan saling membutuhkan.
Wallahu a’lam bishshawab.[SM/Ah]